sukabumiheadline.com – Siapa yang tak mengenal Pondok Modern Assalam? Tentunya sudah banyak warga Sukabumi, yang tahu keberadaan dan prestasi pondok pesantren yang berlokasi di Desa Cibodas, Kecamatan Bojonggenteng, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, tersebut.
Namun, mungkin tidak banyak warga Sukabumi yang mengenal sosok ulama pendiri ponpes yang kini sudah memiliki ponpes khusus putri itu. Ia adalah ulama yang dikenal lembut namun juga kharismatik, KH Abdurrahman.
Rekomendasi Redaksi: Mengenal Ponpes Assalam Sukabumi, Keunggulan, Fasilitas dan Biaya
Profil, kisah hidup dan pendidikan KH AbdurrahmanÂ
KH Abdurrahman lahir di sebuah Kampung Kalapa Carang, Desa Cibodas, Kecamatan Bojonggenteng (dulu masih bagian dari Kecamatan Parungkuda-red), Kabupaten Sukabumi, pada 1904, dari pasangan Sulhi dan Sutijah.
Abdurrahman kecil menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) atau setingkat sekolah dasar, selama tiga tahun. Lulus dari SR, ia melanjutkan pendidikan di pondok pesantren (ponpes) yang menerapkan sistem 1 bulan belajar, 1 bulan bekerja (untuk bekal 1 bulan di pesantren). Namun demikian tidak ada keterangan di ponpes mana ia menimba ilmu.
Ketika remaja, sosok Abdurrahman yang kala itu berusia 16 tahun, dikenal rajin dan mandiri. Ketika tahun 1919, setiap selepas pulang sekolah, ia mulai bekerja.
Berbagai pekerjaan dia lakoni, dari mulai kuli menyambit rumput di PPN (Perusahaan Perkebunan Negara) atau sekarang dikenal sebagai PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di Kampung Pakuwon, Desa Cibodas.
Di perusahaan yang sama, ia juga menjadi kuli menjemur daun teh dengan upah 25 sen. Kemudian menjelang sore hari, ia kembali memanfaatkan waktunya menjadi kuli dengan upah 3 Benggol atau setara Rp7 sen.
Selain itu, Abdurrahman muda juga pernah menjadi tukang pangkas rambut hingga penjahit pakaian. Peralatan mencukur ia beli dengan uang tabungan miliknya, sebesar Rp7. Hal itu dilakukan agar ia bisa memiliki penghasilan tambahan di luar sebagai buruh perkebunan.
Sambil menjadi tukang pangkas rambut keliling, Abdurahman yang ketika berusia 18, rajin mengitari kampung mencari pelanggan pangkas rambut sambil berjualan tembakau, gula aren dan gambir.
Pada 1934, Abdurrahman menikah dengan Siti Mubarokah dan dikarunia seorang putra Lukman Herawan. Kemudian pada 1945, ia kembali menikah dengan Aminah, namun dari pernikahan ini tidak dikarunia anak. Selang 4 tahun, tepatnya 1949, Abdurrahman kembali menikah dengan Aisyah dan dikaruniai 7 orang putra putri.
Sumber lain menyebut, dari pernikahan dengan Siti Aminah, memiliki 4 orang anak, yakni Ian Hadiana, Cucup Setiabudi, H. Muslim (alm, wafat tahun 2002) dan Elin.
Mendirikan Pondok Modern AssalamÂ
Sebagai pria yang dikenal gigih dalam bekerja. Meskipun memiliki beberapa sumber penghasilan, alih-alih hidup mewah, ia malah memilih menabungkan uangnya. Tekadnya hanya satu, membeli tanah untuk mendirikan ponpes.
Keinginannya itu baru terwujud pada 1963, ketika ia membeli lahan seluas 11 hektare, terdiri dari 8 hektare sawah dan 3 hektare kebun. Tak cukup sampai di situ, ia juga mengorbankan harta lainnya demi mendirikan Pondok Modern Assalam.
Proses pembangunan ponpes tersebut dimulai sejak 1965, dimulai dengan membangun 6 lokal bangunan berukuran 36 meter x 7 meter.
Hingga tepat pada 9 Januari 1968 yang bertepatan dengan 10 Syawwal 1387, Pondok Modern Assalam resmi dibuka. Adapybangunan awal dibangun kemudian diberi nama Darullukman.
