21.8 C
Sukabumi
Rabu, April 24, 2024

Tebing Palagan Bojongkokosan Sukabumi longsor timpa jalan

sukabumiheadline.com - Musibah longsor terjadi di kawasan...

Mengenal Nyai Djuaesih, Pendakwah dan Wanita Pejuang dari Sukabumi

Gaya hidupMengenal Nyai Djuaesih, Pendakwah dan Wanita Pejuang dari Sukabumi

SUKABUMIHEADLINE.com l Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia ada banyak wanita pejuang terlibat. Sebut saja RA. Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan lainnya. Nama-nama mereka tercatat dengan tinta emas sebagai pahlawan bangsa dan menjadi simbol emansipasi (kesetaraan) perempuan.

Namun, tidak banyak yang mengenal wanita pejuang asal Sukabumi, Nyai Djuaesih.

Ditulis sukabumixyz.com, Nyai Djuaesih lahir di Sukabumi pada Juni 1901, dari keluarga pendakwah yang sederhana di Sukabumi. Nama lengkapnya adalah Nyai Hajjah R. Djuaesih dan dikenal sebagai mubalighah kenamaan. Sayangnya, tak ada data lebih detil perihal di mana tepatnya di Sukabumi beliau dilahirkan. Dikatakan lalu, Djuaesih adalah anak dari R.O. Abbas dan R. Omara S. Kedua orang tuanya itu juga dikenal sebagai pengajar agama atau ustad dan ustadzah.

Seperti umumnya anak perempuan dari keluarga sederhana di masa kolonial Belanda, Djuaesih tidak mengeyam pendidikan formal. Ia hanya belajar kepada orang tuanya yang membekalinya dengan ilmu agama. Selebihnya ia belajar dari pergaulan dan lingkungannya.

Setelah cukup umur, Djuaesih menikah dengan Danuatmadja alias H. Bustomi. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai tiga orang anak. Djuaesih sangat memandang penting pendidikan. Itulah mengapa saat mendapatkan kesempatan, ia menyekolahkan ketiga anaknya di sekolah formil sampai menamatkan MULO (red: SMP jaman Belanda).

Lahir dari keluarga sederhana tidak membuatnya menjadi minder. Justru sebaliknya, Djuaesih memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Djuaesih memiliki kemampuan alamiah sebagai pendakwah atau mubalighah dan cukup terkenal di Jawa Barat. la sering memberikan ceramah agama bagi ibu-ibu di berbagai pelosok Jawa Barat seperti di Pandeglang, Tasikmalaya, Sukabumi, Ciamis, dan Bekasi.

Persentuhannya dengan organisasi NU dimulai setelah menikah dengan H. Bustomi yang seorang pengurus NU Jawa Barat. Dalam berbagai acara organisasi Djuaesih selalu menyertai suaminya. Dari pergaulannya itulah ia mulai merasa bahwa NU perlu mengorganisasi para perempuannya agar bisa ikut bersama-sama berdakwah.

Pelopor berdirinya Muslimat NU

Dalam perjalannya, Djuaesih memberikan sumbangsih besar dalam gerakan perempuan di lingkungan NU dan dianggap sebagai pelopor berdirinya organisasi perempuan NU, yaitu Muslimat NU yang kini diketuai oleh Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa. Peran sentral Djuaesih dalam pendirian Muslimat NU diawali pada forum Muktamar NU ke-13 yang diadakan di Menes, Banten pada tahun 1938.

Dikutip dari buku berjudul, “50 Tahun Muslimat NU, Berkhidmat untuk Agama, Negara & Bangsa” yang ditulis tokoh NU Abdullah Alawi, Nyai Djuaesih tercatat menyatakan, ”Di dalam agama Islam, bukan saja kaum laki-laki yang harus dididik mengenai pengetahuan agama dan pengetahuan lain. Kaum wanita juga wajib mendapatkan didikan yang selaras dengan kehendak dan tuntutan agama. Karena itu, kaum wanita yang tergabung dalam Nahdlatul Ulama mesti bangkit.”

Setahun kemudian, tepatnya pada Muktamar NU ke-14 di Magelang, Nyai Djuaesih mendapat tugas memimpin rapat khusus wanita oleh RH Muchtar (utusan NU Banyumas) yang waktu itu dihadiri perwakilan dari daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Barat, seperti Muntilan, Sukoharjo, Kroya, Wonosobo, Surakarta, Magelang, Parakan, Purworejo, dan Bandung. Forum tersebut lalu menghasilkan rumusan pentingnya peranan wanita dalam organisasi NU, masyarakat, pendidikan, dan dakwah.

Rumusan tentang pentingnya peranan wanita NU dalam organisasi kian menemukan sosok formalnya ketika berlangsung Muktamar NU ke-15 di Surabaya tahun 1940, yakni dengan diterimanya rumusan tersebut lengkap dengan anggaran dasar dan pengurus besarnya. Hanya saja, kala itu Muktamar belum mau memberikan pengakuan secara resmi.

Akhirnya, pada tanggal 29 Maret 1946, keinginan kaum perempuan NU untuk berorganisasi diterima secara bulat oleh para utusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto. Hasilnya, dibentuklah lembaga organik bidang wanita dengan nama Nahdlatoel Oelama Moeslimat (NOM) yang kelak lebih populer disebut Muslimat NU. Hari inilah yang di kemudian hari diperingati sebagai hari lahir Muslimat NU sampai sekarang. Pendirian Muslimat NU didukung oleh tiga kyai utama NU, yaitu KH Muhammad Dahlan, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan KH Saifuddin Zuhri.

Meski menjadi salah satu perintis Muslimat NU, Nyai Djuaesih tidak menduduki jabatan tertentu pada kepengurusan pertama Muslimat NU di Jawa Barat. Baru pada periode 1950-1952, Nyai Djuaesih menjabat sebagai ketua Muslimat NU Jawa Barat.

[4] Memperjuangkan derajat kaum perempuan sampai mengangkat senjata

Nyai Djuaesih Disetarakan RA. Kartini

Perannya yang sentral dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan NU, membuat Nyai Djuaesih disetarakan kontribusinya dengan tokoh emansipasi RA. Kartini. Pengakuan itu diberikan oleh aktivis perempuan yang juga anggota DPRD Jawa Timur, Nurfitriana Busyro. Nurfitriana yang istri dari Bupati Sumenep KH A. Busyro Karim, menulis sebuah artikel menyambut Hari Santri tahun 2018 dalam portal matamaduranews.com.

Dalam artikelnya, Nurfitriana menyebutkan tiga santriwati yang mempunyai jasa besar dalam perjuangan emansipasi perempuan di Indonesia. Mereka adalah Nyai Siti Walidah Dahlan, Raden Adjeng Kartini, dan Nyai Hajjah R. Djuaesih.

Untuk diketahui, Nyai Siti Walidah Dahlan adalah istri dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Dan RA. Kartini semua orang sudah tahu bahwa dia adalah sosok utama emansipasi perempuan di negeri ini. Nurfitriana memandang Nyai Djuaesih yang kelahiran Sukabumi layak untuk disejajarkan dengan kedua tokoh perempuan besar itu.

Konten Lainnya

Content TAGS

Konten Populer