sukabumiheadline.com – Kasus meninggalnya balita berusia 4 tahun bernama Raya, warga Kampung Padangenyang, Desa Cianaga, Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menjadi tamparan bagi banyak pihak.
Tubuh Raya berisi ratusan cacing berukuran kecil hingga besar, membuatnya hidup dalam penderitaan selama tiga tahun terakhir.
Tragisnya lagi, ibu dari Raya seorang wanita dengan gangguan kejiwaan. Sedangkan, ayahnya sudah bertahun-tahun menderita TBC. Alhasil, Raya diasuh oleh neneknya yang juga hidup dalam kemiskinan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Peristiwa ini tidak hanya menampar wajah Pemerintah Desa (Pemdes) Cianaga, tapi juga Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi. Bahkan, membuat geram Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi hingga keluar ancaman untuk memberikan sanksi terhadap desa, Tim Penggerak PKK serta bidan desa setempat. Baca selengkapnya: KDM sanksi Pemdes dan bidan, bocah di Kabandungan Sukabumi meninggal sebab cacingan akut

Apa yang terjadi kepada Raya sangat ironis, mengingat Kabandungan merupakan lokasi proyek Salak Binary, lokasi wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Gunung Salak. Namun di sisi lain, kecamatan ini masih menjadi lumbung kemiskinan di Kabupaten Sukabumi.
Berita Terkait: Sejarah PLTP Gunung Salak, Setor Puluhan Miliar Rupiah per Tahun ke Kas Pemkab Sukabumi
Namun, faktanya warga tidak mendapatkan keuntungan layak dari tenaga panas bumi yang dihasilkan. Padahal proyek itu sudah peroperasi sejak 1984, bahkan sebelum puluhan PSN baru yang dicetus di era Presiden Joko Widodo. Kabadungan bertahan menjadi lumbung kemiskinan di Sukabumi hingga saat ini!
Sehingga, kasus meninggalnya Raya akibat penyakit cacingan akut, menjadi bak tikus yang mati di lumbung padi. Bagaimana tidak, potret kemiskinan di Kabandungan begitu nyata.
Setiap hari, mayoritas penduduk yang bekerja sebagai buruh tani, harus berjibaku dengan jalanan butut, kelangkaan pupuk, hingga fasilitas kesehatan yang jauh dari kata memadai. Terlebih, Raya tinggal di Cianaga, desa paling ujung dari Kecamatan Kabandungan.
“Ini sangat mengkhawatirkan, mengingat Kabandungan merupakan lumbung kemiskinan. Sebagian besar mereka memang tinggal di dalam area perkebunan,” jelas Kepala Bappelitbangda Kabupaten Sukabumi, Aep Majmudin pada Rabu (11/10/2023) lalu. Baca selengkapnya: Berharap panas geothermal Gunung Salak di lumbung kemiskinan Sukabumi
Padahal, keberadaan PLTP Salak yang berdiri megah di atas gunung yang terkenal paling angker di Indonesia itu, telah menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit, ribuan miliar Rupiah, terhitung sejak beroperasi pada 1994 silam.
Alhasil, setiap tahun tidak kurang dari Rp60 miliar hingga Rp80 miliar mengalir ke kas Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi melalui Dana Bagi Hasil (DBH) dan Bonus Produksi (BP) Migas. Baca selengkapnya: Sejarah PLTP Gunung Salak, Setor Puluhan Miliar Rupiah per Tahun ke Kas Pemkab Sukabumi
Ironisnya, potret kemiskinan di kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, itu bisa dilihat dari banyaknya infrastruktur jalan dan jembatan yang rusak hingga rumah tidak layak huni.