Pembukaan dilakukan setelah putra pertamanya, Lukman Herawan, kembali dari belajar dan pengabdian di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur.
Kisah tragis malam hari
Kisah perjalanan Pondok Modern Assalam tidak melulu indah. Diceritakan, Lukman Herawan pernah ditembak oleh perampok pada malam hari, usai merencanakan untuk mengadakan latihan kepramukaan.
Aksi keji perampok tersebut membuat Lukman meninggal dunia. Almarhum diketahui memiliki istri bernama Uwan Suwansah, asal Cigombong, Kabupaten Bogor.
Peristiwa tragis tersebut terjadi 15 hari setelah Pondok Modern Assalam diresmikan, atau pada 24 Januari 1968. Sejak itulah bangunan awal Pondok Modern Assalam dinisbatkan kepada namanya, yakni Darullukman.
Bangunan tersebut kemudian digunakan oleh santriat (santri putri). Diketahui, sebelum ada putri ataupun santriat, bangunan tersebut ditempati oleh santri putra, namun setelah ada santri putri bangunan tersebut ditepati oleh santriat hingga kemudian Assalam Putri resmi berdiri di Sukaharja, Kecamatan Warungkiara, Kabupaten Sukabumi.
Sepeninggal putranya, KH Abdurrahman tetap teguh dan sabar, meskipun aktivitas pondok sempat terganggu untuk beberapa tahun.
Pondok Modern Assalam kembali menggeliat setelah KH Abdurrahman mengirimkan kader-kader penerus pondok, salah satunya KH Badru Syamsi, untuk menimba ilmu di Pondok Modern Darussalam Gontor.
Kemudian, pada 1983, setelah para kader yang diutus menamatkan studinya, KH Abdurrahman memilih KH Badru Syamsi menjadi pimpinan pondok. Pada periode KH Badru Syamsi inilah Pondok Modern Assalam kembali bergeliat dan terus berkembang hingga saat ini.
KH Abdurrahman, sosok petani kaya yang dermawan dan bersahaja
Mengutip dari catatan salah seorang alumni Pondok Modern Assalam tahun 2008, Rizqi Fauzi Yasin, KH Abdurrahman merupakan sosok petani yang kaya raya, namun kehidupannya penuh dengan kesederhanaan.
Kesederhanaan kyai yang satu ini juga dapat dilihat dalam kehidupan sehari-harinya. Meskipun pendiri Pondok Modern Assalam, tapi dalam kesehariannya ia tidak terlihat sebagai seorang kyai pada umumnya.
Seperti dalam bertutur kata, ia hanya mengatakan apa yang ia perbuat saja. Namun demikian, KH Abdurrahman dikenal sebagai sosok dermawan. Hal itu membuat warga kagum terhadapnya.
Ulama cerdas dan tegas
Dalam berbagai kesempatan berceramah, KH Abdurrahman selalu menekankan bahwa Pondok Modern Assalam adalah milik umat. Bukan miliknya atau keluarganya.
Hal itulah yang membuat ulama yang dikenal cerdas, disiplin dan tegas itu selalu mengedepankan nilai kebersamaan dan prinsip gotong royong.
Dikisahkan, pada suatu ketika, ia sedang duduk di atas balai di depan rumahnya, pada Jumat pagi sekira pukul 07.00 WIB. Saat itu, ia melihat salah seorang karyawannya, tengah bekerja sambil merokok. Sambil tetap duduk di atas balai, ia menegur karyawan tersebut dalam Bahasa Sunda.
“Ulah gawe Sabari ngarokok. Keur waktunya gawe, fokus lakonan pagawean. Engke waktu istirahat, heug bae ngarokok (Jangan bekerja sambil merokok. Waktunya bekerja, maka lakukan pekerjaan dengan fokus. Nanti waktunya istirahat, boleh merokok),” katanya, mengingatkan karyawan tersebut.
Kisah lainnya, suatu hari warga tengah melakukan kerja bakti membuat lapangan sepak bola, namun waktu itu hari sudah sore. Salah seorang ustadz bertanya kepada KH Abdurrahman.
“Pak haji, apa pekerjaan ini sebaiknya diteruskan saja? Mengingat waktu masih senggang, dan waktu belum menunjukan jam 17.00 WIB,” tanya ustadz tersebut.
Setelah berjuang mendedikasikan hidupnya untuk kemajuan pesantren, pada 17 September 1994 genap di usia 90 tahun, KH Abdurrahman wafat.