sukabumiheadline.com – Merdeka berasal dari bahasa Sanskerta: महर्द्धिक dibaca “maharddhika” yang berarti kaya, sejahtera dan kuat. Kata ini juga mengandung makna bebas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu.
Dalam bahasa Melayu dan Indonesia, “Merdeka” bermakna “bebas” atau “tidak bergantung” dan “independen”. Di seantero Nusantara, istilah ini juga berarti bebas (dari perhambaan, penjajahan) berdiri sendiri yang dibebaskan.
Kerajaan-kerajaan Nusantara sebagai pemegang kedaulatan politik sebelum Merdeka. Atas nama Bangsa menyatakan kemerdekaan dari penjajahan bangsa asing, dan menjadikan bangsa memiliki sebuah negara yang Merdeka dengan karakter dan spirit bangsa sendiri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lukisan yang menggambarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dengan banyak kata seruan “Merdeka!”
Kata “merdeka” juga digunakan oleh bangsa Jiran, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina dan Singapura. Bahkan, Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman ketika memproklamasikan kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 1957, juga meneriakkan “Merdeka!” sebanyak tujuh kali.
Seruan itu terus dipekikkan secara menonjol pada setiap perayaan Hari Merdeka Malaysia.
Selain itu, dalam bahasa Belanda, juga dikenal istilah mardijkers, yakni kata yang diturunkan secara tidak tepat dari versi bahasa Portugis dari kata asli dalam bahasa Sanskerta maharddhika. Kata ini digunakan oleh penjajah Portugis dan Belanda untuk menunjuk mantan budak dari India di Hindia Belanda, yang menjadi asal kata merdeka dalam bahasa Melayu di kemudian hari.
Mardijker berarti budak-budak yang sebelumnya beragama Katolik yang dimerdekakan oleh Belanda jika mereka memeluk Kristen Protestan denominasi Gereja Reformasi Belanda.
Istilah ini tidak begitu penting di Indonesia selama zaman pergerakan anti-penjajahan dan pro-kemerdekaan di Indonesia, Malaya dan Singapura dan Malaysia.
Kata ini menjadi seruan penyemangat mereka yang menghendaki kebebasan dari kekuasaan Belanda dan Jepang. Di Mindanao, orang-orang Suku Moro di Filipina menggunakan kata maradeka dalam makna yang sama dengan merdeka dan kelompok kemerdekaan di sana dinamakan Maradeka.
Dalam bahasa Tagalog, bahasa resmi Filipina, terdapat kata maharlika yang memiliki akar kata Sanskerta yang sama dengan merdeka, dan memiliki makna manusia yang bebas.
Pada 1 September disebutkan oleh Presiden Sukarno dalam pidato singkatnya: “Sejak hari ini kita akan teriak dengan lantang, “Merdeka!” Lanjutkan seruan perang yang nyaring itu, saat jiwa berteriak keras untuk kebebasan! Jiwa kebebasan, jiwa perjuangan dan semangat kerja! UNTUK BERJUANG DAN BEKERJA! Buktikan!”
“Merdeka” juga digunakan di Indonesia Raya, lagu kebangsaan Indonesia: “Indonesia Raya, merdeka, merdeka! Tanahku; negeriku yang kucintai. Indonesia Raya, merdeka, merdeka! Hiduplah Indonesia Raya!
(“Indonesia Agung, merdeka, merdeka! Tanahku, negeriku yang kucintai. Indonesia Agung, merdeka! Hidup Indonesia Agung!”)
Istilah merdeka digunakan di Indonesia dengan cara yang sama untuk menunjukkan kebebasan dari pemerintah kolonial Belanda selama perjuangan kemerdekaan tahun 1945.
Didalam teks proklamasi menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Bangsa menyiratkan kesatuan psikologis sosiologis yang menjadi dasar bagi berdirinya kesatuan politik dengan batas-batas geografis yang disebut negara.
Di malaysia, di mana Malaya, Kalimantan Utara, Sarawak dan Singapura bergabung pada tahun 1963, istilah tersebut masih tetap relevan di masa sekarang. Hal ini dapat dilihat pada hari libur nasional Malaysia yaitu Hari Merdeka, memeringati Kemerdekaan Malaya pada 31 Agustus 1957.
Selanjutnya, Dataran Merdeka di mana upacara pertama pengibaran bendera Malaya diadakan setelah kemerdekaan. Borneo Utara dan Sarawak di Borneo Utara secara resmi bergabung untuk membentuk Malaysia pada 31 Agustus 1963 tetapi karena tantangan dari Indonesia dan Filifina dan untuk memberikan waktu kepada tim Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk melakukan referendum di Borneo Utara dan Sarawak mengenai partisipasi mereka dalam federasi baru.
Tanggal tersebut diundur menjadi 16 September, yang kini diperingati sebagai Hari Malaysia.