Nganteuran, diplomasi rantang yang semakin dilupakan warga Sukabumi

- Redaksi

Minggu, 23 Maret 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Tradisi nganteuran masayarakat Sunda - Istimewa

Tradisi nganteuran masayarakat Sunda - Istimewa

sukabumiheadline.com – Bagi masyarakat Sunda, khususnya warga Sukabumi, Jawa Barat, tradisi nganteuran bukan sesuatu yang asing. Namun, tradisi ini mungkin hanya dialami hingga generasi 80an.

Perlahan, tapi pasti, tradisi yang sudah berlangsung selama puluhan tahun itu pun mulai dilupakan warga Sukabumi. Bahkan, di wilayah selatan Sukabumi sekalipun seperti Pajampangan, kini tradisi nganteuran sudah tidak banyak yang melakukan, pada saat momen Lebaran sekalipun.

Mirisnya lagi, saat ini silaturahim sesama warga Sukabumi pun lebih banyak dilakukan via aplikasi perpesanan dan media sosial.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kondisi ini lah yang membuat seorang sineas muda, Shofa Sophiyah Kosasih, kemudian merasa terpanggil untuk membuat film dokumenter tentang tradisi ini dengan judul Nganteuran: Resep Perempuan Jampang.

Ia menyebut, film ini tak sekadar mempertontonkan beragam sajian kuliner kreasi dan resep khas perempuan Jampang, tetapi juga mengajak para penontonnya untuk bernostalgia ke masa silam.

Shofa Sophiyah Kosasih, sebagai Direktur Artistik Tilik Sarira Creative Process, mengungkapkan proses produksi film dokumenter tersebut melibatkan 12 seniman dan peneliti lintas disiplin (visual, pertunjukan, antropologi) dari beberapa daerah di Indonesia.

“Jadi sebelum proses produksi film dokumenter ini Tilik Sarira terlebih dahulu melakukan sejumlah penelitian tentang budaya pangan,” jelas Sophiyah kepada sukabumiheadline.com. Baca selengkapnya: Nganteuran: Resep Perempuan Jampang, Kemesraan Wanita Sukabumi dan Lingkungannya di Masa Silam

Secercah harapan mungkin kembali muncul dengan kehadiran sosok Dedi Mulyadi yang terpilih sebagai Gubernur Jawa Barat. Pria yang dikenal sangat mengagungkan budaya Sunda itu diharapkan banyak pihak dapat mengembalikan tradisi-tradisi adiluhung masyarakat Sunda.

Lantas, kenapa masyarakat Sukabumi dan Sunda pada umumnya mulai meninggalkan tradisi nganteuran?

Mengutip tulisan Herdi As’ari dalam tulisannya mengenai Sejarah Peradaban Islam menyebutkan nganteuran dalam bahasa Indonesia berarti mengantarkan. Dalam konteks tradisi masyarakat Sunda, nganteuran umumnya dipahami sebagai sebuah kebiasaan saling bertukar makanan saat menjelang hari raya. Terutama saat idul fitri.

Tukar-menukar hidangan khas Lebaran, seperti ketupat, opor ayam, kentang goreng, dan aneka kue, mewarnai hari raya yang penuh suka cita. Menggenapi rasa bahagia baik si pemberi maupun bagi si penerima.

Namun ada kalanya –dalam aktivitas sehari-hari– nganteuran juga digunakan sebagai istilah untuk kegiatan mengirim makanan kepada seseorang yang sedang bekerja di ladang atau sawah, ketika jam makan tiba.

Istilah nganteuran juga sering dipakai mana kala orang tua yang hendak mengirim bekal (makanan atau uang) kepada anaknya yang sedang mondok di pesantren yang jaraknya jauh dari rumah mereka.

“Dalam pelaksanaannya, nganteuran mengisyaratkan tiga hal. Pertama, pengirim yaitu seseorang yang memiliki sumber daya berlebih sehingga berkemampuan untuk memberi; kedua, barang/benda yang hendak diberikan; dan ketiga, penerima, yaitu orang yang menerima pemberian. Biasanya, penerima ini identik dengan seseorang yang berkekurangan secara ekonomi,” jelas Herdi.

Baca Juga :  Menghitung jumlah sekolah, guru, dan murid SMA/SMK/MA di Kabupaten Sukabumi 2025

“Namun, sejatinya nganteuran lebih dari sekadar saling berkirim makanan, namun juga suatu aktivitas kemanusiaan atas dasar saling tolong-menolong dan membahagiakan dalam konteks kehidupan bertetangga. Dimana, kebiasaan ini telah dipraktikan oleh para leluhur kita,” bener dia.

