sukabumiheadline.com – Ancaman utama sektor pertanian Indonesia secara umum meliputi alih fungsi lahan produktif, regenerasi petani yang minim, perubahan iklim (kekeringan, banjir, hama), keterbatasan akses modal dan teknologi, rantai distribusi tidak efisien, serta kemiskinan petani yang berdampak pada ketahanan pangan dan kesejahteraan.
Saat ini, tantangannya adalah bagaimana meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani di tengah tantangan tersebut, melalui inovasi, kebijakan yang tepat, dan regenerasi sumber daya manusia pertanian.
Sektor pertanian di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan yang berdampak langsung pada kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional. Menurut para pengamat dan dosen pertanian, kemiskinan yang meluas di kalangan petani merupakan salah satu isu yang paling mendesak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Prof. Dr. Ir. Masyhuri, Guru Besar Bidang Ekonomi Pertanian dan Agribisnis Universitas Gajah Mada (UGM), mengungkapkan sejumlah persoalan mendalam harus diatasi untuk memastikan ketahanan pangan yang berkelanjutan di Indonesia.
Menurutnya, kemiskinan menjadi persoalan dan tantangan terbesar yang dihadapi oleh sektor pertanian dan menjadi tantangan besar bagi para akademisi.
“Banyak petani dan nelayan yang hidup dalam garis kemiskinan meskipun mereka bekerja keras di lahan dan laut. Ini adalah tantangan besar bagi kami sebagai akademisi dan pengamat pertanian,” ujarnya seperti dikutip sukabumiheadline.com dari laman resmi UGM, Senin (29/12/2025).
Ancaman dan tantangan sektor pertanian di Sukabumi
Ancaman utama sektor pertanian di Sukabumi meliputi bencana alam (banjir, kekeringan, gagal panen), alih fungsi lahan produktif menjadi non-pertanian, perubahan iklim, dan krisis regenerasi petani, serta tantangan infrastruktur irigasi dan konflik sumber daya yang memperburuk kerawanan pangan dan produktivitas.
Dampaknya adalah penurunan produksi, kerugian ekonomi petani, dan ketergantungan pangan dari luar daerah.
Ancaman utama sektor pertanian di Sukabumi
1. Bencana Alam & Perubahan Iklim

Perubahan iklim global berdampak signifikan terhadap pertanian di Sukabumi. Pergeseran pola musim tanam, curah hujan yang tidak menentu, kekeringan yang meluas, dan suhu tinggi seringkali menyebabkan penurunan hasil panen dan bahkan gagal panen.
Ratusan hektare sawah sering gagal panen akibat bencana seperti banjir dan kekeringan, menyebabkan kerugian besar bagi petani. Musim kemarau panjang membuat petani enggan menanam padi karena khawatir lahan kering, bahkan ada yang beralih pekerjaan.
Bencana merusak jaringan irigasi dan infrastruktur pertanian lainnya, menghambat produksi. Banyak saluran irigasi di Sukabumi yang mengalami kerusakan, bahkan ada yang jebol dan terbengkalai selama bertahun-tahun tanpa perhatian memadai.
Di Kabupaten Sukabumi, kekeringan melanda ratusan hektare pada Agustus 2024, dengan total luas lahan pertanian mencapai sekitar 64.077 hektare (berdasarkan RTRW 55 ribu hektare).
Kerusakan infrastruktur irigasi ini menyebabkan puluhan hingga ratusan hektare sawah terancam gagal panen, terutama saat musim kemarau atau setelah bencana.
Reny Sukmawani dan Endang Tri Astutiningsih, dua mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) mengungkap hasil penelitiannya di Kecamatan Nyalindung yang terdampak bencana pergerakan tanah dan longsor.
Dalam jurnal berjudul Dampak Bencana terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Sukabumi, Reny dan Endang mengumpulkan, bencana longsor telah berdampak pada penurunan pendapatan dan ketahanan pangan warga setempat.
“Sisi ketersediaan pangan menunjukkan bahwa pangan pokok (beras) senantiasa tersedia, walaupun sebagian besar hanya memiliki persediaan hingga dua hari ke depan dan masih bergantung pada produk dari luar kawasan tinggal,” katanya dikutip sukabumiheadline.com, Senin (29/12/2025).
Sementara dari sisi keterjangkauan, menunjukkan bahwa rumahtangga tidak sulit untuk mendapatkan beras dan sumber protein. Di sisi lain, mereka juga sulit untuk mendapatkan alternatif penggantinya.
“Rumahtangga juga kesulitan untuk mendapatkan sumber protein selain ikan asin dan telur, karena jarang ada dan tidak selalu terjangkau harganya,” paparnya.
“Dari sisi pemanfaatannya, pola konsumsi pangan rumah tangga kurang bervariasi terutama untuk sumber karbohidrat dan protein hewani,” imbuhnya.
2. Alih Fungsi Lahan

