Dewi Sartika: Pahlawan pendidikan dari Tatar Pasundan hingga dirikan Sakola Kautamaan Istri di Sukabumi

- Redaksi

Senin, 25 Agustus 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

sukabumiheadline.com – Dewi Sartika adalah Pahlawan Nasional yang berjasa dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum perempuan dan kesetaraan gender khususnya di Tatar Pasundan. Salah satu jasanya, adalah mendirikan Sakola Istri pada 16 Januari 1904. Namun, nama sekolah ini kemudian berubah menjadi Sakola Keutamaan Istri.

Mengutip Sylvie Tanaga dalam bukunya Ensiklopedia Tokoh Nasional: Dewi Sartika terbitan Nuansa Cendekia (2019),

Profil Dewi Sartika

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Latar belakang Dewi Sartika Raden Dewi Sartika lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 4 Desember 1884. Dewi Sartika berasal dari keluarga bangsawan Sunda. Ia merupakan anak kedua dari empat bersaudara.

Ayah Dewi Sartika bernama Raden Rangga Somanagara, seorang patih di Bandung, dan ibunya bernama Raden Ayu Rajapermas. Ibunya adalah putri dari Raden Aria Adipati Wiranatakusumah IV, bupati Bandung yang menjabat antara 1846 hingga 1874.

Lahir dari keluarga bangsawan, sedari kecil Dewi Sartika hidup berkecukupan di lingkungan pendopo dalem.

Riwayat pendidikan Dewi Sartika Latar belakang keluarga menyumbang banyak bagi perkembangan karakter tokoh Dewi Sartika. Ayahnya mementingkan pendidikan anak-anaknya, termasuk pendidikan bagi anak perempuan, yang pada masa itu masih dipandang sebelah mata.

Berkat pemikiran maju ayahnya, Dewi Sartika dapat mengenyam bangku pendidikan di Eerste Klasse School atau Sekolah Kelas Satu, yang dibuka Pemerintah Hindia Belanda untuk anak-anak priayi dan warga Eropa di Indonesia.

Eerste Klasse School adalah cikal bakal Sekolah Dasar atau Hollandsch Inlandsche School (HIS), yang dikembangkan setelah diberlakukan Politik Etis pada tahun 1900.

Di Eerste Klasse School, Dewi Sartika belajar membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, dan bahasa Inggris, bersama keturunan ningrat lainnya dan putra-putri orang Eropa.

Sayangnya, Dewi Sartika tidak mengenyam pendidikan di sini hingga lulus. Pada 1893, di usia sembilan tahun, ia terpaksa keluar karena ayahnya diasingkan ke Ternate oleh pemerintah Hindia Belanda.

Pada pertengahan Juli 1893, setelah keputusan mengenai ayahnya keluar, kehidupan Dewi Sartika berubah drastis karena sang ibu mengikuti ayahnya ke pengasingan. Tidak hanya itu, penyitaan harta benda keluarga memaksa putra-putri Somanagara hidup dengan kerabat.

Dewi Sartika dititipkan kepada keluarga kakak kandung ibunya, Raden Demang Suria Karta Hadiningrat, yang saat itu menjabat Patih Afdeling Cicalengka, sedangkan saudara-saudaranya dititipkan pada keluarga di Bandung.

Tidak hanya hidup terpisah, Dewi Sartika dan saudara-saudaranya harus menerima dicap sebagai anak pemberontak dan dikucilkan masyarakat.

Riwayat perjuangan Dewi Sartika

Dewi Sartika tidak hanya ingin memajukan perempuan dari kalangan priayi sepertinya, tetapi semua kalangan perempuan, agar berkesempatan untuk belajar membaca dan menulis.

Bagi Dewi Sartika, kunci untuk membuat perempuan menjadi mandiri, berpengetahuan, dan dapat memperjuangkan haknya, hanyalah melalui pendidikan.

Prestasi Dewi Sartika dalam mengembangkan pendidikan perempuan bahkan mendapat apresiasi dari Pemerintah Hindia Belanda.

Didikan keluarga dan pengalaman pendidikannya membuat Dewi Sartika tumbuh menjadi perempuan yang pintar, supel, tegas, mempunyai sifat kepemimpinan dan prinsip.

Sikap kritis dan jiwa sosialnya semakin tumbuh ketika bergaul dengan gadis-gadis dari kalangan bangsawan di lingkungan Patih Aria Cicalengka. Meski dipandang terhormat dalam masyarakat feodal, ternyata mereka masih buta huruf dan pengetahuannya kurang.

Baca Juga :  Gelar Pahlawan Ulama asal Sukabumi Diterima Cucu Perempuan, Profil Neni Fauziah

Kondisi tersebut mendorong Dewi Sartika untuk memulai upaya perubahan bagi kaum perempuan, dengan mengajari teman-teman barunya membaca, menulis, dan berhitung. Dewi Sartika sadar, kunci untuk membuat perempuan menjadi mandiri, berpengetahuan, dan dapat memperjuangkan haknya sendiri tanpa bergantung kepada orang lain, hanyalah melalui pendidikan.

