sukabumiheadline.com – Kehidupan masyarakat Indonesia tidak pernah lepas dari cerita-cerita mitos dan legenda. Hampir di setiap daerah Indonesia memiliki kisah mitos dan legenda.
Cerita mitos dan legenda tiap daerah pun berbeda satu daerah dan lainnya. Bahkan, di beberapa daerah, mitos juga erat kaitannya dengan asal-usul daerah yang bersangkutan.
Seperti salah satu desa yang ada di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, ada sebuah desa yang dimitoskan berdiri setelah disinggahi salah satu tokoh pewayangan, Gatotkaca. Nama desa yang dimaksud adalah Desa Purabaya, Kecamatan Purabaya.
Nama Gatotkaca pasti sudah tidak asing lagi bagi Anda. Dikenal sebagai tokoh pewayangan yang sakti mandraguna oleh kalangan baby boomers dan generasi X, dan di kalangan generasi milenial atau Gen Y dikenal sebagai tokoh pahlawan fiksi dalam game online Mobile Legend.
Dalam cerita pewayangan, Gatotkaca adalah pahlawan dari keluarga Pandawa, yakni anak dari Bima.
Rekomendasi Redaksi: Jumlah dan nama-nama desa di Kabupaten Sukabumi menurut kecamatan
Asal-usul PurabayaÂ
Cerita Gatotkaca pernah singgah di Sukabumi, diceritakan dari mulut ke mulut setiap generasi di Purabaya. Berdasarkan penuturan Ruli Abdullatip, seorang tokoh pemuda lokal yang pernah turut menelusuri mitos dari asal-usul desanya, desa ini memiliki kisah atau cerita yang unik dan relatif berbeda dari wilayah lain.
Menurut cerita para leluhur Purabaya, asal-usul nama Purabaya diambil dari nama sebuah Sungai Cipurabaya yang mengaliri daerah tersebut. Sungai ini terbentang dari gunung (bukit) Bandung yang terletak di Desa Bojong Tipar, Kecamatan Jampang Tengah hingga ke Purabaya.
Menurut Ruli, dari berbagai versi cerita, ada dua versi cerita kuat yang beredar. Pertama, ada hubungannya dengan Gatotkaca. Kedua, ada hubungannya dengan kerajaan Banten. Dari berbagai versi cerita yang ada, tidak ditemukan satupun bukti kongkrit yang menguatkan mitos tersebut.
“Sayangnya, dari semua versi cerita yang ada, tidak satupun memiliki bukti historis atau arkeologis yang mendukung. Semua hanya cerita turun-temurun,” kata Ruli.
Nama lain GatotkacaÂ
Konon, penamaan Sungai Cipurabaya tidak lepas dari sosok tokoh pewayangan, Gatotkaca yang diyakini memiliki nama samaran, yakni Raden Purbaya. Diceritakan bahwa Gatotkaca ketika terbang pernah singgah di Gunung Bandung, Bojong Tipar, Jampang Tengah.
Ketika menjejakkan kakinya, muncullah mata air besar dari bekas kaki Gatotkaca. Lama-kelamaan mata air ini membentuk sebuah danau yang airnya mengalir hingga berujung ke Purabaya. Sehingga, aliran sungai tersebut dinamai Cipurabaya.
Menurut penuturan dari mulut ke mulut, wilayah Pasir Makam diisi oleh Perbu (Prabu) Raden Jaya Makara, wilayah Pasir Bedil oleh Perbu Layung Kemenung dan Perbu Layang Kumandang. Sedangkan untuk wilayah Gunung Bandung Bojong Tipar, diisi oleh Perbu Sengkala Bandung.
Keterkaitan Purabaya dan Kesultanan BantenÂ
Sementara menurut versi lain, Sungai Cipurabaya diambil dari nama putra Sultan Ageng Tirtayasa dari kerajaan Banten, yakni Raden Purbaya yang bergelar Raksabaya.
Alkisah, dalam sebuah perjalanan yang dilakukan Raden Purbaya saat menyusuri sungai, ia memutuskan untuk menetap di hulu sungai dan tidak pernah kembali ke kerajaan Banten. Perjalanan inilah yang membuat sungai ini dinamai Cipurabaya.
“Raden Purbaya diyakini menetap hingga kemudian menjadi kuwu di Purabaya,” kata Ruli.
Sebuah lokasi tempat pemakaman di Kampung Pengkolan, Desa Purabaya, terdapat sejumlah makam kuno berusia ratusan tahun. Sehingga, sebagian masyarakat meyakini bahwa salah satu makam tersebut sebagai peristirahatan terakhir Raksabaya yang merupakan gelar dari Raden Purbaya.
Bahkan, banyak warga luar kota yang datang untuk berziarah, karena mereka meyakini jika makam tersebut adalah makam leluhur mereka.
Di sisi lain, dalam catatan yang dimiliki pihak desa, kuwu pertama dan kedua desa tersebut bernama Raden Nata Manggala dan Raden Mas Gandul Nata Manggala. Sedangkan, Raden Purbaya adalah kuwu kelima.
“Kata sesepuh, untuk bisa menjadi kuwu di masa lalu, kita harus memiliki kesaktian sehingga dapat melindungi masyarakat di desa dan sekitarnya. Seorang kuwu harus menjadi seorang Raksabaya,” papar Ruli.
Namun, Ruli meyakini bahwa cerita yang disampaikan turun-temurun secara lisan. Tidak ada bukti sejarah kongkrit yang dapat mendukung kebenaran kedua versi cerita leluhur tersebut.