sukabumiheadline.com – Kecantikan wanita Sukabumi, Jawa Barat, ternyata berhasil memikat pria Eropa sejak dulu. Selain kecantikannya, lenggak gemulai mojang Sunda pun berhasil membuat lelaki bule terpesona.
Mengutip dari artikel yang tayang di media jejaring sukabumiheadline.com, diketahui para pemain penari asal Sukabumi yang bergabung dalam gamelan Sari Oneng yang juga bekerja sebagai buruh perkebunan teh Parakansalak, ternyata tampil di Perancis saat peresmian Menara Eiffel pada 1889 silam.
Untuk informasi, menara Eiffel dibangun sebagai gerbang l’Exposition Universelle 1889, sebuah World’s Fair atau pameran dunia bertepatan dengan 100 tahun Revolusi Perancis, sekaligus digunakan sebagai peresmian awal menara tersebut sebagai kebanggaan warga Perancis. Exposition Universelle berlangsung cukup lama, yaitu enam bulan, antara 6 Mei dan 6 November 1889 di kaki menara Eiffel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam pameran tersebut, Hindia Belanda turut membangun faviliun Le Village Javanais. Dalam buku pengantar tertera pada tulisan Le Kampong Javanais. Di situlah para pemain gamelan Sari Oneng Parakansalak, Kabupaten Sukabumi, menunjukan kemampuan seni berikut hal lain yang turut dipamerkan.
Frantz Jourdain seorang jurnalis yang menulis di beberapa koran Eropa menyebut bahwa Belanda seolah membawa langsung sebongkah Jawa ke Paris.
Dibiayai pemilik perkebunan teh di Sukabumi
Sebelum peresmian Menara Eiffel dilangsungkan bersamaan dengan peringatan 100 tahun Revolusi Perancis pada 31 maret 1889, pihak Belanda berniat memperlihatkan kedigdayaannya di tanah koloninya.
Maka direncanakan membuat stand pameran di di lokasi Wrold Fair tersebut. Namun, persoalan pemerintah Belanda saat itu adalah kekurangan dana dan dukungan swasta.
Pihak Javasche Bank yang diketuai Van den Berg kemudian bekerja sama dengan keluarga Kerkhoven dan Mundt dari Perkebunan Sinagar dan Parakansalak, Sukabumi.
Dia ditemani filantrofis serta sekretaris Englisch Indische Company (semacam VOC-nya inggris) HP Cowan berkunjung ke Sukabumi untuk melakukan survey dan pendekatan. Di perkebunan tersebut mereka begitu terpesona akan seni budayanya. Karenanya, mereka melihat kemungkinan untuk memboyong seni dan budaya asli Hindia Belanda itu ke Paris.
Tak heran jika kemudian mereka berencana membawa wayang golek dan Gamelan Sari Oneng yang sebelumnya pernah tampil di Kota Amsterdam dan berhasil memukau penduduk Belanda.
Selain itu, di Parakansalak dan Sinagar (Kecamatan Nagrak) juga terdapat kedai teh yang bagus dan layak untuk diduplikasi di Paris.
Namun, kendala utama saat itu adalah sulitnya meyakinkan para pemain gamelan Sari Oneng agar mau berangkat ke Paris. Setelah ada jaminan, barulah para pemain bersedia berangkat.
Mundt dan Kerkhoven menyiapkan 40 orang terdiri dari laki-laki dan perempuan untuk diberangkatkan, baik sebagai pemain maupun lainnya. Dari delegasi Kampung Jawa dan Sari Oneng yang dikirim ke Paris, terdiri dari 22 laki-laki asal Parakansalak dan Sinagar asli yang menjadi tim gamelan dan angklung serta lima penari wanita Parakansalak yang dikirim ke sana.
Penyandang dana untuk kampung Jawa dan Sari Oneng termasuk Wayang Golek bukanlah pemerintah Hindia Belanda, tetapi Kerkhoven dari Sinagar dan Mundt dari Parakansalak.