Pemikiran itu didasari pula oleh pengalaman dalam keluarganya, saat ibunya lebih memilih mengikuti suami di pengasingan, daripada menjaga anak-anaknya yang masih belia.

Pada 1902, sepulang ibunya dari Ternate setelah ayahnya meninggal di pengasingan, Dewi Sartika dan saudara-saudaranya berkumpul kembali di Bandung.

Sekembalinya ke Bandung, tekad Dewi Sartika membuka sekolah untuk remaja putri semakin bulat. Terlebih, setelah ayahnya tiada, kondisi ekonomi keluarganya memburuk dan terpaksa bertahan hidup dengan mengandalkan sanak saudaranya.

Dewi Sartika kemudian mulai mengajar saudara-saudaranya merenda, memasak, menjahit, membaca, dan menulis, di ruang kecil di belakang rumah ibunya. Sebagai balas jasa, mereka yang belajar membawakan berbagai kebutuhan hidup untuk Dewi Sartika dan keluarganya, seperti beras, garam, dan buah-buahan.

Aktivitas Dewi Sartika didengar oleh Inspektur Pengajaran Hindia Belanda di Bandung, C Den Hammer, yang merasa terkesan dan mendukung keinginannya untuk mendirikan sekolah perempuan pribumi.

Dari situlah, ia semakin terpacu dan memutuskan menghubungi kerabatnya untuk meminta bantuan, tetapi mereka menentang gagasannya. Kerabatnya masih menganggap sekolah bagi perempuan bertentangan dengan adat istiadat dan tidak berguna. Ide Dewi Sartika mendirikan sekolah perempuan dianggap tabu.

Akhirnya, C Den Hammer mengusulkan agar meminta bantuan kepada Bupati Bandung RAA Martanagara. Meski sempat ragu karena ayahnya pernah berselisih dengan RAA Martanagara, hasratnya mendirikan sekolah begitu kuat, sehingga ia harus menghadap bupati.

RAA Martanagara pun terkejut ketika Dewi Sartika datang. Setelah mendengar penjelasannya, bupati bandung tersebut merasa kagum.

Berdirinya sekolah perempuan pertama di Indonesia Atas restu RA Martenegara, Dewi Sartika mendirikan sekolah perempuan pertama di Indonesia, yang diberi nama Sakola Istri. Sakola Istri didirikan pada 16 Januari 1904, dengan menempaati Paseban Barat, halaman depan rumah Bupati Bandung.

Awalnya, sekolah ini terdiri dari dua kelas dengan total 20 murid dan tiga pengajar, yakni Dewi Sartika, Ibu Purma, dan Ibu Uwit.

Dirikan Sakola Kautamaan Istri

Sekolah kemudian berkembang dengan 60 siswa, yang sebagian besar berasal dari masyarakat umum. Setahun kemudian, ruangan sekolah sudah tidak lagi mencukupi jumlah siswa yang terus bertambah.

Dengan dukungan dana bantuan dari Bupati Bandung dan tabungan pribadinya, Dewi Sartika membeli sebuah tempat di Jalan Ciguriang. Hasilnya, pada 1905, Sakola Istri, yang kemudian menjadi Yayasan Dewi Sartika, pindah ke lokasi baru.

Meskipun bangunannya sederhana dengan dinding bambu, jumlah murid terus meningkat, begitu pula dengan tenaga pengajar yang harus ditambah.

Seiring dengan itu, Sakola Istri mendapat dukungan dari berbagai pihak. Pada 5 November 1910, didirikan Perkumpulan Kautaman Istri oleh Residen Priangan WFI Boissevain, guna mendukung pengembangan sekolah perempuan rintisan Dewi Sartika agar lebih maju.

Baca Juga :  Mengenal Jl. Pahlawan di Nagrak Sukabumi, 5 Fakta Aksi Heroik R Bantamer

Setelah itu, Sakola Istri berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri, dan memiliki cabang di beberapa wilayah Jawa Barat, antara lain Sumedang, Cianjur, Tasikmalaya, Garut, dan Purwakarta hingga Sukabumi.

Pada 1913, Sakola Kautamaan Istri tercatat sebagai sekolah paling besar dan maju, dengan jumlah murid yang terus meningkat, bahkan siswanya ada yang berasal dari luar pulau Jawa. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga pengajar dan meningkatkan kurikulum, Dewi Sartika berupaya mendapatkan guru-guru yang memiliki keahlian masing-masing di bidangnya.

Untuk pelajaran menjahit dan memasak, Dewi Sartika sendiri yang mengajar. Pada 1916, Dewi Sartika khusus belajar membatik di Kendal, Jawa Tengah, kepada RA Kardinah, adik kandung RA Kartini.