Diplomasi rantang

Rantang nganteuran
Rantang, menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi nganteuran – Istimewa

Bagi yang lahir dan besar di perkampungan, maka akan mengalami betul tradisi nganteuran ini. Anda yang lahir era 50an hingga 70an, mungkin masih ingat ketika dulu kerap diberi tugas oleh nenek untuk mengantarkan makanan kepada tetangga terdekat.

Makanan tersebut diwadahi dalam rantang bersusun. Isinya, bisa satu jenis hidangan atau beberapa jenis menu makanan. Tergantung pada apa yang sudah disiapkan oleh nenek.

Hidangan-hidangan tersebut biasanya hidangan yang diolah dari hasil bumi. Seperti, nasi dari hasil panen terbaru atau sering disebut sangu paré anyar; aneka sayur-sayuran, semisal, sayur umbut kelapa, sayur daun singkong, sayur jantung pisang; kolak singkong atau labu; dan lain seterusnya. Makanan-makanan tersebut, dimasukkan ke dalam rantang bertingkat.

“Kendati menu yang sederhana, tetapi dibuat dengan penuh cinta, maka tetangga yang menerimanya pun sangat bergembira. Sehingga, tak jarang, wadah rantang tadi ketika kembali akan diisi lagi oleh menu makanan yang sama. Atau bahkan biasanya diisi makanan dengan nilai yang lebih tinggi,” kenang Herdi.

Dengan demikian, nganteuran dengan menggunakan rantang merupakan salah satu identitas dari pranata sosial masyarakat yang hidup dalam solidaritas. Lebih jauh lagi, praktik tukar-menukar makanan dengan perangkat rantang tadi dapat dicermati sebagai pengejawantahan nilai ajaran agama, sekaligus media diplomasi dalam menjalin tali silaturahmi.

“Pertama, bentuk rasa syukur pada Tuhan; dan yang kedua, etika saling hormat-menghormati dengan tetangga atas dasar tolong-menolong (ta’awun),” jelas Herdi.

Zaman sudah jauh berubah

“Zaman kian berubah. Tradisi nganteuran dewasa ini hampir sulit kita temui. Terutama di gemerlapnya kehidupan kota. Di pedesaan pun kurang-lebih sama. Etos bertani, berladang, atau beternak yang telah dimulai pendahulu, kini perlahan ditinggalkan,” urai Herdi.

Kalau pun ada, hasil tani yang didapat tak mampu mengantarkan kesejahteraan bagi keluarga. Hanya dinikmati sebentar saja, bahkan selalu kekurangan untuk mengejar kebutuhan yang kian beragam.

Atas dasar kesibukan bekerja –yang terbagi-bagi– pola bertetanggapun berubah. Watak individualistik (séwang-séwangan) nampak kelihatan. Ditambah lagi, kehadiran gawai sebagai alat komunikasi yang secara tidak langsung mengeliminasi naluri sosial tatap muka. Kehangatan saling-sapa menjadi langka.

Makanan-makanan yang ada di rumah lebih lama “parkir” di dalam lemari pendingin (kulkas). Bahkan, saking lamanya parkir, makanan-makanan itu tanpa disadari menjadi busuk, tak layak konsumsi. Alhasil, tempat terakhir makanan-makanan tersebut ialah tong sampah. Pesta dini bagi mereka, bakteri pengurai; dan pesta tertunda bagi cacing-cacing dalam perut tetangga yang lapar.

Baca Juga :  Bak kamar mayat, angka kematian di Kota Sukabumi 3 kali lipat dari kelahiran

Apakah fenomena itu adalah bentuk kesengajaan atau bukan: Wallahu’alam. Namun faktanya, dewasa ini memang ada. Di antara kita, lebih disibukkan bagaimana mengumpulkan beragam jenis makanan dan menimbunnya, ketimbang berbagi terhadap sesama. Bahkan sering lupa, makanan-makanan itu yang menikmatinya adalah jamur dan bakteri, bukan saudara atau tetangga kita yang lebih membutuhkan.

Apabila kita belajar pada dua benda itu dalam masing-masing contoh kasus di atas –rantang dan kulkas– maka sesungguhnya akan ditemui ibrah (pembelajaran) yang luar biasa. Di mana, letak kemanfaatan maupun kemadaratannya, berpulang pada kebijaksanaan manusia itu sendiri.

