22.8 C
Sukabumi
Jumat, April 19, 2024

Hancur, mobil terperosok longsor Jalan Tol Bocimi Longsor di Ciambar Sukabumi, Cek foto-fotonya

sukabumiheadline.com - Petugas gabungan berhasil mengevakuasi mobil...

Sah, masa jabatan kades kini jadi 8 tahun per periode, Dana Desa ditambah

sukabumiheadline.com - DPR RI secara resmi telah...

Paman Anwar Usman langgar etik lagi, MKMK kembali beri sanksi

sukabumiheadline.com - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)...

5 Fakta Ratna Asmara, Sutradara Wanita Pertama Indonesia Syuting di Selabintana Sukabumi

Gaya hidup5 Fakta Ratna Asmara, Sutradara Wanita Pertama Indonesia Syuting di Selabintana Sukabumi

sukabumiheadline.com l Ratna Asmara adalah seorang aktris dan sutradara Indonesia. Setelah menjadi aktif dalam dunia sandiwara, pada tahun 1940 dia membintangi Kartinah, yang digarap suaminya, Andjar Asmara.

Setelah membintangi dalam beberapa film lain, Ratna kemudian memilih karier baru sebagai sutradara wanita. Ia tercatat sebagai sutradara wanita pertama di Indonesia dalam film debutnya berjudul Sedap Malam yang diproduksi pada 1950.

Ratna Asmara wafat pada 1981. Setelah era Ratna, hanya ada tiga sutradara wanita di Indonesia sampai akhir abad 2000. Mereka adalah Chitra Dewi, Sofia W.D., dan Ida Farida.

Selama periode tersebut, menjadi bintang film merupakan satu-satunya cara bagi seorang wanita untuk mendapatkan prestasi dan pengakuan tinggi.

Berikut adalah 5 fakta Ratna Asmara, dirangkum sukabumiheadline.com dari berbagai sumber.

1. Menikah dengan Sutradara

Ratna Asmara memiliki nama asli Suratna dan punya saudara kandung bernama Suhara. Ratna lahir di Dataran Tinggi Minangkabau pada 1914, dan menikah dengan seorang sutradara film, Andjar Asmara.

2. Awal Karier di Dunia Hiburan

Ratna mengawali kariernya di dunia hiburan sebagai seorang penari dan penyanyi rombongan tonil, kelompok sandiwara, Dardanella. Ia bergabung dengan Dardanella pada awal 1930-an. Kala itu, ia dikenal memiliki suara yang bagus.

Hingga pada akhir 1930-an, Ratna bergabung dengan kelompok Bolero yang dipimpin suaminya, Andjar Asmara, hingga kemudian menjadi bintang Bolero.

Ketika Andjar diminta The Teng Chun menyutradarai film berjudul Kartinah untuk Java Industrial Film (JIF), Ratna ikut ambil peran. Dia membintangi sebagai peran utama Kartinah.

Selain itu Ratna juga berperan dalam film Andjar lainnya, seperti Noesa Penida (sebuah kisah cinta di Bali) dan Ratna Moetoe Manikam, sebuah kisah cinta antara tiga dewi dan satu manusia.

Sutradara wanita pertama di Indonesia yang memproduksi kedua film tersebut sempat mengalami kendala karena Jepang hampir sampai di Indonesia.

Untungnya, pada akhir 1941 hingga awal 1942, dua film tersebut berhasil diproduksi, bahkan berhasil tayang di bioskop.

Saat masa kependudukan Jepang pada tahun 1942-1945, Ratna dan Andjar Asmara membentuk grup sandiwara Angkatan Moeda Matahari, yang kemudian berganti nama menjadi Tjahaja Timoer.

Selain memiliki kemampuan berakting, Ratna juga lihai bernyanyi. Bahkan suaranya sempat direkam dan dimasukkan ke dalam piringan hitam label His Master’s Voice atau HMV yang beredar pada tahun 1942.

Ada empat lagu yang dinyanyikan olehnya di bawah label itu, diantaranya Tanah Airkoe Indonesia, Terang Boelan di Malaya, Nasib Perempoean, dan Sebatang Kara.

