sukabumiheadline.com l Keputusan bersejarah telah diambil Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)Â dengan memecat Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.
Seperti diketahui, putusan MKMK diambil setelah Anwar Usman terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim konstitusi terkait putusan mengenai syarat usia calon presiden.
Keputusan MKMK tersebut membawa implikasi besar terhadap dinamika politik di Indonesia dan menimbulkan pertanyaan mengenai nasib pen-cawapres-an Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan keponakan dari Anwar Usman, peta politik nasional.
Disampaikan Ketua MKMK, Jimly Asshiddiqie bahwa Putusan MKMK memberhentikan Anwar Usman terkait dengan dugaan pelanggaran etik yang dilaporkan oleh sejumlah pihak terkait dengan putusan MK mengenai syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
MKMK berpendapat bahwa Anwar Usman melanggar prinsip ketidakberpihakan, integritas, kecakapan dan kesetaraan, independensi, serta prinsip kepantasan dan kesopanan yang merupakan kode etik hakim konstitusi.
Dengan demikian, keputusan tersebut membuat Anwar Usman harus kehilangan jabatan Ketua MK, serta tidak berhak mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pimpinan Mahkamah Konstitusi selama masa jabatan hakim terlapor berlangsung.
Nasib Pencawapresan Gibran Rakabuming Raka
Lantas, bagaimana nasib pencawapresan Gibran Rakabuming Raka?
Putusan MK yang diubah oleh Anwar Usman yang sebelumnya memuluskan jalan bagi Gibran Rakabuming untuk mencalonkan diri sebagai cawapres pada Pemilu 2024 meskipun belum mencapai usia 40 tahun, kini tengah ditunggu publik terkait dinamika politik yang masih mungkin berubah.
Apakah Gibran Rakabuming akan tetap menjadi calon wakil presiden atau jika partai yang mengusungnya akan mencari alternatif lain? Layak dinantikan.
Keputusan pemberhentian Anwar Usman dari ketua MKMK akan mempengaruhi dinamika politik dan strategi partai politik menjelang Pemilu 2024.
Ini juga dapat memicu perubahan dalam praktik hukum dan etika di lembaga-lembaga hukum lainnya.
Semua ini membuat politik di Indonesia semakin menarik dan seru untuk diikuti.
Meskipun menimbulkan ketegangan dan ketidakpastian, hal ini juga menegaskan pentingnya lembaga-lembaga hukum dalam menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan.
Dinamika politik akan terus berkembang, dan rakyat Indonesia akan terus mengamati perkembangan selanjutnya menjelang Pemilu 2024.
Sidang Ulang Syarat Usia Capres dan Cawapres
Selanjutnya, MKMK melarang eks Ketua MK Anwar Usman ikut terlibat mengadili perkara nomor 141/PUU-XXI/2023 yang dilayangkan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), setelah ipar Presiden Joko Widodo itu terbukti melakukan pelanggaran etik berat terkait Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Materi gugatan adalah Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sebelumnya telah diubah secara kontroversial lewat Putusan MK 90/PUU-XXI /2023, menjadi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah.”.
Larangan dari MKMK agar Anwar tak mengadili uji materi itu terdapat dalam putusan yang dibacakan hari ini, Selasa (7/11/2023). Dengan demikian, MKMK mengabulkan permintaan BEM Unusia agar Anwar tak ikut mengadili perkara uji materi yang mereka ajukan.
“Permintaan pelapor BEM UNUSIA agar tidak mengikutsertakan Hakim Terlapor dalam pemeriksaan perkara Nomor 141PUU-XXX/2023 dapat dibenarkan,” kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie dalam kesimpulan putusannya.
Jimly pun menyatakan apresiasi terhadap inisiatif mahasiswa itu. “Dia menguji undang-undang yang sudah mengalami perubahan karena putusan MK. Dan itu boleh diuji,” kata Jimly.
Apalagi, MK telah meregistrasi perkara itu, sehingga MK harus menyidangkannya pula. MK juga sudah menjadwalkan sidang perkara tersebut besok.
“Pada saat disidang nanti, para pemohon boleh menggunakan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hak ingkar. Hak ingkar terkait putusan MKMK ini di mana hakim terlapor yang sudaj diberi sanksi tidak boleh mengikuti penanganan perkara itu,” jelas Jimly.
“Maka ada peluang terjadinya perubahan tapi bukan oleh MKMK, tapi oleh MK sendiri. Biarlah putusan MK diubah oleh MKMK sendiri melalui mekanisme yang tersedia,” kata dia.
Sebelumnya, MKMK menyimpulkan bahwa mereka tak bisa mengoreksi putusan kontroversial MK berkaitan dengan syarat usia minimum capres-cawapres.
Sebab, lembaga itu adalah lembaga penegak etik. Di samping itu, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan sebagaimana doktrin Mahkamah Konstitusi di seluruh dunia menyatakan bahwa putusan MK final dan mengikat di tingkat pertama.
Sebagai informasi, perkara nomor 141/PUU-XXI/2023 diajukan Mahasiswa Fakultas Hukum Unusia, Brahma Aryana (23).
Ia berharap, MK bisa memutus perkara itu dalam waktu cepat karena perkara itu dianggap sudah sangat jelas lantaran sudah diperiksa MK melalui gugatan-gugatan sebelumnya.