Diplomasi kultural makanan

Selain sebagai kebutuhan dasar, makanan juga memiliki makna yang sangat luas serta mendalam dalam sejarah hidup manusia. Sajian makanan dalam beberapa acara, seperti rapat, hajatan, syukuran, pengajian, dan lainnya, menggambarkan bahwa keberadaannya itu penting. Termasuk dalam tradisi nganteuran, di mana makanan ialah salah satu wujud konkrit diplomasi dalam keharmonisan bertetangga.

Yang menariknya, melalui (asbab) dari kegiatan bagi-bagi nasi itu, kami pernah merubah kebiasaan beberapa orang atau sekelompok “orang jalanan”. Dari kebiasaannya yang tidak terpuji, seperti “nge-lem”, mengkonsumsi minum-minuman keras, mengambil hak orang, dan lain-lain, menjadi tersadar dan merubah  perilakunya itu. Dengan sedikit “sentuhan” dan petuah-petuah, mereka mengakui salah satu alasan berbuat demikian itu karena mereka lapar. Sangat ironis!

Berdasarkan contoh tersebut menegaskan bahwa makanan bisa menjadi media dakwah serta sarana ibadah yang efektif. Makanan, apabila difungsikan sebagaimana mestinya akan menjadi sesuatu yang menggerakan yang penuh keberkahan. Tetapi sebaliknya, ketika kita abai terhadap nilai-nilai yang dikandung pada makanan, mungkin kita akan menganggapnya biasa saja dan melewatinya begitu saja.

Sekurang-kurangnya ada tiga hal yang perlu dipahami dari nilai sebuah makanan. Pertama, nilai fisikal merupakan wujud dzahir yang akan mengenyangkan apabila dimakan; kedua, nilai sosial yaitu makanan sebagai pranata sosial dalam membangun kesadaran bersama; dan ketiga, nilai spiritual, di mana makanan sebagai anugerah dari Tuhan yang mesti kita pertanggung-jawabkan keberadaannya.

“Dalam dimensi sosial dan spiritual, posisi makanan menjadi penting. Oleh karena, nikmat dari Tuhan itu mesti kita syukuri dengan cara kita berbagi terhadap sesama. Barangkali itulah makna esensial dari tradisi nganteuran yang pernah dipraktikan para leluhur kita,” papar Herdi.

Karena boleh jadi musik yang haram itu bukan suara gitar, piano, atau drum. Melainkan suara piring dan sendok yang saling beradu saat kita makan, sehingga terdengar oleh tetangga yang sedang kepayahan menahan lapar.

“Atau bisa juga, wewangian yang haram itu bukan bau parfum hasil mencuri saja, tetapi wangi makanan yang tercium oleh tetangga yang seharian belum makan,” pungkas Herdi.

Kayak dinantikan kejutan dari Kang Dedi Mulyadi, mampukah sosok yang kerap dituding musyrik itu menjadikan tradisi nganteuran menjadi gerakan masyarakat Sunda di era modern ini?


Dilarang republikasi artikel kategori Headline dan Rubrik Headline tanpa seizin Redaksi sukabumiheadline.com

Berita Terkait

Mengenal asal-usul, populasi dan agama Suku Sunda
Lamping, karees, pasir, babakan dan 15 istilah geografis dalam basa Sunda dan artinya
38 nama desa unik di Sukabumi, ada yang mirip majelis taklim
Mengunjungi Kampung Gelar Alam hadirkan suasana Sukabumi era 50-an
Nazwa Maulidia dan Juara Qori Internasional meriahkan puncak Hari Jadi Sundawenang Sukabumi
Tak satupun di Sukabumi, ini daftar kampus swasta Akreditasi Unggul di Jawa Barat, biaya kuliah murah
Diikuti Sukabumi, West Java Festival 2024 bertajuk “Harmoni Kolaborasi”
Pameran Poto Proyek Strategis Nasional dalam HUT AJI ke – 30

Berita Terkait

Minggu, 23 Maret 2025 - 01:00 WIB

Nganteuran, diplomasi rantang yang semakin dilupakan warga Sukabumi

Minggu, 17 November 2024 - 18:53 WIB

Mengenal asal-usul, populasi dan agama Suku Sunda

Minggu, 6 Oktober 2024 - 16:23 WIB

Lamping, karees, pasir, babakan dan 15 istilah geografis dalam basa Sunda dan artinya

Rabu, 18 September 2024 - 04:47 WIB

38 nama desa unik di Sukabumi, ada yang mirip majelis taklim

Minggu, 8 September 2024 - 00:27 WIB

Mengunjungi Kampung Gelar Alam hadirkan suasana Sukabumi era 50-an

Berita Terbaru