sukabumiheadline.com – Dunia hiburan layar kaca Indonesia diwarnai sebuah film perjuangan buruh berjudul Sandal Bolong untuk Hamdani. Film ini berhasil menyabet 5 penghargaan bergengsi dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2004.
Meskipun tergolong produksi lama, namun film ini sering diputar ulang di stasiun televisi swasta. Sandal Bolong untuk Hamdani juga bisa ditonton di kanal YouTube.
Film ini digarap sutradara asal Sukabumi, Jawa Barat, Dedi Setiadi (sutradara yang dikenal dengan sinetron Keluarga Cemara). Sosok Hamdani, dalam film ini diperankan oleh aktor Epy Kusnandar. Baca selengkapnya: Profil dan filmografi Dedi Setiadi, sutradara terbaik Indonesia asal Sukabumi jadi idola Nikita Willy
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Entah karena disutradarai Dedi Setiadi, syuting film ini digarap di Sukabumi. Salah satu yang terlihat dalam adegan adalah keterlibatan sejumlah hakim Pengadilan Negeri (PN) Sukabumi yang bertugas saat itu.

Hakim dan ASN PN Sukabumi saat itu yang terlibat langsung sebagai pemeran dalam film, adalah Sofian Syah, Hakim PN Sukabumi (berperan sebagai Hakim Ketua), Alm. Nunung Sutrisno, Panitera Pengganti PN Sukabumi (berperan sebagai Hakim Anggota I), Tuti Sutriasih, Panitera Pengganti PN Sukabumi (berperan sebagai Hakim Anggota II), Yani Sofyan, Panitera Pengganti PN Sukabumi (berperan sebagai Penuntut Umum), dan Agus Suparman, Staf Bagian Umum dan Keuangan PN Sukabumi (berperan sebagai pengawal tahanan).
Sandal Bolong untuk Hamdani mengisahkan seorang pekerja bernama Hamdani yang vokal terhadap hak-hak pekerja di perusahaannya bekerja. Ia lantang mengkritisi sistem kontrak yang ada di perusahaannya. Ia pun nyaring dalam memperjuangkan hak pekerja seperti pengikutsertaan pekerja dalam program Jamsostek dan pelaksanaan hak cuti hamil bagi pekerja perempuan.
Namun, Hamdani kemudian menghadapi persoalan dengan perusahaannya. Perusahaan memperkarakannya, karena Hamdani tanpa izin telah mengambil sandal milik perusahaan.
Terbelit persoalan dengan perusahaan, Hamdani berdalih Ia hanya menggunakan sandal apkir (tidak dipakai lagi) yang telah dibolonginya itu untuk berwudhu dan shalat di perusahaan. Bahkan sandal tersebut, menurut Hamdani biasa digunakan karyawan lain untuk ke kamar mandi atau shalat. Hingga pada akhirnya, kasus tersebut menyeret Hamdani ini ke meja hijau.
Diangkat dari kisah nyata
Film Sandal Bolong untuk Hamdani diangkat dari kisah nyata, ketika seorang buruh bernama Hamdani harus mendekam di penjara lantaran dituduh mencuri. Perkara itu kerap terjadi di Indonesia lantaran belum ada kesepahaman dalam menyelesaikan kasus buruh.
Menggapai keadilan hukum di Indonesia memang sulit. Kadang kala keadilan itu hanya dimiliki segelintir warga yang mempunyai “kasta” yang lebih tinggi. Buktinya, Hamdani bin Ijin, seorang buruh pabrik sandal PT Osaga Mas Utama divonis hukuman kurungan selama dua bulan 24 hari oleh Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, 23 Oktober tahun silam, dengan tuduhan mencuri sandal bolong.
Ironis memang, hanya lantaran dituduh mencuri sebuah alas kaki rusak milik perusahaan, Hamdani harus kehilangan mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya.
Awal dari kisah memilukan buat penegakan hukum di Tanah Air ini berawal pada suatu petang, 4 September 2000. Saat itu, Hamdani akan menunaikan ibadah shalat Ashar.
Seperti biasanya, Hamdani bersama rekan buruh lainnya secara bergantian menggunakan sandal apkiran yang tersimpan di sebuah gudang untuk mengambil air wudhu.
Anehnya, manajemen pabrik melaporkan Hamdani kepada Kepolisian Sektor Jatiuwung, Tangerang, dengan tuduhan mencuri. Padahal, kebiasaan meminjam sandal sebelum shalat juga kerap dilakukan karyawan di pabrik itu.