Berita Terkait:
- Nostalgia Baenuri, Pemburu Kumbang di Sukabumi Kehilangan Penghasilan Sebab PLTP Salak
- Kisah Jembatan Lapuk Tetangga Star Energy Geotermal Salak Sukabumi Telan Korban Jiwa
PLTP terbesar di dunia
Perlu diketahui, sebagai salah satu PLTP terbesar di dunia, PLTP Gunung Salak yang saat ini dioperasikan bersama oleh Star Energy Geothermal Salak (SEGS) Ltd, berdasarkan Kontrak Operasi Bersama (KOB) dengan PT Indonesia Power (PT IP), memasok uap panas bumi untuk PLTP pada unit 1, 2, dan 3 yang dioperasikan PT IP, serta mengoperasikan sendiri PLTP unit 4, 5, dan 6.
Berita Terkait: 30 tahun “dicengkram” PLTP, Kabandungan dan Kalapanunggal Sukabumi jadi lumbung kemiskinan
Untuk informasi, sejak April 2017, Konsorsium Panas Bumi Star Energy menyelesaikan Perjanjian Jual Beli Saham untuk lapangan geothermal Salak dan Darajat, yang bersama-sama menghasilkan listrik 413 MW dan memasok 235 MW uap, dengan nilai transaksi sekira US$ 1,98 miliar.
SEGS saat ini mengoperasikan fasilitas panas bumi dengan kapasitas pembangkitan terpasang kotor sebesar 227 MW. SEGS juga mengelola salah satu lapangan geothermal terbesar di dunia, dengan kapasitas pembangkitan terpasang bruto 197 MW dan kapasitas penjualan uap 180 MW.
SEGS memiliki hak eksklusif untuk mengembangkan area panas bumi berdasarkan KOB dengan PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) hingga 2040 dan menyediakan listrik hingga 495 MW berdasarkan Kontrak Penjualan Energi dengan PGE & PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
PLTP Salak menyuplai uap panas bumi untuk menghasilkan listrik melalui pembangkit listrik sebesar 180 MW yang dioperasikan oleh PLN. SEGS juga menyediakan uap panas bumi dan mengoperasikan pembangkit listrik sebesar 201 MW untuk Jaringan Listrik Interkoneksi Jawa-Madura-Bali (JAMALI).
Milik orang terkaya di dunia
SEGS merupakan salah satu bisnis milik konglomerat Prajogo Pangestu. Kepemilikan salah satu orang terkaya di dunia itu di SEGS, adalah melalui PT Barito Pacifik Tbk (BRPT) yang merupakan anak usaha PT Barito Renewable Energy (BREN). Baca lengkap: Miliki Aset di Kabandungan Sukabumi, Prajogo Pangestu Jadi Orang Terkaya ke-24 di Dunia
Secara keseluruhan menurut data dalam Sustainability Report SEGS tahun 2022, itu memasok energi sebesar 381 MW yang dihasilkan dari 51 sumur produksi, dan saat ini tengah melakukan pengeboran sumur-sumur baru untuk menggenjot kapasitas produksi.
Dari operasi PLTP Gunung Salak, setiap tahun Pemkab Sukabumi mendapatkan dua penerimaan dana, yaitu melalui DBH dan BP Migas sebesar puluhan miliar setiap tahunnya. Baca selengkapnya: Mengintip Dana Bagi Hasil dan Bonus Produksi PLTP Salak untuk Kabupaten Sukabumi
Mengutip catatan sukabumiheadline.com, berdasarkan data Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Tahun Anggaran (TA) 2021, 2022 dan 2023 yang diterbitkan Kementerian Keuangan RI, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi sebagai salah satu daerah penghasil panas bumi dan salah satu kabupaten yang ada dalam provinsi penghasil dan pengolah panas bumi, menerima DBH Migas, sebagai berikut:
- TA 2021 (APBD murni) sebesar Rp82.169.303.000,00;
- TA 2022 (APBD murni) mengalami penurunan menjadi
Rp64.291.415.000,00; dan - TA 2023 (APBD murni) menerima
Rp60.277.112.000,00.
Di sisi lain, tuntutan 70 persen DBH dan BP Migas dikembalikan ke kecamatan penghasil, sudah lama disuarakan warga Kalapanunggal dan Kabandungan.
Kepada sukabumiheadline.com, Didin Saadilah dari CSO CIKAL merinci tiga tuntutan utama yang selalu disuarakannya kepada Pemkab Sukabumi. Pertama, selain dari sumber pendapatan APBD Kabupaten Sukabumi lainnya, CIKAL meminta agar Alokasi DBH Panas Bumi dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan layanan sosial dasar di Kalapanunggal dan Kabandungan.
“Kami meminta penambahan sekurang-kuranganya 70 persen dari nilai DBH Panas Bumi dari WKP PT Star Energy Geothermal Salak, Ltd. (SEGS) yang diterima Pemkab Sukabumi,” kata Didin.
Tuntutan kedua, kata Didin, CIKAL menuntut adanya penambahan dana BP Panas Bumi untuk Pemerintah Desa dari pembagian sekarang dengan mengurangi bagian dari Pemkab Sukabumi, agar pemanfaatannya terasa langsung oleh warga masyarakat Kalapanunggal dan Kabandungan.
Untuk informasi, pembagian saat ini adalah 50 persen Pemkab Sukabumi dan 50 persen dua kecamatan penghasil (Kalapanunggal dan Kabandungan) yang dibagi merata ke 13 desa yang ada di dua kecamatan tersebut. Untuk perbandingan, sebagai sesama kecamatan penghasil, Pamijahan mendapatkan 70 persen dan Pemkab Bogor 30 persen.
Pembagian tersebut diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) masing-masing kabupaten.
Selain itu, warga juga menuntut transparansi penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) SEGS. Sebagai informasi, menurut UU Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT), Pasal 74, meskipun SEGS telah mentransfer DBH dan BP Panas Bumi ke Pemkab Sukabumi, namun hal itu tidak menghilangkan kewajiban mereka dalam melaksanakan program CSR, demikian berlaku sebaliknya.
Fakta tentang Kabandungan

Kecamatan Kabandungan memiliki luas total 136,67 kilometer persegi (km2) yang terbagi menjadi 6 desa, yakni Mekarjaya dengan luas 12,90 km2 atau 9,44 persen dari total luas wilayah Kabandungan.
Kemudian, Desa Tugubandung seluas 9,03 km2 (6,61 persen), Desa Kabandungan 9,13 km2 (6,68 persen), Desa Cipeuteuy 30,15 km2 (22,06 persen), Dea Cihamerang 59,94 km2 (43,86 persen), dan Desa Cianaga seluas 15,51 km2 atau 11,35 persen dari total luas Kabandungan.
Kecamatan Kabandungan terbagi menjadi 33 Rukun Warga (RW) dan 207 Rukun Tetangga (RT), yang tersebar di 6 desa. Baca selengkapnya: 5 fakta Kecamatan Kabandungan, daerah kaya yang jadi lumbung kemiskinan di Sukabumi