Mundt menyiapkan gamelan, wayang golek dan para musisinya. Sedangkan Kerkhoven selain penyandang dana, dia juga mengirimkan sebagian orang dan juga menyiapkan minuman teh terbaik yang diberikan secara cuma-cuma di Paris.
Akhirnya berangkatlah rombongan dari Sukabumi bersamaan dengan rombongan lainnya dari Keraton Surakarta.
Baca Juga:
- Upaya mengembalikan kemasyhuran Sari Oneng Parakansalak ke Sukabumi
- Personel Sari Oneng Parakansalak, pionir mogok tenaga kerja Sukabumi di pentas internasioal
- Kolaborasi gen XYZ Sukabumi memuliakan pelaku, dan seni budaya leluhur
Sesampainya di Paris, baik laki-laki maupun perempuan kemudian membangun rumah, stand dan tempat lain yang diperlukan, termasuk beragam aksesoris seperti leuit dan hasil produksi dari Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda seolah membangun kampung mini, rumah-rumah yang mirip aslinya dilengkapi restoran serta kedai kopi dan teh gratis, ditempatkan di Esplanade des Invalides (lapangan depan gedung Invalid Paris).
Masing-masing orang berbagi tugas, ada yang jadi pemain musik, penari, ada juga penyambut tamu. Mereka juga dilatih menyebutkan nama dan menjelaskan kepada pengunjung. Selain itu ada koki yang menyediakan makanan setiap hari untuk mereka.
Dalam Le Guide Musical (1889), ditulis berita pertunjukan menampilkan Gamelan Sari Oneng Parakansalak. Selain itu, sebagai hiburan, dipentaskan juga wayang golek dan angklung oleh pemain dari nuruh kebun teh Parakansalak dan Sinagar.
Kegiatan pameran serta penampilan gamelan dan penari tersebut berjalan sukses dengan pengunjung yang membludak. Tercatat sebanyak 875.000 orang mengunjungi anjungan ini, dan para pemain gamelan Sari Oneng dipaksa bermain setiap hari untuk memuaskan keingintahuan para pengunjung.
Pada Exposition Universelle ini juga dibawa serta dua gamelan Sunda, satu perangkat diberikan sebagai hadiah dari pemerintah Belanda kepada Conservartorie Muse de I’Home-Paris, sedangkan seperangkat lagi berasal dari Parakansalak yang dikirim Gustaf Mundt untuk promosi teh dan produk lainnya.
Keberhasilan personil pameran dari Sukabumi sebenarnya tidak lepas dari lobi Belanda, karena negara kecil itu pada saat itu kurang diperhitungkan negara-negara Eropa lainnya. Karenanya Belanda merasa perlu memperlihatkan keunikan koloninya bantuan kedua pemilik perkebunan di Sukabumi.
Berkat dukungan kedua pengusaha tersebut, kemudian Le Village Javanais berhasil dibangun dengan indah. Keindahan rumah tradisional dengan bahan bambu dan daun kelapa, atraksi gamelan Sari Oneng yang juga khas dan indah dipandang setiap mata pengunjung. Belum lagi penari-penari yang lincah dan ramah, menjadi daya tarik tersediri dan berhasil menyedot ratusan ribu orang untuk menyaksikan.
De Meester, seorang wartawan Belanda, yang mengunjungi pameran tersebut, menuliskan laporannya di majalah Eigen Haard tahun 1889. Ia antara lain mengatakan bahwa Kampung Jawa mendapat sambutan paling meriah di antara anjungan yang lain.
Baca Juga:
- Coix lacryma jobi Pajampangan Sukabumi, air mata yang menginspirasi nama pulau dan lagu
- Wilayah Jampang Sukabumi, dasar lautan yang terangkat dan kisah hukuman bagi si kikir
- Pernah dipersekusi di Sukabumi, HOS Tjokroaminoto fasih berbahasa Sunda

Pemain Sari Oneng yang meninggal di Paris
Selain kemeriahannya, pentas Sari Oneng di luar negeri juga menampilkan keunikan tersendiri. Saking lamanya berada di negeri orang, para pemain sempat berkeliling Eropa, dan konon sempat ada yang hamil dan melahirkan.