Isu pun merebak di kalangan karyawan bahwa tudingan itu hanyalah rekayasa belaka. Soalnya, selama ini, Hamdani dikenal sebagai pengurus serikat buruh di Karya Utama dan aktif memperjuangkan hak-hak karyawan di pabrik sandal yang terletak di kilometer 5, kawasan Tangerang, Banten.
“Ada indikasi balas dendam juga” kata Aswad Sugiarto, rekan Hamdani. Apalagi, sandal yang dipinjam dianggap mereka sebagai barang reject.
“Masa sandal yang dipinjam malah dituduh hasil curian” ucap Aswad dengan geram.
Itulah sebabnya, ketika PN Tangerang menggelar kasus Hamdani unjuk rasa pun kerap mewarnai persidangan yang dikenal dengan sebutan Kasus Sandal Bolong. Bahkan, saat awal persidangan yang bertepatan dengan hari kelahiran Hamdani ke-26, rekan-rekan buruh pun bersama-sama merayakan ulang tahun pria pemalu ini.
Sayangnya, upaya sejumlah buruh untuk menggugah nurani sang hakim agar memutuskan kasus ini dengan penuh rasa keadilan tak terwujud. Dengan tegas, Ketua Majelis Hakim Suprapto tetap mengetokkan palu dan memvonis Hamdani bersalah.
Sontak saja, putusan majelis hakim itu membuat para pendukung termasuk kuasa hukum Hamdani kecewa. Menurut Fredy Kusnanda, seorang di antara kuasa hukum Hamdani dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia, majelis hakim tak memahami kronologi kasus.
Soalnya, tuduhan tersebut tak mendasar. Kendati begitu, Kepala Hubungan Masyarakat PN Tangerang Ade Komarudin menyatakan, mereka tak melihat latar belakang konflik perburuhan yang terjadi antara manajemen dan Hamdani. Soalnya, mereka hanya melihat tindak pidana yang dilakukan Hamdani, yakni mencuri sandal.
Akhirnya, putusan yang dianggap berat sebelah itu dijalani Hamdani di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Tangerang selama hampir tiga bulan. Di dalam sebuah ruangan yang sempit dan pengap, Hamdani berusaha tabah menjalani hukuman atas perbuatan yang tak pernah dilakukannya.
“Saya merasa diperlakukan tak adil. Penegak hukum telah dipengaruhi orang berduit,” ujar pria yang beralamat di Kosambi Bedeng RT 004/001, Desa Kayu Bengkok, Sepatan, Tangerang.
Hari terus berganti, saat yang dinanti Hamdani untuk menghirup udara bebas pun tiba, 14 Januari 2001. Dengan ditemani istri, kedua orang tua, dan tim kuasa hukum, Hamdani melangkah keluar dengan keinginan untuk melupakan kehidupan di dalam bui.
“Kehidupan di bui itu menyedihkan,” tutur Hamdani.
Hal serupa juga dirasakan keluarga yang ditinggalkan Hamdani. Menurut kedua orang tua Hamdani, selama sang anak tercinta mendekam dalam penjara, hati mereka dilanda kesedihan yang mendalam.
Bahkan, hingga saat ini, mereka tak menerima tuduhan Hamdani sebagai pencuri. Namun, kepedihan itu lenyap ketika Hamdani tiba di rumah. Kebebasan Hamdani ini disambut gembira seluruh sanak keluarga Hamdani, khususnya sang istri yang tengah berbadan dua.
Kembalinya Hamdani di tengah-tengah masyarakat juga disambut gembira rekan-rekannya. Soalnya, perjuangan yang dilakukan Hamdani selama ini dalam memperjuangkan hak-hak buruh mulai mendapat perhatian dari manajemen pabrik.
Saat itu, mereka sempat berunjuk rasa menuntut hak-hak normatif, di antaranya dihapuskannya kontrak lantaran tak sesuai dengan Undang-undang Tenaga Kerja.
Selain itu, mereka juga menuntut adanya tunjangan Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Kendati belum sepenuhnya tuntutan dikabulkan, kini perbaikan sejumlah kesejahteraan buruh mulai dialami buruh.
“Lumayan, saat ini telah ada uang makan,” ungkap Aswad.
Kasus menyedihkan yang menimpa Hamdani ini juga menjadi perhatian publik. Hal itu karena kasus ini menunjukkan, rakyat kecil masih kesulitan dalam menggapai keadilan.
Menurut Purwaningsih dari Institut Perburuhan Jakarta, dalam kasus ini menunjukkan terjadi perubahan pola dalam menyelesaikan kasus antara pengusaha dan buruh.
“Banyak kasus yang berawal dari perburuhan dialihkan menjadi kasus kriminalitas,” kata Purwaningsih.









