sukabumiheadline.com – Proyek renovasi pintu gerbang Kantor Gubernur Jawa Barat, Gedung Sate di Kota Bandung, menjadi berbentuk candi di era Dedi Mulyadi baru-baru ini menjadi perbincangan publik khususnya warganet, karena desainnya yang dinilai tidak matching dengan Gedung Sate yang bergaya art deco.
Selain itu, kritik juga disampaikan karena proses pengerjaannya dilakukan di tengah narasi “puasa” anggaran atau efisiensi ketat yang didengungkan Pemprov Jabar untuk APBD tahun 2025 dan 2026.
Sebagai langkah efisiensi anggaran, Gubernur Dedi Mulyadi menginstruksikan agar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di lingkungan Pemprov Jabar memangkas kegiatan seremonial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, proyek fisik pembenahan halaman dan gerbang Gedung Sate ini justru muncul dalam APBD Perubahan 2025 dengan nilai mencapai Rp3,9 miliar. Anggaran juga digunakan untuk perbaikan fasilitas lain di area gedung peninggalan kolonial Belanda itu. Baca selengkapnya: Penampakan sebelum dan sesudah gerbang Gedung Sate senilai Rp3,9 M
Hanya mirip Candi Bentar
Adapun saat ini, gerbang Gedung Sate telah berubah menjadi terdiri atas dua pilar mirip gerbang kerajaan seperti candi. Desainnya berundak-undak seperti di Kesultanan Cirebon.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat (Pemprov Jabar) menegaskan bahwa renovasi gerbang Gedung Sate ini tidak merusak cagar budaya dan nilai sejarah dari bangunan utama.
Hal itu diungkapkan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jabar, Mas Adi Komar. Menurutnya, konsep dua pilar menyerupai Candi Bentar justru sebagai upaya mempertegas identitas budaya Jawa Barat di lingkungan pusat pemerintahan.
“Pilar ini memunculkan ikon budaya Jawa Barat, terinspirasi Candi Bentar yang banyak digunakan di keraton-keraton yang ada di Jawa Barat,” jelas Adi, dikutip dari Antara, Sabtu (22/11/2025).
Bukan Candi Bentar
Dikutip sukabumiheadline.com dari Wikipedia, Candi Bentar (dari Bahasa Jawa Kuno yang artinya terbelah) adalah sebutan bagi bangunan gapura berbentuk dua bangunan serupa dan sebangun tetapi merupakan simetri cermin yang membatasi sisi kiri dan kanan pintu masuk yang berasal dari arsitektur Jawa.
Candi Bentar tidak memiliki atap penghubung di bagian atas, sehingga kedua sisinya terpisah sempurna, dan hanya terhubung di bagian bawah oleh anak tangga.
Bangunan ini lazim disebut “gerbang terbelah”, karena bentuknya seolah-olah menyerupai sebuah bangunan candi yang dibelah dua secara simetris dan sempurna. Bangunan gapura tipe ini terutama banyak dijumpai di Jawa, Bali, dan Lombok. Bangunan gerbang terbelah seperti ini muncul pertama kali pada zaman Majapahit.
Di kawasan bekas Kesultanan Mataram, di Jawa Tengah dan Yogyakarta, gerbang semacam ini juga disebut dengan “supit urang” (capit udang), seperti yang terdapat pada kompleks Keraton Solo, Keraton Yogyakarta, dan Pemakaman raja-raja Imogiri.
Meskipun makna supit urang biasanya mengacu kepada gerbang dengan jalan bercabang dua, biasanya jalan dan gerbang yang mengapit kiri dan kanan bangunan pagelaran keraton.
Pada aturan zona tata letak pura atau puri (istana) Bali, baik Candi Bentar maupun Paduraksa merupakan satu kesatuan rancang arsitektur.
Candi Bentar merupakan gerbang untuk lingkungan terluar yang membatasi kawasan luar pura dengan nista mandala (jaba pisan) zona terluar kompleks pura, sedangkan gerbang kori ageng atau paduraksa digunakan sebagai gerbang di lingkungan dalam pura, dan digunakan untuk membatasi zona madya mandala (jaba tengah) dengan utama mandala (jero) sebagai kawasan tersuci pura Bali.
Maka dapat disimpulkan bahwa baik untuk kompleks pura maupun tempat tinggal, Candi Bentar digunakan untuk lingkungan terluar, sedangkan Paduraksa untuk lingkungan dalam.
Dengan demikian, Candi Bentar mengacu pada masa Kerajaan Majapahit (area Jawa Timur), bukan Pajajaran.