Dewi Sartika bahkan mendatangkan orang asing yang dibutuhkan. Misalnya mengundang seorang guru berkebangsaan Belanda untuk pelajaran bahasa Belanda, dan mendatangkan pengajar dari Rumah Sakit Immanuel untuk mengajarkan pertolongan pertama pada kecelakaan.

Usaha Dewi Sartika memperjuangkan pendidikan bagi perempuan mendapat apresiasi dari Pemerintah Hindia Belanda, yang memberikan penghargaan Bintang Perak pada 1922. Pada 1929, Sakola Kautamaan Istri diubah namanya menjadi Sakola Raden Dewi.

Satu dekade kemudian, Dewi Sartika kembali mendapatkan penghargaan dari pemerintah Hindia Belanda, yakni Bintang Emas, sekaligus diberikan bangunan baru.

Di setiap perjuangan Dewi Sartika, terdapat sosok suami bernama Raden Kanduruan Agah Suriawinata, yang merupakan seorang guru di Eerste Klasse School. Dalam mengembangkan sekolah yang dirintisnya, Dewi Sartika mendapat banyak bimbingan dari Raden Agah, yang meninggal secara mendadak pada 1939.

Sayangnya, pada masa pendudukan Jepang yang dimulai pada 1942, terdapat kebijakan yang sangat drastis. Jepang mengeluarkan peraturan semua sekolah dasar dijadikan satu jenis, yaitu Sekolah Rakyat dan Sakolah Raden Dewi menjadi Sekolah Gadis No. 29.

Pada masa pendudukan Jepang, kesehatan Dewi Sartika berangsur menurun.

Peristiwa Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946 mendorong warga Kota Bandung untuk mengungsi, tidak terkecuali Dewi Sartika. Ia beserta keluarganya mencari perlindungan di daerah Ciparay, Bandung Selatan, sebelum akhirnya pindah ke Garut.

Sekitar Mei 1947, mereka pindah ke Desa Cineam, yang berbatasan dengan Tasikmalaya dan Ciamis.

Perjalanan mereka dari Garut ke Desa Cineam sangat berat, menempuh perjalanan kaki melintasi desa-desa, perkebunan, dan sawah, dan masih harus menghindari patroli Belanda, sekaligus serangan oleh kelompok Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang aktif di daerah tersebut.

Masa-masa sulit itu membuat kesehatan Dewi Sartika memburuk hingga harus dirawat di Rumah Sakit Cineam, di bawah pengawasan dr. Sanitioso.

Dewi Sartika wafat pada 11 September 1947, dalam usia 63 tahun. Dewi Sartika meninggal karena sakit dan dimakamkan di Desa Cineam.

Pada 1950, makam Dewi Sartika dipindahkan ke Kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung, sesuai keinginannya untuk dimakamkan di dekat suaminya.

Dewi Sartika merupakan tokoh perintis pejuang emansipasi perempuan, khususnya dalam bidang pendidikan. Oleh sebab itu, tidak heran apabila Dewi Sartika disebut pahlawan perintis pendidikan perempuan di Indonesia.

Atas jasa dan peran Dewi Sartika bagi Indonesia, Pemerintah RI memberikan gelar pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden No. 252 tanggal 1 Desember 1966.

Berita Terkait

Dinilai kerap membuat kontroversi, kenali tugas, fungsi dan Komisioner LMKN
Daftar Jaksa Agung RI: Perdana dari Sukabumi, petahana asal Majalengka
Mengenal asal-usul dan makna kata “merdeka”
Mengenal profil dan karier 2 jenderal polisi asal Sukabumi
Bobby Kertanegara milik Prabowo, ini nama yang indah kucing peliharaan Rasulullah SAW
Geliat Mayling Oey-Gardiner asal Sukabumi, Guru Besar FEUI hingga amicus curiae untuk Hasto
Melihat penampakan interior Kabah, kiblat Muslim seluruh dunia
Mengenang tragedi Sukabumi 1969, laga Putri Priangan vs Malaysia

Berita Terkait

Senin, 25 Agustus 2025 - 23:59 WIB

Dewi Sartika: Pahlawan pendidikan dari Tatar Pasundan hingga dirikan Sakola Kautamaan Istri di Sukabumi

Selasa, 19 Agustus 2025 - 20:36 WIB

Dinilai kerap membuat kontroversi, kenali tugas, fungsi dan Komisioner LMKN

Senin, 18 Agustus 2025 - 09:40 WIB

Daftar Jaksa Agung RI: Perdana dari Sukabumi, petahana asal Majalengka

Minggu, 17 Agustus 2025 - 07:32 WIB

Mengenal asal-usul dan makna kata “merdeka”

Selasa, 12 Agustus 2025 - 05:07 WIB

Mengenal profil dan karier 2 jenderal polisi asal Sukabumi

Berita Terbaru

Pratama Arhan dan Azizah Salsha Rosiade - Instagram

Konten

Pratama Arhan diam-diam gugat cerai Azizah Salsha

Senin, 25 Agu 2025 - 18:50 WIB