Kajian kritis mahasiswa Sukabumi soal pajak warisan Leony: Antara keadilan dan realitas

- Redaksi

Kamis, 20 November 2025

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Penyanyi Leony Vitria Hartanti menyoroti laporan keuangan Tangerang Selatan tahun 2024 - sukabumiheadline.com

Penyanyi Leony Vitria Hartanti menyoroti laporan keuangan Tangerang Selatan tahun 2024 - sukabumiheadline.com

sukabumiheadline.com – Kita tentu sudah sering mendengar kata ‘pajak’, tapi apakah Anda tahu apa itu pajak?

Ya, pajak adalah fondasi utama pembiayaan negara yang memungkinkan terciptanya infrastruktur, layanan publik, dan stabilitas ekonomi.

Meskipun beban pajak bisa dirasa berat bagi beberapa individu maupun pelaku usaha, manfaat sosial dan fiskal dari penerimaan pajak menjadikan kewajiban ini sebagai investasi terhadap kesejahteraan publik maupun iklim usaha jangka panjang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Dari sudut pandang teori fiskal dan keadilan, bayar pajak bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan kontribusi terhadap solidaritas sosial, efisiensi alokasi sumber daya, dan stabilitas ekonomi makro.

Uang pembangunan negara dihasilkan dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat.

Kasus “pajak warisan” Leony

Beberapa waktu lalu, publik dihebohkan dengan keluhan yang disampaikan oleh Leony Vitria Hartanti, mantan personel Trio Kwek-kwek sekaligus artis cilik yang cukup dikenal.

Leony mengungkapkan keberatannya secara terbuka melalui media sosial terkait pajak yang dikenakan saat ia mencoba mengurus balik nama rumah warisan dari almarhum ayahnya.

Pajak yang dimaksud adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang menurutnya mencapai puluhan juta rupiah, sekitar 2,5 persen dari nilai properti tersebut.

Cerita ini menarik perhatian luas karena menggambarkan beban pajak yang dirasakan banyak warga dalam pengurusan aset warisan di Indonesia.
Kasus yang dialami Leony ini sebenarnya bukan masalah baru, melainkan cerminan dari masalah sistem perpajakan properti di tanah air yang selama ini menjadi polemik.

Banyak masyarakat awam yang sulit memahami perbedaan antara pajak penghasilan (PPh) dan BPHTB, serta regulasi yang mengikat kedua pajak tersebut.

Sunsun Launa Bilqis, Mahasiswi dari Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Fakultas Sosial dan Ekonomi, Universitas Linggabuana PGRI Sukabumi, melakukan kajian kritis terhadap kasus yang dialami Leony. Baca selengkapnya: Universitas Linggabuana PGRI, Merger Dua Perguruan Tinggi di Sukabumi

Dalam kasus Leony, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menegaskan bahwa warisan berupa properti tidak dikenai PPh, tetapi tetap dikenakan BPHTB ketika ahli waris melakukan balik nama sertifikat kepemilikan atas tanah dan bangunan tersebut.

Baca Juga :  Hindari Pajak Ibadah, Ratusan Ribu Pemeluk Kristen Jerman Tinggalkan Gereja

“BPHTB sendiri merupakan pajak yang dipungut atas perolehan hak atas tanah dan bangunan yang mencakup transaksi jual beli, tukar-menukar, hibah, serta waris,” kata Bilqis kepada sukabumiheadline.com, Kamis (20/11/2025).

Namun dalam konteks warisan, jelas Bilqis, walaupun tidak ada penghasilan yang diperoleh ahli waris dari aset tersebut, proses legalisasi transfer kepemilikan tetap harus memenuhi kewajiban pembayaran BPHTB berdasarkan nilai pasar atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besaran tarif pajak ini adalah 2,5 persen dari nilai perolehan tanah dan bangunan.

“Beban pajak ini sering kali dirasakan memberatkan terutama bagi keluarga sederhana ataupun mereka yang menerima warisan berupa aset bernilai tinggi namun tidak memiliki likuiditas memadai untuk membayar pajak tersebut secara tunai,” paparnya.

Kasus Leony, rajutan gejala ini menjadi gambaran nyata bagaimana aturan pajak yang ada dapat menimbulkan persepsi ketidakadilan, khususnya jika dibandingkan dengan objektivitas kemampuan membayar wajib pajak.

“Sebagai figur publik, keluhan Leony pun menunjukkan bahwa masalah pajak warisan tidak hanya dialami oleh warga biasa, tetapi juga orang-orang dengan kemampuan ekonomi yang relatif baik,” jelas Bilqis.

Ini menunjukkan bahwa sistem yang ada berpotensi menimbulkan ketidakpuasan yang luas jika tidak direspons dengan kebijakan yang adaptif dan inklusif.

Pemahaman Pajak Warisan di Indonesia
Menurut DJP, warisan properti tidak dikenai Pajak Penghasilan (PPh), tapi wajib membayar BPHTB saat proses balik nama sertifikat tanah dan bangunan.

Bilqis menjelaskan, BPHTB merupakan pajak yang dikenakan pemerintah daerah dengan tarif 2,5% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), atau 1% untuk rumah sederhana.

“Masyarakat sering keliru menyebutnya ‘pajak warisan’, padahal yang dikenakan adalah BPHTB sebagai pajak atas perolehan hak, bukan penghasilan,” jelas dia.

