26.5 C
Sukabumi
Minggu, Mei 5, 2024

Thrust Defender 125, Motor Matic Maxi Bikin Yamaha XMAX Ketar-ketir, Cek Harganya

sukabumiheadline.com l Thrust Defender 125, diprediksi bakal...

Ternyata Ini Penyebab Ledakan Tabung CNG di Cibadak Sukabumi, Kepsek SD Korban Tewas

sukabumiheadline.com l Peristiwa pilu meledaknya tabung gas...

Yamaha Zuma 125 meluncur, intip harga dan penampakan detail motor matic trail

sukabumiheadline.com - Yamaha resmi memperkenalkan Zuma 125...

Hukum Membeli Barang Hasil Sitaan Bank dan Negara dalam Islam

KhazanahHukum Membeli Barang Hasil Sitaan Bank dan Negara dalam Islam

sukabumiheadline.com l Warga Sukabumi, Jawa Barat tentunya akan tergoda manakala menerima tawaran untuk membeli barang dengan harga di bawah standar pasar.

Membeli barang bagus dengan harga lebih murah dari harga pasar, pada umumnya mudah ditemui dalam praktik lelang, salah satunya lelang yang diadakan oleh pihak bank.

Di Sukabumi terbilang sering diadakan lelang barang hasil sitaan oleh pihak bank. Umumnya, barang barang tersebut ditawarkan dengan harga murah.

Namun, sebelum membelinya, ada baiknya warga Sukabumi memahami hukum membeli barang sitaan oleh pihak bank di dalam Islam.

Haram Hukumnya Membeli Barang Hasil Sitaan Bank

Menurut KH. M. Shiddiq Al-Jawi, hukum membeli barang sitaan bank dalam Islam adalah haram. Hal itu karena barang sitaan bank adalah berupa agunan utang dari debitur yang gagal bayar (default), dengan 3 (tiga) alasan berikut ini:

Pertama, karena bank tidak berhak menyita agunan utang milik debitur yang gagal bayar. Dalam Islam, jika debitur mengalami gagal bayar, maka yang dilakukan bukanlah bank menyita agunan utang, melainkan debitur menjual agunan itu untuk melunasi utang, baik debitur itu kemudian menjual agunan itu kepada kreditur, ataupun menjualnya kepada pihak lain selain kreditur.

Jadi, penyitaan agunan utang oleh bank itu tidak sah menurut hukum Islam, karena agunan utang itu sebenarnya masih hak miliknya pihak debitur, walaupun debitur itu mengalami gagal bayar. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

لَا يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ ، لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ

Tidaklah suatu barang gadai (agunan utang) menjadi hilang bagi pemiliknya bila ia tidak menebusnya pada waktunya. Setiap kenaikan nilainya menjadi miliknya dan segala kerugian menjadi tanggungannya.” (HR. Ad-Daraquthni, 3/33; Al-Hakim, 2/51; dari Sa’id bin Al-Musayyab).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa ketika pihak debitur gagal bayar, atau dengan kata lain, ketika debitur tidak mampu menebus barang yang digadaikannya, maka barang gadai (agunan utang) itu tidaklah otomatis menjadi hak miliknya pihak kreditur, tetapi masih tetap menjadi hak miliknya debitur.

Inilah hukum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yang telah menghapuskan tradisi muamalah Jahiliyyah yang menetapkan kalau debitur gagal bayar, maka barang gadai otomatis menjadi miliknya kreditur. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, 2/339).

Kedua, karena barang itu sebenarnya bukan milik bank, melainkan masih hak milik debitur yang gagal bayar tersebut. Oleh karenanya, jika bank menyita agunan utang tersebut, lalu bank menjual agunan itu melalui suatu pelelangan, berarti bank telah menjual barang yang bukan miliknya. Padahal Islam telah tegas melarang untuk menjual apa-apa yang bukan milik penjual, sesuai sabda Rasulullah SAW yang bermakna umum berikut ini:

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Janganlah kamu menjual apa-apa yang tidak ada di sisimu.” (Arab : lā tabi’ mā laysa ‘indaka) (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Salah satu pengertian dari “apa-apa yang tidak ada di sisimu” (مَا لَيْسَ عِنْدَكَ) adalah “apa-apa yang bukan milikmu,” ( مَا لَيْسَ فِيْ مِلْكِكَ), misalnya barang itu milik tetanggamu, atau milik temanmu, atau barang itu milik debiturmu yang gagal bayar, dsb. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyyah Al-Islāmiyyah, 2/390).

Ketiga, karena agunan utang (rahn) di bank ini merupakan muamalah cabang, yang lahir dari muamalah pokok, yaitu utang piutang yang bersifat ribawi.

