SUKABUMIHEADLINE.com l Senator atau anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi Tengah Abdul Rachman Thaha mengingatkan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dapat terancam pidana pasal penyesatan informasi atau penyebaran hoaks. Hal itu menyusul klaim big data yang mengatakan 60 persen dari 110 juta pengguna media sosial di Indonesia setuju penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024.
Thaha mengingatkan ancaman pidana itu, karena Luhut tidak membeberkan bukti atau menanggapi klaim sebaliknya yang disampaikan banyak pihak. Termasuk pegiat media sosial di tanah air.
“Itu kan Pak LBP terus diam dan menghilang, tidak lagi bicara soal big data itu. Padahal banyak pihak menyatakan klaim itu tidak benar atau bohong, kalau bohong terus disebarkan namanya penyebar hoaks kan ada ancaman hukuman bagi penyebar hoaks,” ujar Abdul, Rabu (16/3).
Thaha juga mengingatkan, sudah banyak aktivis yang masuk penjara dengan jeratan pasal penyebaran hoaks. Baik melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Ini seperti rilis hasil survey-lah, yang salah satu tujuannya untuk membentuk opini di publik. Atau untuk agenda setting publik supaya masyarakat terpersepsi bahwa si A atau si B calon potensial. Tetapi rupanya pola ini gagal memprovokasi masyarakat untuk percaya dan gagal memprovokasi tokoh-tokoh untuk mendukung. Yang terjadi malah sebaliknya, LBP malah dikeroyok oleh data yang menyatakan sebaliknya,” kata Thaha.
Diberitakan sebelumnya, LBP akhirnya blak-blakan mengenai wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden. Menurut Luhut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah menyatakan kalau taat konstitusi. Hanya saja, ia mengingatkan, konstitusi itu dibuat oleh anggota DPR/MPR.
Luhut malah balik menyindir ada pihak yang tidak siap jika Pemilu 2024 ditunda, lantaran agenda untuk meraih kekuasaan menjadi gagal.