Keadilan pajak: Beban bagi ahli waris

Bilqis menjelaskan, ketentuan BPHTB dengan tarif tetap 2,5% dianggap adil secara prinsip keadilan komutatif, yaitu pajak proporsional terhadap nilai aset yang dialihkan. “Namun dari sisi keadilan distributif, pajak ini kerap dirasakan memberatkan, terutama untuk ahli waris yang kemampuan ekonominya terbatas,” kata Bilqis.

Baca Juga :  Genjot pajak, Prabowo targetkan pendapatan negara Rp3 ribu triliun

“Beban pajak balik nama, bisa menghambat proses legalisasi aset warisan dan menimbulkan ketidakpuasan masyarakat,” tambahnya.

Etika pungutan pajak dan fungsi sosialnya

Secara etika, jelas Bilqis, pajak adalah kewajiban sosial warga negara untuk berkontribusi pada pembangunan dan pelayanan publik. Namun pungutan pajak harus dilakukan dengan prinsip kemanusiaan, tidak memberatkan terutama bagi warga kurang mampu.

“Transparansi dan edukasi pajak juga penting agar tidak menimbulkan stigma negatif dan kebingungan masyarakat,” tegasnya.

Menurut Bilqis, sudut pandang etika dan keadilan terhadap pungutan balik nama warisan dapat dianalisis dari beberapa aspek, yakni Keadilan Distributif dan Komutatif, dan Keadilan distributif menekankan pembagian hak dan beban secara proporsional berdasarkan kemampuan dan kebutuhan.

“Dari sisi ini, pungutan balik nama warisan yang pemberatannya sama tanpa melihat kondisi ekonomi ahli waris berpotensi dianggap tidak adil, terutama bagi keluarga miskin atau menengah ke bawah yang menerima warisan bernilai tinggi tetapi tidak memiliki likuiditas,” jelasnya.

“Keadilan komutatif berkaitan dengan kesetaraan dalam pertukaran, di mana pajak seharusnya proporsional sesuai nilai aset yang dialihkan. Pungutan dengan tarif tetap seperti BPHTB (2,5%) yang diterapkan juga dianggap wajar dari sudut pandang keadilan ini,” papar Bilqis.

Dampak sosial-ekonomi pajak Blbalik nama yang berat

Lebih jauh, Bilqis menjelaskan, pungutan yang tinggi dapat menimbulkan masalah seperti sengketa kepemilikan, penundaan balik nama, dan tekanan ekonomi pada ahli waris.

“Hal ini berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan dan pemerintah, serta memperlebar kesenjangan sosial,” jelas Bilqis.

Rekomendasi reformasi pajak properti

Agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, Bilqis mendesak adanya reformasi pajak properti sebagai berikut:

  • Menerapkan skema pembayaran pajak warisan secara angsuran untuk meringankan beban
  • Memberikan keringanan pajak untuk kelompok rentan dan berpenghasilan rendah
  • Penyederhanaan dan digitalisasi proses perpajakan agar lebih mudah dan transparan.

Kasus Leony, menurut Bilqis, menjadi cermin penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk merefleksikan keadilan dan efisiensi sistem perpajakan properti.

“Perlunya di sini mekanisme yang adil, inklusif, dan manusiawi agar tujuan pajak sebagai sumber pembiayaan negara dapat tercapai tanpa memberatkan warga,” jelasnya.

“Dengan edukasi, transparansi, dan reformasi, kepatuhan pajak dapat meningkat dan kepercayaan publik tetap terjaga,” pungkas Bilqis.

Berita Terkait

Warga Sukabumi, yuk pahami pengertian Jalan Desa dan kewenangan menurut UU 38/2024
Yuk liburan ke Sukabumi! Menteri PU: Ada diskon tarif tol libur Natal & Tahun Baru
Jadi segini UMP Jawa Barat dan UMK Sukabumi 2026 jika naik 8,5 persen
Sebut Luhut bohong, upah buruh 2026 versi Menaker ditolak: Ngaco!
Redenominasi Rupiah: 2027 UMK Sukabumi Rp4,2 ribu
Dedi Mulyadi: 2 Januari 2026, truk AMDK dan tambang wajib dua sumbu, ini solusi buat sopir
Diskon 20%, segini tarif Jalan Tol Bocimi Seksi 2 jika liburan ke Sukabumi
Soal dari sumur bor, AQUA diduga tipu konsumen: BPKN investigasi gandeng BPOM

Berita Terkait

Kamis, 20 November 2025 - 09:32 WIB

Kajian kritis mahasiswa Sukabumi soal pajak warisan Leony: Antara keadilan dan realitas

Rabu, 19 November 2025 - 09:17 WIB

Warga Sukabumi, yuk pahami pengertian Jalan Desa dan kewenangan menurut UU 38/2024

Senin, 17 November 2025 - 17:26 WIB

Yuk liburan ke Sukabumi! Menteri PU: Ada diskon tarif tol libur Natal & Tahun Baru

Kamis, 13 November 2025 - 08:00 WIB

Jadi segini UMP Jawa Barat dan UMK Sukabumi 2026 jika naik 8,5 persen

Selasa, 11 November 2025 - 10:49 WIB

Sebut Luhut bohong, upah buruh 2026 versi Menaker ditolak: Ngaco!

Berita Terbaru