sukabumiheadline.com – Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) Agus Andrianto menyatakan hukuman pidana kerja sosial akan mulai diterapkan setelah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) resmi berlaku Januari 2026.
“Tahun depan (berlaku pidana kerja sosial). Nanti kita tunggu berlakunya KUHP baru, 2 Januari,” ujarnya kepada wartawan, Senin (29/12/2025).
Agus menyebut seluruh Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) dan Kepala Rumah Tahanan (Karutan) telah meneken sejumlah kerja sama dengan Pemerintah Daerah terkait penerapan sanksi kerja sosial itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menjelaskan nantinya lokasi dan kerja sosial yang akan diberikan ditentukan oleh masing-masing Pemerintah Daerah terkait.
“Hasil koordinasi para Kalapas, Karutan dengan pemerintah daerah ini sudah membuat beberapa alternatif tempat dan jenis pekerjaan yang dikerjakan,” tuturnya.
Hukuman pidana kerja sosial ini tertuang dalam Pasal 65 huruf e KUHP yang disahkan pada 2 Januari 2023 dan akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
Sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) juga sudah bekerja sama dengan Pemprov Jawa Barat untuk menyiapkan penerapan hukuman pidana kerja sosial untuk ancaman pidana yang kurang dari lima tahun penjara.
Sementara itu, praktisi hukum asal Sukabumi, Jawa Barat, Efri Darlin M. Dachi membenarkan ada perubahan signifikan terkait konsep “hukum kerja sosial” di Indonesia yang akan berlaku penuh pada 2026.
“Perubahan ini terutama berasal dari pengesahan KUHP baru. Perubahan Utama Hukum Kerja Sosial di 2026, perubahan yang dimaksud adalah pengenalan pidana kerja sosial sebagai salah satu jenis sanksi pidana pokok alternatif selain penjara,” kata Dachi kepada sukabumiheadline.com, Senin (29/12/2025).
Dachi menambahkan, kerja sosial berbeda dengan hukum ketenagakerjaan biasa
“Perlu digarisbawahi bahwa hukum kerja sosial di sini merujuk pada hukuman bagi pelaku tindak pidana, bukan aturan yang mengatur hubungan antara pekerja dan pemberi kerja di perusahaan (hukum ketenagakerjaan),” kata priabyang juga berprofesi sebagai advokat tersebut.
Hukuman kerja sosial, kata dia, merupakan alternatif hukuman penjara, berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2023 (KUHP Nasional), pidana kerja sosial dimaksudkan sebagai alternatif hukuman penjara jangka pendek (biasanya di bawah enam bulan) untuk tindak pidana ringan.
“Penerapan ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan di lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang seringkali melebihi kapasitas. Sehingga, terpidana dapat ditempatkan untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi masyarakat, seperti menjadi petugas kebersihan, membantu di panti asuhan, atau pekerjaan administrasi di kantor kelurahan,” katanya.
“Saat ini, pemerintah daerah dan instansi penegak hukum sedang melakukan sosialisasi dan menyiapkan sarana serta prasarana untuk pelaksanaannya,” jelas Dachi.
Singkatnya, tambah dia, mulai 2026, seseorang yang melakukan tindak pidana ringan tidak selalu harus dipenjara, melainkan dapat menjalani hukuman berupa kerja sosial.
Terkait apakah hukuman kerja sosial efektif menekan tindak pidana, menurut Dachi, tergantung pada konsep penerapan hukuman tersebut.
“Jika ini diberlakukan tentu pemerintah pusat sudah mendesain sedemikian rupa, hingga aturan itu diberlakukan. Namun, kembali pada konsep penerapan hukum tersebut,” pungkasnya.
Pengertian hukuman kerja sosial

Hukuman kerja sosial adalah alternatif pidana penjara jangka pendek dalam KUHP baru Indonesia, di mana terpidana menjalankan tugas di lembaga sosial (panti asuhan, panti lansia, sekolah, kantor kelurahan) sebagai bentuk rehabilitasi dan kontribusi ke masyarakat.
Dengan demikian, hukuman untuk suatu tindak pidana bukan hanya mengurung, untuk mengurangi kepadatan lapas dan memperbaiki perilaku pelaku.
Pidana ini berlaku untuk tindak pidana ringan (ancaman penjara < 5 tahun atau denda Kategori I), durasi minimal 8 jam/hari hingga maksimal 240 jam (di bawah 18 tahun maksimal 180 jam), dan wajib dijalani dengan beban moral yang tinggi (seringkali memakai seragam khusus), menggantikan kurungan singkat.
Penjelasan mengenai hukuman kerja sosial
Dilansir laman resmi Mahkamah Agung (MA) RI, dengan terbitnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional), merupakan suatu gebrakan perubahan dalam paradigma pemidanaan di Indonesia, berorientasi pada paradigma hukum pidana modern, yakni keadilan korektif yang ditujukan kepada pelaku, keadilan restoratif yang ditujukan kepada korban, dan keadilan rehabilitatif baik yang ditujukan kepada pelaku maupun korban.
“Hal tersebut sangat berbeda dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang sekarang berlaku,” tulisnya dikutip sukabumiheadline.com, Senin (29/12/2025).
Ditambahkannya, KUHP lama merupakan warisan kolonial yang berasal dari Wetboek van Straftrecht voor Nederlandsch-Indie yang masih berorientasi pada keadilan retributif, yang berfokus pada pemberian hukuman yang setimpal kepada pelaku kejahatan sebagai pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukannya.
Perbedaan tersebut terlihat jelas dalam pengaturan pidana pokok dalam KUHP Nasional dengan KUHP, dalam KUHP mengatur pidana pokok terdiri dari pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan.
“Sedangkan dalam KUHP Nasional mengatur pidana pokok terdiri dari pidana penjara, pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial,” jelasnya.
Dengan adanya pergeseran paradigma yang ada, maka muncullah jenis pidana baru, yaitu pidana pengawasan dan pidana kerja sosial sebagai alternatif dari pidana penjara yang selama ini menjadi tujuan pemidanaan di Indonesia.
Pasal 85 KUHP Nasional menjelaskan bahwa pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim dapat menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
“Kemudian dalam pelaksanaan pengawasan terhadap pidana kerja sosial dilakukan oleh Jaksa dan pembimbingan dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan,” pungkasnya.
Bentuk dan pelaksanaan hukuman kerja sosial

- Kegiatan: Menjadi petugas kebersihan, membantu administrasi, membantu lansia/penyandang disabilitas di panti, atau pekerjaan sosial lain yang bermanfaat di lembaga sosial, rumah sakit, sekolah, dll.
- Durasi: Minimal 8 jam/hari, paling lama 240 jam (dewasa) atau 180 jam (anak), dapat diangsur maksimal 6 bulan.
- Penentuan: Hakim wajib mempertimbangkan pengakuan bersalah, profesi terpidana, dan dapat disesuaikan dengan keahlian mereka.
- Tanggung Jawab: Terpidana wajib memakai seragam khusus, menjadi bentuk tanggung jawab publik dan pemulihan karakter.
Tujuan dan manfaat
- Mengurangi kepadatan penjara (over capacity).
- Memberikan ruang rehabilitasi dan pembinaan perilaku terpidana.
- Menciptakan kontribusi nyata bagi lingkungan dan mengakomodasi hak korban.
- Menggantikan pidana kurungan yang dianggap tidak efektif untuk kejahatan ringan.
Dasar hukum
Diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru sebagai alternatif hukuman pokok.
Diperlukan revisi undang-undang dan koordinasi pemerintah pusat-daerah untuk implementasi yang efektif.









