sukabumiheadline.com – Gerhana bulan total atau blood moon pada 7-8 September 2025 lalu, lebih banyak dipahami sebagai fenomena alam belaka. Namun, peristiwa gerhana ternyata juga selalu memikat perhatian manusia sejak dahulu kala.
Padahal dalam peradaban kuno, gerhana bukan sekadar peristiwa astronomi, melainkan tanda kosmis yang sarat makna spiritual.
Dalam kebudayaan Viking, gerhana diyakini terjadi karena serigala raksasa Sköll atau Hati berhasil mengejar dan “memakan” matahari atau bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Bangsa Maya dan Inca di Amerika Latin memandangnya sebagai pertanda dewa marah, sehingga mereka melakukan ritual pengorbanan. Sementara di Jepang kuno, gerhana diasosiasikan dengan sang dewi matahari Amaterasu yang menutup dirinya dengan tirai kesedihan.
Masyarakat Arab pra-Islam pun tidak luput dari mitos serupa. Sebagian menghubungkan gerhana dengan kesedihan langit atas wafatnya seorang tokoh. Dengan kata lain, gerhana dianggap sebagai “ratapan kosmik” ketika manusia besar berpulang.
Di beberapa daerah, orang masih percaya gerhana berhubungan dengan nasib buruk atau musibah. Bahkan ada ritual menabuh lesung atau membuat bunyi-bunyian untuk “mengusir” kekuatan gelap.
Pola pikir semacam ini di berbagai tradisi masyarakat kuno menempatkan gerhana dalam kerangka mistis yang menakutkan dan sarat prasangka.
Fenomena gerhana dalam Islam
Dikutip dari laman resmi Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Islam datang dengan pendekatan yang sama sekali berbeda dalam memandang fenomena gerhana.
Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa gerhana bukan tanda kematian atau kelahiran seseorang, melainkan ayat kauniyyah. Gerhana adalah tanda kebesaran Allah di alam semesta.
Al-Qur’an menyebutkan:
وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ ۚ لَا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari dan jangan pula kepada bulan, tetapi sujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika hanya kepada-Nya kamu menyembah.” (QS. Fushshilat [41]: 37).
Ayat ini menegaskan bahwa matahari dan bulan hanyalah makhluk ciptaan Allah, bukan dewa atau pengendali nasib. Fenomena langit, termasuk gerhana, seharusnya mengantarkan manusia pada kesadaran tauhid.
Dalam hadits sahih disebutkan:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang. Maka apabila kalian melihatnya, berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, salatlah, dan bersedekahlah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadits ini muncul pada momentum khusus: wafatnya Ibrahim, putra Nabi Muhammad Saw dari Mariyah al-Qibthiyyah. Saat itu terjadi gerhana matahari, sebagian orang mengaitkannya dengan kematian Ibrahim.
Nabi Muhammad SAW segera meluruskan: gerhana tidak ada sangkut pautnya dengan kematian seorang manusia, bahkan putra beliau sendiri. Sikap ini bukan hanya teladan tauhid, tetapi juga bentuk pendidikan publik agar masyarakat tidak terjebak pada mitos.
Islam mengajarkan agar fenomena ini disambut dengan ibadah. Nabi SAW menganjurkan salat kusuf (gerhana matahari) atau khusuf (gerhana bulan), doa, dzikir, sedekah, hingga memerdekakan budak. Semua itu mengarahkan perhatian manusia pada Sang Pencipta, bukan pada ketakutan tak berdasar.
Dari mitos ke tauhid
Apa yang membedakan Islam dengan pandangan non-Islam adalah arah penafsiran. Bagi Islam, gerhana bukan pertanda kesialan atau keberuntungan, melainkan kesempatan merenung dan mempertebal iman. Ia mengajarkan:
Tunduk pada kebesaran Allah, bukan pada mitos kosmik
Mengaitkan fenomena alam dengan ibadah, bukan dengan kepanikan.
Menanamkan rasionalitas tauhid, membebaskan manusia dari belenggu takhayul.
Mengembangkan ilmu pengetahuan
Sikap Nabi SAW yang menolak glorifikasi wafatnya Ibrahim sebagai penyebab gerhana adalah pelajaran monumental. Di saat masyarakat masih larut dalam pola pikir magis, beliau menegakkan tauhid dan sekaligus mengajarkan literasi kosmik: bahwa fenomena langit adalah ayat Allah, bukan drama manusia.