Maka dari itu, muamalah cabang berupa agunan utang di bank ini hukumnya haram, karena muamalah pokoknya sudah haram. Kaidah fiqih menegaskan:

إِذَا سَقَطَ الْأَصْلُ سَقَطَ الْفَرْعُ

“Jika masalah pokok telah gugur, maka gugur pula masalah cabangnya.” (Muhammad Shidqi Al-Burnu, Mausū’ah Al-Qawā’id Al-Fiqhiyyah, 1/271; Al-Mausū’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 5/58).

Kesimpulannya, berdasarkan tiga alasan di atas, membeli barang sitaan bank haram hukumnya dalam Syariah Islam.

Hukum Halal Membeli Barang Hasil Sitaan Bank

Membeli barang hasil sitaan pihak bank pada prinsipnya dilarang dalam Islam, namun menjadi boleh apabila proses penyitaan oleh pihak bank tersebut dilakukan dengan jalur yang benar.

Dengan demikian, barang yang disita harus sejenis dengan haknya bank dan pihak bank boleh menyita barang yang selain jenis seharga haknya bank bila tidak ditemukan barang sejenis.

Bila barang lain jenis tersebut harganya lebih mahal dari haknya bank, maka barang tersebut harus dijual dan pihak bank hanya boleh mengambil seukuran haknya saja selebihnya harus dikembalikan pada yang punya barang tersebut.

Dengan demikian, dibolehkan membeli sepeda motor, mobil atau barang lainnya di lelang bank konvensional dengan dua syarat:

Pertama, pemilik mobil telah mengizinkan kepada bank untuk menjualnya. Atau hal itu telah diputuskan oleh pengadilan. Karena bank tidak dibolehkan menjual mobil gadaian atau sitaan tanpa izin pemiliknya kecuali ada keputusan pengadilan.

Dalam kitab Zadul Mustaqni dikatakan, “Kapan saja hutang jatuh tempo namun dia tidak juga melunasi utangnya, maka jika orang yang menggadaikan barangnya memberi izin kepada orang yang menerima barang gadaian untuk menjualnya, barang gadaian itu boleh dijual lalu hasilnya untuk melunasi hutangnya. Kalau dia (pemiliki barang) tidak mengizinkan, maka hakim memaksa untuk melunasinya atau menjual gadaian. Kalau tidak dilakukan, maka hakim (berhak) menjualnya dan melunasi hutang orang tersebut.”

Kedua, ditawarkan dalam pelelangan dengan harga pasar. Seperti penawaran pada mobil bekas lainnya. Karena pemiliknya menjual dalam rangka untuk melunasi hutangnya. Maka tidak dibolehkan mengurangi haknya. Tidak dibolehkan pula mengambil hartanya sementara dia tidak rela.

Dalam kitab Mugni Al-Muhtaj, (3/71) dikatakan, “Dan tidak boleh bagi ‘al adl’ menjual barang gadaian kecuali dengan harga pasaran berdasarkan mata uang  negaranya. Posisi dia seperti wakil, kalau melenceng, maka penjualan tidak sah. Akan tetapi tidak mengapa jika kurang dari harga pasaran dalam batas yang orang melakukan tawar menawar, karena hal itu masih ditolerir.”

Al-Adl adalah orang yang diminta untuk menyimpan gadaian padanya. Ketika terjadi kesepakatan kedua pihak menyimpang barang gadaian padanya.

Ketika dua syarat diatas terpenuhi, maka tidak mengapa membeli barang gadaian tersebut, tidak dimakruhkan membeli barang tersebut dari orang yang dipaksa dalam menjualnya (sesuai keputusan hakim).

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan terkait dengan orang yang dipaksa menjual barang gadaian dalam rangka melunasi tanggungannya, “Apakah dimakruhkan membeli darinya?” Para ulama fikih rahimahumullah mengatakan bahwa membeli sesuatu darinya itu dimakruhkan karena dia menjualnya secara terpaksa. Sebab Nabi sallallahu alaihi wa sallam melarang memaksa seseorang untuk menjual miliknya, dan orang ini terpaksa menjualnya.

Akan tetapi yang benar, adalah hal itu tidak makruh. Karena kalau kita memakruhkan hal tersebut, maka itu akan semakin menambah hukuman atasnya.

Karenanya, jika kita katakan kepada orang-orang, ‘Jangan membeli darinya,’ Maka mereka (yang memberi hutang) akan menagihnya pagi dan petang hari untuk melunasinya, maka tetap saja dia akhirnya dipaksa (melunasi). Yang benar adalah tidak makruh membeli darinya, bahkan jika kita katakan dianjurkan membeli darinya agar dia terlepas dari perkara yang memberatkannya ini, hal itu masih dibenarkan.