Proses rekamannya berlangsung di Studio HMV di Singapura pada tahun 1938. Ketika itu, Andjar menjabat sebagai manajer rekaman HMV perwakilan Indonesia.

3. Sutradara Wanita Pertama

Ratna Asmara adalah sutradara wanita pertama Indonesia. Cerita berawal ketika Revolusi Nasional yang dimulai dengan kemerdekaan Indonesia, saat itu Ratna sempat membintangi satu film yang berjudul Djauh di Mata pada 1948.

Setelah bermain peran dalam beberapa film, barulah kemudian Ratna mulai terjun menjadi sutradara. Awal karier sutradara Ratna dimulai setelah Djamaluddin Malik memintanya menyutradarai film untuk perusahaan Persari.

Di film tersebut Djamaluddin bertindak sebagai produser dan sang suami Andjar penulis skenario dalam film berjudul Sedap Malam yang diproduksi Persari pada 1950 atau lima tahun pasca-Indonesia merdeka. Film ini menjadikan Ratna sebagai sutradara wanita Indonesia pertama.

Nama Persari sendiri sudah dicetuskan Djamaluddin Malik sejak masih di Solo, Jawa Tengah, pada 1947. Saat itu, Republik sedang mendapatkan ancaman Agresi Militer Belanda.

Saat ibu kota pindah ke Yogyakarta pada awal 1946, karena Jakarta mendapat ancaman dan semakin genting. Awalnya, Djamaluddin tinggal di Yogyakarta, memimpin sandiwara Pantjawarna. Rombongan ini kerap menghibur para pejuang yang sedang bertempur melawan ancaman kedatangan kembali Belanda.

Di Jakarta, Persari berkantor di daerah Polonia, Jatinegara, dan sebelumnya sudah memiliki studio di Kebayoran. Media kemudian menyebut studio Persari sebagai Sariwood —mengadaptasi Hollywood. Di atas tanah seluas 33.000 meter persegi di Polonia, Persari lantas membangun studio besar dan lengkap untuk kebutuhan syuting.

4. Syuting di Sukabumi

Pada 1951, Ratna Asmara juga menjadi sutradara di film yang berjudul Musim Bunga di Selabintana dan di tahun 1952 di film berjudul Dr. Samsi.

Pada 1953, Ratna mendirikan rumah produksi Ratna Films, dengan memproduksi satu film berjudul Nelajan. Namun, nama production house-nya berganti menjadi Asmara Films.

Ratna juga sempat membuat satu film lagi, yakni Dewi dan Pemilihan Umum pada 1954, bertepatan dengan pemilihan umum pertama pada 1955.

5. Sinopsis Film Musim Bunga di Selabintana 

Film yang disutradarai Ratna Asmara ini diproduseri Bintang Surabaja. Sedangkan suami Ratna, Andjar Asmara menjadi penulis skenario.

Film dengan latar alam Sukabumi ini dibintangi antara lain Ida Prijatni, Nurhasanah, Iskandar Sucarno, Chatir Harro, Kuntjung, Djoewariah.

Film ini berkisah tentang Suratni (Ida Prijatni) yang menikah dengan Dr. Kusuma (Iskandar Sucarno). Sebelum menikah dengan Kusuma, Suratni pernah berpacaran dengan seorang pengacara bernama Natawijaya SH (Chatir Haro).

Sebagai keluarga dokter, Kusuma sering membawa istri dan anak-anaknya beristirahat di Selabintana, Kabupaten Sukabumi. Hingga pada suatu waktu Natawijaya muncul, dan nampak sering berdua-duaan dengan Suratni.

Timbullah percekcokan segi-tiga. Kusuma kemudian menyuruh istrinya tersebut pulang. Bahkan, menceraikan Suratni.

Namun, belakangan Kusuma tahu bahwa Natawijaya menemui Suratni hanya untuk berkonsultasi, sehubungan dengan perkara ayah Suratni yang ditangani pengacara itu.

Baru belasan tahun kemudian Kusuma dapat berjumpa lagi dengan isteri dan anak-anaknya yang telah dewasa. Pertemuan yang diatur oleh jasa baik Natawijaya.

Konten Lainnya

Content TAGS

Konten Populer