Lahan pertanian produktif terus berkurang akibat konversi menjadi non-pertanian. Kondisi ini menjadi ancaman terbesar, karena berkurangnya luas lahan pertanian akibat konversi menjadi permukiman dan infrastruktur mengancam ketersediaan pangan lokal.
- Kabupaten Sukabumi: Tren penurunan lahan sawah terus terjadi secara bertahap; pada tahun 2020 tercatat sisa lahan sawah sekitar 56.873 hektare, namun angka ini terus tertekan oleh pembangunan.
- Penyebab Utama Alih Fungsi: Penyusutan lahan didorong oleh beberapa faktor krusial, seperti Tingginya pertumbuhan penduduk meningkatkan kebutuhan akan lahan perumahan dan properti. Lalu, perluasan industri di wilayah Kabupaten Sukabumi sering kali mengambil alih lahan produktif. Hingga faktor bencana alam seperti banjir dan tanah longsor (seperti yang terjadi di akhir 2024) turut merusak struktur tanah dan mengubah fungsi lahan.
Di sisi lain, urbanisasi, investasi industri, dan perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang kurang mempertimbangkan keberlanjutan pertanian juga membuat lahan pertanian di Kota Sukabumi menyusut signifikan setiap tahunnya.
Padahal, Kota Sukabumi bukan daerah sentra produksi pangan, sehingga pasokan pangan sangat bergantung dari daerah sekitar, terutama Kabupaten Sukabumi. Sementara itu, luas lahan pertanian di kota ini, berkurang sekira 26 hektar pada 2024 yang dikarenakan meningkatnya alih fungsi lahan pertanian seperti menjadi permukiman atau fasilitas lainnya.
“Pada 2023 luas lahan pertanian di Kota Sukabumi sekitar 1.321 hektare, tetapi pada tahun ini menjadi 1.295 hektare atau berkurang 26 hektare,” kata Asisten Daerah Perekonomian dan Pembangunan Kota Sukabumi Nuraeni Komarudin, beberapa waktu lalu.
3. Konflik Sumber Daya
Di sisi lain, konflik pengelolaan sumber daya, seperti perebutan lahan antara petani dengan kegiatan lain (misalnya pertambangan pasir dan emas), merusak ruang hidup petani. Akibatnya, kawasan hutan lindung kian menjadi incaran petani dan petambang.
Mamat Ruhimat dalam jurnalnya berjudul Tekanan Penduduk Terhadap Lahan di Kecamatan Sukaraja Kabupaten Sukabumi berpendapat, tekanan penduduk memicu berkurangnya lahan hutan lindung.
“Jumlah dan pertumbuhan penduduk petani yang terus meningkat, sementara di lain pihak luas dan kualitas lahan tidak berubah. Hal itu dapat menyebabkan tingginya tekanan penduduk terhadap lahan,” kata Mamat dari Departemen Pendidikan Geografi, FPIPS, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung itu.
“Tekanan penduduk merupakan daya
yang menekan penduduk untuk memperluas lahan garapan, dan atau keluar dari daerah yang bersangkutan. Tekanan penduduk yang tinggi dapat menyebabkan areal hutan lindung akan terancam,” kata dia.
4. Krisis Regenerasi Petani

Kurangnya minat generasi muda untuk bertani menjadi tantangan serius dalam keberlanjutan sektor pertanian.
Sektor pertanian dinilai kurang menjanjikan oleh sebagian besar generasi muda, menyebabkan kurangnya regenerasi petani. Permasalahan SDM ini menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan sektor pertanian di masa depan.
Tingginya pengangguran dan kemiskinan di beberapa wilayah memperparah ketimpangan sosial di sektor pertanian.
5. Tantangan Ekonomi & Sosial

Fluktuasi harga dan musim paceklik menjadi momok menakutkan bagi petani. Petani seringkali menghadapi keterbatasan permodalan dan ketidakstabilan harga produk pertanian. Hal ini mempersulit petani untuk meningkatkan kesejahteraan dan melakukan investasi dalam usaha tani mereka.