Adapun terkait larangan dari menjual dalam keadaan terpaksa, maksudnya adalah seseorang terpaksa menjual sesuatu kepada anda sementara anda wajib memberi kepadanya sesuatu, namun tidak ada beri kecuali dia menjual sesuatu itu kepada anda. Kata paksaan di atas dikaitkan kepada objek bukan kepada subjek.” (As-Syarhul Mumti, 15/488).

Membeli Barang Sitaan Negara

Pertanyaan, “Apakah diperbolehkan membeli barang sitaan negara, semisal barang selundupan yang dijual oleh negara dengan sistem lelang terbuka?”

Jawaban Syekh Muhammad Ali Farkus, “Barang dagangan atau berbagai barang terlarang yang disita oleh negara itu ada dua macam. Boleh jadi, penyitaan yang dilakukan oleh negara tersebut bisa dibenarkan oleh syariat karena penyitaan tersebut dalam rangka mewujudkan kepentingan bersama seluruh bangsa serta mempertahankan stabilitas ekonomi dan sosial. Mungkin juga, penyitaan tersebut tidak bisa dibenarkan oleh syariat.

Sikap hati-hati dalam beragama mengharuskan kita untuk menjaga diri untuk tidak berperan serta memperdagangkan harta milik orang lain tanpa seizin pemiliknya, baik barang sitaan tersebut diperdagangkan dengan cara lelang terbuka atau pun lelang tertutup.

Hal ini kita lakukan karena khawatir terjerumus dalam tindakan memakan harta orang lain dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh agama, yang merupakan perbuatan haram berdasarkan firman Allah,

وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ

Yang artinya, Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara-cara yang tidak bisa dibenarkan. (Q.s. Al-Baqarah:188)

كُلُّ المُسْلِمِ عَلَى المُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

Nabi bersabda, Setiap muslim itu haram mengganggu darah, harta, dan kehormatan muslim yang lain. (HR. Muslim)

Alasan tidak bolehnya membeli harta sitaan negara adalah karena harta sitaan negara itu tidak lepas dari tiga kemungkinan.

Pertama, penyitaan yang dilakukan oleh negara atas harta milik orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan oleh syariat, semisal penyitaan barang selundupan. Membeli barang sitaan negara yang berasal dari barang selundupan dinilai sebagai tindakan membeli barang hasil rampasan dari pihak yang merampasnya.

Kedua, penyitaan yang dilakukan oleh negara atas harta orang lain tersebut berstatus sebagai hukuman. Tindakan negara semisal ini bisa agak dibenarkan, mengingat pendapat sebagian ulama yang memperbolehkan hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman finansial.

Namun, sebenarnya adanya kasus-kasus tertentu yang padanya diperbolehkan hukuman ta’zir (berupa hukuman finansial) bukanlah alasan yang memperbolehkan penguasa untuk merampas harta orang lain dengan alasan memiliki kekuasaan untuk memberikan hukuman ta’zir.

Pendapat yang paling kuat mengenai hukuman ta’zir dalam bentuk finansial adalah terlarangnya memberikan hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman finansial, karena perbuatan tersebut terhitung tindakan melewati batas terhadap harta orang lain. Hal ini juga merupakan tindakan yang tidak disukai oleh Allah, kecuali dalam kasus-kasus yang diperbolehkan oleh dalil syariat. Adapun tindakan penyitaan barang selundupan, itu tidaklah termasuk kasus yang diperbolehkan oleh dalil syariat.

Akan tetapi, dengan menimbang bahwa hukuman ta’zir dengan hukuman finansial adalah masalah yang diperselisihkan ulama, kita katakan bahwa tidak membeli atau pun memperdagangkan barang yang tidak jelas kehalalannya adalah tindakan yang lebih menyelamatkan agama dan lebih menjaga diri dari komentar miring pihak-pihak tertentu. Nabi bersabda,

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ

Barang siapa yang menjaga diri dari harta yang tidak jelas kehalalannya maka dia telah menjaga bersihnya agama dan kehormatannya. Siapa saja yang terjatuh dalam hal-hal yang tidak jelas kehalalannya maka dia pasti akan terjerumus dalam hal yang jelas haramnya.’ (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga, pemilik barang yang barangnya disita oleh negara itu mengizinkan dengan penuh suka rela kepada orang lain untuk membeli barangnya. Jika demikian, diperbolehkan membeli barang sitaan tersebut, mengingat sabda Nabi,

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Tidaklah halal memanfaatkan harta milik seorang muslim melainkan dengan kerelaan hatinya. (HR. Ahmad; dinilai sahih oleh Al-Albani di Al-Irwa’, 5:279).”

Konten Lainnya

Content TAGS

Konten Populer