SUKABUMIHEADLINES.com l CICURUG – Teater Pabrik lahir dari keresahan dan kepedulian yang kemudian berubah menjadi semangat berkesenian. Keresahan atas kondisi sosial yang terjadi pada kampung halaman, yaitu Cicurug, Kabupaten Sukabumi.
Di daerah industri ini, perkampungan dikepung berbagai macam pabrik. Alhasil, roda kehidupan berpusing dan bergantung di sana, hierarkinya tercipta atas dasar saling membutuhkan.
Hanya saja, masyarakat yang lebih membutuhkan lapangan pekerjaan, sehingga nyaris pada seluruh lapisan struktur sosial bergantung pada keberadaan pabrik-pabrik tersebut agar kehidupan dapat terus berlangsung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Karenanya, kami memilih nama Teater Pabrik sebagai representasi kehidupan kami dan bentuk kegelisahan yang jadi fokus utama dari pementasan kami,” kata Sutradara sekaligus penulis skenario Ahmad Dayari kepada sukabumiheadlines.com, Ahad (28/11/2021).
Pria berusia 31 tahun yang akrab dipanggil Kang Aday itu menyebut, pada debut produksinya Teater Pabrik di bawah naungan Yayasan Volume Escape dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan membawakan naskah berjudul ‘Suara-suara Pabrik’,” kata dia.
Kang Aday sendiri sudah berkecimpung di dunia pementasan selama lebih dari satu dekade. Bergerak dengan Bumi Sandiwara dan kelompok-kelompok teater lain sekitaran wilayah Bogor dan Sukabumi. Ia kini memutuskan untuk menginisiasi pertunjukan bersama Teater Pabrik.
“Pementasan ini merupakan program Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2021, program yang dijalankan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi RI,” jelas Dayari.
Membahas mengenai isi lakon Suara-suara Pabrik, berarti membahas mengenai jantung pementasan tersebut. Naskah ini lahir dari observasi serta sensitivitas Kang Aday yang ingin mengangkat bagaimana kehidupan pegawai pabrik di daerah Sukabumi, khususnya Cicurug.
Ditambahkan Kang Aday, di balik distorsi sosial yang terjadi akibat dari industrialisasi, ada peran perempuan sebagai ujung tombak dari perkembangan industri itu. Lingkaran distorsi sosial ini tidak mudah diredam, terus berkelanjutan dari generasi ke generasi, perjuangan para buruh perempuan ini sejalan dengan perjalanan Puun Purnamasari yang merupakan keturunan Pajajaran yang bergerak setelah Pajajaran di porak porandakan Banten.
“Puun Purnamasari bergerak dari Pakuan Pajajaran menuju Pelabuhanratu dikawal oleh Rakean Kalang Sunda dan Raden Kumbang Bagus Setra, dalam naskah pantun Dadap Malang Sisi Cimandiri, Puun Purnamasari dikisahkan bergerak menelusuri hutan belantara, Sungai dan Gunung menghindar serangan dari Jaya Antea dan pasukannya,” paparnya.
Kisah perjuangan Puun demi menciptakan Pajajaran Baru, dan menjaga nama Pajajaran tetap hidup. Keselarasan perjuangan antara Puun Purnamasari dan Buruh Perempuan inilah yang menjadi nada latar belakang naskah Suara-Suara Pabrik.
“Sebuah naskah yang ingin mengajak kita kembali merenung tentang apa yang terjadi dekat dengan kita, tentang perjuangan, keringat dan air mata para buruh perempuan, naskah ini tidak ingin hanya memancing emosi, namun sebenarnya ingin memancing kita semua untuk kembali berpikir dan berpikir, apakah fenomena ini harus terus berlangsung atau harus kita mulai untuk perbaiki agar generasi selanjutnya bisa menikmati hidup senikmatnya,” kata dia setengah bertanya.
Suara-suara Pabrik mengisahkan perjuangan seorang perempuan yang bernama Purnama dalam menentukan jalan hidup untuk dirinya dan kawan-kawan buruh lainnya. Purnama menyaksikan ketidakadilan baik secara hak material (upah) dan hak-hak dasarnya. Peraturan pabrik yang keji memaksa para buruh bekerja sampai mati dengan jam kerja yang keterlaluan, upah minim, dan peraturan-peraturan keji lainnya.
“Penderitaan yang dialami oleh seluruh buruh pabrik ini, disadari oleh Purnama. Atas dasar hal itu, Purnama pun ingin memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi haknya dan memutus rantai setan yang mengikat pada daerah industri ini,” tanda Dayari.
Pementasan Suara Suara Pabrik mengusung konsep pementasan yang memadukan seni drama, seni tari, dan seni musik diharapkan, minat masyarakat untuk turut menjadi saksi adanya kegelisahan yang dipresentasikan lewat kesenian pertunjukan teater.
Mengangkat latar waktu dan budaya sekitar yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat daerah industri, pementasan ini tentu akan berkesan bagi para penonton dan juga bagi yang berproses di dalamnya. Setelah menonton pementasan.
Pementasan digelar selama 3 hari, yaitu 26, 27 dan 28 November 2021 di ArtSee Halls, FoodStep Cafe, Cicurug, Sukabumi.