sukabumiheadline.com – Gelombang kebangkrutan melanda ratusan perusahaan di Amerika Serikat (AS) sepanjang 2025. Akibatnya, hampir seluruh lapisan perekonomian, mulai dari perusahaan raksasa, usaha kecil, hingga rumah tangga dihantam dampaknya.
Fenomena ini mencerminkan tekanan keuangan yang kian berat akibat kenaikan biaya hidup, pengetatan kredit, serta ketidakpastian geopolitik global.
Dikutip sukabumiheadline.com dari Business Insider, data terbaru menunjukkan kebangkrutan massal perusahaan besar di AS telah mencapai level tertinggi dalam 15 tahun terakhir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Data S&P Global Market Intelligence, hingga November 2025 terdapat 717 pengajuan kebangkrutan perusahaan, melampaui total tahun lalu sebanyak 687 kasus. Bahkan tanpa menghitung data Desember, 2025 sudah mencatat angka kebangkrutan tahunan tertinggi sejak 2010, saat jumlah pengajuan mencapai 828.
Sektor industri menjadi yang paling tertekan dengan 110 perusahaan mengajukan kebangkrutan hingga November. Disusul sektor barang konsumsi non-esensial dengan 85 pengajuan, serta sektor kesehatan sebanyak 46 perusahaan.
Tekanan finansial juga dirasakan pelaku usaha kecil. Perusahaan kecil dan individu dengan total utang hingga US$3.024.725 atau sekitar Rp47,8 miliar dapat mengajukan kebangkrutan melalui Subbab V Bab 11, yang dirancang lebih sederhana dan cepat.
Data Epiq Bankruptcy Analytics menunjukkan pengajuan Subbab V menembus lebih dari 2.300 kasus hingga pertengahan Desember, naik hampir 10% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Pada November saja, tercatat 223 pengajuan, melonjak 23% secara tahunan, menurut ABI.
Tak hanya korporasi, kebangkrutan individu juga meningkat seiring membengkaknya biaya hidup. Pengajuan kebangkrutan pribadi naik 8% menjadi 40.973 kasus pada November 2025, dari 37.814 kasus pada periode yang sama tahun lalu.
Pengajuan Bab 7, atau kebangkrutan likuidasi, melonjak 11% menjadi 25.329 kasus. Sementara itu, pengajuan Bab 13, yang memungkinkan individu melunasi sebagian atau seluruh utangnya melalui skema cicilan, meningkat 5% menjadi 15.558 kasus.
“Bagi keluarga dan perusahaan yang terbebani utang, kebangkrutan tetap menjadi jalur penting untuk memulihkan stabilitas dan membangun kembali masa depan keuangan yang lebih kuat,” tutur Direktur Eksekutif American Bankruptcy Institute (ABI) Amy Quackenboss.
Menurut Quackenboss, kebangkrutan tidak lagi terkonsentrasi pada sektor tertentu, melainkan menyebar luas ke berbagai industri dalam pola yang dinilai tidak biasa.
“Kenaikan biaya, kondisi kredit yang lebih ketat, dan volatilitas geopolitik yang berkelanjutan terus memberikan tekanan pada rumah tangga dan bisnis yang sudah berada dalam kondisi keuangan rapuh,” ujar Amy Quackenboss.
Sementara itu, Robert Stark dari mitra firma hukum Brown Rudnick sekaligus Ketua Praktik Kepailitan dan Restrukturisasi Perusahaan, menilai kondisi saat ini berbeda dengan krisis ekonomi sebelumnya, gelombang kebangkrutan kali ini dinilai menyerang hampir semua sektor.
“Biasanya, kebangkrutan melekat pada industri yang sama. Namun sekarang, kebangkrutan tampaknya terjadi di mana-mana,” kata Robert Stark.
Tercatat pada 2025, sejumlah perusahaan besar mengajukan perlindungan kebangkrutan, termasuk Sonder, Spirit Airlines, Del Monte Foods, peritel Claire’s, serta Omnicare, anak usaha CVS Health. Masing-masing perusahaan tersebut melaporkan kewajiban lebih dari US$1 miliar atau sekitar Rp15,8 triliun, menjadikannya deretan kebangkrutan terbesar tahun ini.