Bahkan, ada juga yang meninggal dan dimakamkan di Paris pada 1889, namanya Aneh, lahir di Parakansalak pada 1854. Aneh berangkat bersama rombongan, namun ditengarai terkena penyakit ruptured aneurism, sejenis penyakit yang merobek pembuluh darah. Penyakit tersebut memang tidak bisa terdeteksi sejak awal mengingat saat diberangkatkan belum ada metode medical check up.
Selama dua bulan pertama, Aneh bermain seperti biasa namun tiba-tiba dia terjatuh dan pecah pembuluh darahnya. Ia sempat dilarikan ke rumah sakit di Paris, namun kemudian meninggal pada 4 Juli 1889.
Kisah kematian Aneh menunjukkan betapa padatnya aktivitas pameran tersebut. Mereka bekerja di luar negeri dan pentas di beberapa negara Eropa selama berbulan-bulan. Hal ini kontradiktif dengan kondisi ekonomi mereka yang sangat memprihatinkan.
Namun, kematian dan pemakaman Aneh sempat menjadi perbincangan masyarakat dan diberitakan media-media Perancis seperti Le Figaro dalam artikel Courrier de’l Exposition, pada 5 Juli 1889. Laporan kematian Aneh juga muncul di harian Le Rappel secara eksklusif dalam kolom L’exposition, 8 Juli 1889.
Misteri para penari yang membuat lelaki Eropa jatuh cinta
Dalam pameran World Fair tersebut, yang menjadi perhatian para lelaki Eropa adalah pentas Tari Tandak diiringi musik gamelan Sari Oneng. Konon pria-pria Eropa jatuh cinta dengan dengan penari berusia 12-16 tahun yaitu Damina/Taminah (16 tahun), Wakiem (12), Sariem (15), dan Soekia (13).
Tarian mereka sangat memukau dan membangunan imajinasi para lelaki Eropa tentang eksotisme wanita Asia. Pers perancis membahas kehidupan pribadi mereka dan menjadi perhatian para pengunjung.
Baudelaire, seorang penyair Perancis, mencurahkan kekagumannya dengan menulis sajak La Belle Wakiem (Wakiem yang Cantik), terinspirasi dari Wakiem sang penari.
Yang lebih membanggakan lagi, grup kabaret Moulin Rouge yang didirikan pada 1889 oleh Joseph Oller, ternyata terinspirasi pentas penari Sari Oneng sehingga menciptakan lakon Les Pirates yang terilhami oleh sosok Wakiem.
Hal ini cukup menarik mengingat para pemain Sari Oneng sebenarnya adalah pekerja perkebunan teh Parakansalak. Tim penari lainnya bernama Elles (Elis) yang berusia 15 tahun adalah penari ronggeng Parakansalak.
Pentas penari tersebut juga dilakukan satu set di mana Tandak dimainkan pada awal tarian kemudian disusul ronggeng yang agak “nakal”.
Sesudah paket kedua tarian tersebut maka pentas ditutup dengan angklung Parakansalak mengitari meja-meja tamu yang sedang menikmati teh dan kopi.
Hal ini juga diperkuat oleh tulisan George Boyer dalam Le Figarro, 2 October 1889 dalam artikel Courrier des Theatres mengenai para penari dan pemain gamelan Sunda.
Untuk informasi, perangkat Gamelan Sari Oneng Parakansalak saat ini tersimpan di Museum Geusan Ulun Kabupaten Sumedang.
Dilarang republikasi artikel di atas tanpa seizin Redaksi sukabumiheadline.com
Disarikan sukabumihadline.com dari artikel di media jaringan, sukabumixyz.com yang berjudul: Catatan dari Paris: Menyingkap alasan pria Eropa jatuh cinta kepada penari Sari Oneng Sukabumi