Cerita Awal Menjadi Guru

Sumitra yang berangkat dari keluarga sederhana, tidak pernah menyerah untuk terus bersekolah. Kakek dan neneknya selalu mendukung agar ia sukses di bidang apapun yang dijalaninya.

“Sejak masih SD saya sudah jualan gorengan, es batu, es balok. Saya bawa ke sekolah. Dari uang itu, saya kumpulkan buat bayar sekolah sampai selesai,” tutur Sumitra.

Setelah lulus sekolah, Sumitra menjadi pembina Pramuka di sekolah-sekolah yang hasilnya dikumpulkan untuk biaya kuliah. Ia juga sempat mengelola PAUD di kampungnya pada 2009. Meskipun tidak digaji, ia tetap senang karena bisa berbagi ilmunya ke anak-anak di Kampung Pamatutan, Desa Sundawenang, Kecamatan Parungkuda, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Kecintaan Sumitra terhadap bidang pendidikan dan berkat tekad kuat serta ketekunan, ia pun berhasil menyelesaikan pendidikan hingga tingkat perguruan tinggi.

“Meskipun sempat dua kali terhenti kuliah karena faktor biaya, alhamdulillah akhirnya bisa menyelesaikan kuliah,” jelas Sumitra.

Selesai kuliah di Universitas Suryakencana Cianjur dan lulus pada 2014 lalu, Sumitra kemudian membulatkan tekad merantau ke Papua.

Tantangan dan Kendala yang Dihadapi

Sumitra bersama anak-anak Papua. l Istimewa

Delapan tahun mengajar di Papua sebagai honorer, Sumitra mulai memahami keinginan besar anak-anak Papua untuk belajar.

Sayangnya, kondisi geografis yang sulit, latar belakang keluarga, dan fasilitas pendidikan yang masih terbatas menyebabkan sebagian dari mereka harus putus sekolah.

“Dulu saya sempat ditempatkan di daerah pedalaman, berangkat dari rumah hingga sampai ke tempat mengajar jam 08.00 WIB. Positifnya, meskipun ada di daerah, mereka antusias mengikuti pelajaran. Makanya sekarang banyak yang setelah lulus sekolah, kemudian menjadi tentara,” cerita pria kelahiran 16 Agustus 1987, itu kepada sukabumiheadline.com melalui aplikasi perpesanan, Jumat (1/7/2022).

Sumitra yang baru diangkat menjadi ASN PPPK sejak 2021 lalu, itu menyebut, kesulitan utama yang dirasakannya saat awal kedatangan di Papua, adalah memahami karakter anak-anak didiknya.

Menurutnya, sebagian besar mereka belum begitu memahami pentingnya pendidikan, peran mereka dalam belajar, serta masih menganggap sekolah sebagai kewajiban.

Karena siswa berangkat dari latar belakang keluarga yang berbeda-beda, Sumitra pun melakukan pendekatan yang sebelumnya dilakukan di kampung halamannya.

Ia berusaha memberikan pemahaman kepada siswa, dan memberikan penjelasan bahwa semua anak Indonesia memiliki kesempatan untuk belajar dan berhasil.

“Mereka (siswa) itu banyak yang berlatar belakang orang tua dari pekerjaan buruh lepas dan tinggal di daerah gunung. Saya coba mendekati mereka, bagaimana caranya anak ini jadi orang sukses. Walaupun awalnya mereka sulit menerima kedatangan saya,” ungkapnya.

Dengan pendekatan tersebut, Sumitra ingin membangun semangat siswa untuk belajar. Karena sebenarnya setelah muncul semangat, siswa akan tertantang untuk terus sekolah di tengah kesulitan yang ada.

Sumitra bersama anak-anak Papua. l Istimewa

Selain itu, bahasa juga menjadi salah satu tantangan di awal kepindahannya ke Papua. Sebagai orang Sunda, Sumitra ditantang untuk memahami bahasa daerah Papua yang sangat beragam.

Dengan pengantar bahasa Indonesia, perlahan ia dan anak-anak Papua mulai bisa berkomunikasi dengan lancar.

Kepedulian Sumitra Terhadap Lingkungan

Sumitra bersama Kepala SMP Negeri 2 Sentani Kelasina Yanggroseray. l Istimewa

Selain mendidik anak-anak Papua, ia juga mengajak siswanya untuk peduli terhadap lingkungan melalui gerakan penghijauan sekolah.

Dengan dukungan Kepala SMP Negeri 2 Sentani Kelasina Yanggroseray, ia pun menginisiasi kegiatan penghijauan di sekolah. Mulai dari gerakan penanaman pohon sampai mengolah sampah daun kering, semuanya ia lakukan untuk menciptakan lingkungan sekolah yang asri.

Karenanya, kondisi lingkungan sekolahnya yang sebelumnya sangat gersang, kini mulai asri. Letak sekolah berada di pinggir jalan dan tidak banyak pepohonan, kini berbanding terbalik menjadi rimbun dan hijau dengan pepohonan.

Tak hanya itu, daun-daun kering yang terkumpul pun diolah menjadi kompos yang bisa digunakan untuk pupuk tanaman di sekitar sekolah.

Lewat kegiatan ini, Pak Sumitra ingin memberikan pengetahuan dan kesadaran bagi sesama guru dan siswa untuk menjaga lingkungan. Peserta didik juga bisa mempunyai bekal dan pemahaman yang lebih tentang manfaat dari daun kering sebagai bahan dasar pupuk organik.

“Kegiatan saya sebelum masuk kelas, kita bersihkan lingkungan, jadi daun-daun kita kumpulkan dan dipisah-pisah,” papar ayah dua anak itu.

Apa yang dilakukan Sumitra tidak hanya untuk mencerdaskan anak-anak Papua, tapi juga memunculkan kesadaran bagi mereka tentang pentingnya merawat lingkungan. Kondisi sekolah kini menjadi hijau dan asri, sehingga siswa lebih nyaman dan semangat untuk belajar.

Berkat kegiatan tersebut, Sumitra berhasil membawa SMP Negeri 2 Sentani meraih piala Adiwiyata dari Bupati Jayapura di tahun 2018.