sukabumiheadline.com – Kisah Nurjanah menjadi cermin bagi warga Sukabumi, Jawa Barat. Disebabkan rendahnya pengetahuan keluarga, cenderung memilih cara simpel dalam menangani orang dengan gangguan kejiwaan, kerangkeng!
Hidup di pelosok kampung, tepatnya di Kampung Cikawung, Desa Babakan Panjang, Kecamatan Nagrak, Kabupaten Sukabumi, membuat nasib wanita berusia 43 tahun itu jauh dari sorotan media.
Padahal, selama belasan tahun Nurjanah hidup dalam kerangkeng yang lebih mirip kandang hewan peliharaan berukuran 2×2 meter yang berdinding bilik bambu. Tak hanya tidur, bahkan di dalam kerangkeng itu Nurjanah juga makan hingga buang hajat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hidupnya yang terkurung jauh dari sorotan publik baru terungkap setelah petugas sosial menemukannya, dan mengevakuasi Nurjanah pada Selasa (26/8/2025) lalu.
Diketahui, kisah malang Nurjanah berubah drastis setelah kepulangannya dari merantau. Menurut penuturan sang kakak, Halimah (56), Nurjanah sebelumnya sempat bekerja selama delapan bulan di Jakarta.
Nurjanah bahkan sempat menikah dengan seorang pria asal Blitar, Jawa Timur. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai seorang anak laki-laki yang kini beranjak dewasa.
“Dulu pernah kerja delapan bulan di Jakarta, pulang ke kampung ada lelaki dari Blitar datang. Katanya jodohnya Nurjanah. Mereka menikah lalu dibawa ke Blitar,” kata Halimah.

Sayangnya, sepulang dari Jakarta kondisi kejiwaan Nurjanah tidak stabil. Kadang terlihat normal, kadang mengalami gangguan. Ia bahkan pernah kabur dua kali karena ingin mencari nafkah sendiri.
Setelah kembali ke Sukabumi, kesehatan mentalnya makin memburuk hingga akhirnya keluarga memutuskan untuk mengurungnya.
Selama belasan tahun, kamar bambu menjadi penjara sekaligus tempat perlindungan bagi Nurjanah. Keluarga mengaku tidak tahu bagaimana cara menangani kondisi tersebut.
“Ya gimana lagi, buang air juga di situ, karena tidak ada kamar mandi. Mau keluar juga takut kabur, makanya dikunci,” kata Halimah.
Bagi sebagian orang, cara ini mungkin terlihat kejam. Namun keterbatasan ekonomi dan minimnya akses pengetahuan membuat keluarga menganggap pengurungan sebagai satu-satunya jalan.
Sementara itu, Kepala Desa Babakan Panjang, Saepuloh mengatasnamakan wanita nahas itu kesulitan mengurus administrasi kependudukan. Sehingga, Nurjanah sulit mengakses layanan kesehatan maupun program sosial pemerintah.
“Iya memang betul. Alasannya karena takut kabur. Saya langsung koordinasi dengan Dinas Sosial, tapi terkendala identitasnya. KTP dan dokumennya belum beres,” ujarnya.
Nurjanah kemudian dievakuasi oleh petugas gabungan membuka secercah harapan baru. Langkah awal pemulihan identitas, perawatan medis, hingga kemungkinan reintegrasi sosial mulai dilakukan.
“Alhamdulillah, sekarang sudah melakukan perekaman KTP elektronik. Itu sangat penting untuk dasar semua pelayanan, baik BPJS maupun bantuan sosial lainnya,” tutur Saepuloh.
Sejarah kerangkeng manusia
Budaya mengkerangkeng manusia sudah berlangsung sejak berabad-abad silam. Bahkan, praktik yang juga dikenal dengan istilah imurasi ini pada awalnya cenderung lebih tidak manusiawi, di mana seseorang dikubur hidup-hidup dengan cara memasukan ke ruang kecil yang hanya cukup untuk tubuhnya.
Dikutip sukabumiheadline.com dari Immurement, Eksekusi Sadis dengan Tubuh Ditembok Hidup-hidup dalam National Geographic, orang yang ditidurkan dibiarkan di ruang itu sampai meninggal, entah karena dehidrasi atau kelaparan, bahkan sesak napas mungkin menjadi penyebab kematian.

Bedanya, pada zaman dulu, imurasi paling sering dilakukan sebagai jenis hukuman, meskipun mungkin juga dilakukan untuk tujuan lain, misalnya, sebagai bentuk pengorbanan manusia.
Kisah-kisah elit yang dikuburkan dengan pelayan atau budak mereka sebagai bagian dari ritual pemakaman dapat ditemukan di berbagai budaya kuno. Diyakini bahwa orang-orang ini dikorbankan agar mereka bisa menemani tuannya ke alam baka. Banyak peradaban yang pernah melakukan praktik tersebut.
Praktik tersebut telah dilakukan dengan mengunci seseorang dalam semacam kotak seperti peti mati atau dalam kasus lain, menyegel mereka ke dinding tembok.