sukabumiheadline.com – Perempuan selalu menjadi isu yang menarik untuk diperbincangkan. Bagaimana tidak, selama kehidupan di dunia ini berlangsung, perempuan seakan tidak pernah merdeka. Ia selalu berjuang dan berjuang untuk membebaskan diri dari jajahan kemaskulinan kaum laki-laki.
Dalam perjalanan perjuangannya, berbagai hal partikular pun yang menyudutkan perempuan akan dikritisi, demi tercapainya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Atau yang populer kita dengar dengan istilah kesetaraan gender.
Mengutip dari jurnal karya Muhimmatus Sa’adah, bahwa terjemahan AlQuran Kementerian Agama adalah salah satu yang tidak luput dari kritikan dalam upaya pengarusutamaan gender.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Ditilik dari dinamikanya, terjemahan AlQuran Kementerian Agama RI telah melakukan perbaikan sebanyak lima kali setelah diterbitkan pertama kali pada tahun 1965,” kata Sa’adah, dikutip sukabumiheadline.com, Jumat (28/11/225).
“Adanya edisi revisi tersebut tentu tidak lepas dari penyesuaian dengan perkembangan bahasa ataupun isu-isu yang dipandang mendiskriminasi satu kelompok tertentu dan hal-hal lain yang memang dibutuhkan revisi,” jelas dia.
Revisi empat kali terjemahan AlQuran
Selama kurang lebih enam dasawarsa ini, Kementerian Agama telah berhasil melakukan revisi terjemahan di tahun 1971, 1990, 2002, dan 2019. Dalam AlQuran, kata perempuan tersebar di berbagai surah menggunakan term imra’ah, mar’ah, an–nis, dan uná.
“Jika kita lihat, terjemahan AlQuran Kementerian Agama terbitan tahun 1989 akan banyak ditemukan terjemahan yang mengarah pada perempuan menggunakan kata “wanita”,” papar Sa’adah.
Berbanding terbalik dengan terjemahan AlQuran Kementerian Agama yang terbit tahun 2002. Pada edisi ini, terjemahan menggunakan kata “wanita” di term yang mengarah pada perempuan nyaris tidak kita temukan. Yang ada hanyalah terjemahan menggunakan kata “perempuan”.
“Sedangkan terjemahan termuda yang terbit tahun 2019, terjemahan kata “wanita” dan “perempuan” sama-sama kita temukan. Perempuan dan wanita memang dua kata yang memiliki sinoni. Meski demikian, ternyata keduanya berbeda dari segi makna. Kata wanita pertama kali muncul pada masa orde baru, dan lumrah digunakan di berbagai komunitas,” jelas Sa’adah.
Banyak kita temukan di berbagai komunitas yang menggunakan diksi perempuan, tidak menggunakan kata wanita. Seperti Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, Yayasan Perempuan Merdeka, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia, dan lain sebagainya.
“Perubahan diksi pada terjemahan AlQuran Kementerian Agama tersebut tentu bukan tanpa alasan. Penentuan dan penetapan terjemahan kata dari diksi “wanita” ke “perempuan” hingga ke sama-sama ada antara “wanita” dan “perempuan” melalui proses diskusi panjang tim penerjemah,” beber Sa’adah.
Makna kata wanita

Alasan perubahan diksi tersebut adalah karena ditinjau dari asal katanya, kata “wanita” berasal dari bahasa Jawa yaitu wani ditata.
“Dengan demikian, wanita berarti orang yang berani ditata atau diatur. Ada juga yang menyatakan bahwa asal kata wanita adalah vanita dari bahasa sanskerta,” Sa’adah menjelaskan.
Makna vanita, menurut dia, pun tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan kata wani ditata. Jika wani ditata artinya berani dan mau ditata dan diatur, maka vanita memiliki arti “yang diinginkan”.
“Penggunaan kata wanita seolah ia menjadi objek dan tak dapat berkutik menjadi subjek. Jika dimaknai seperti itu, maka wanita akan menjadi manusia yang tidak memiliki kendali apa pun karena ia yang akan ditata dan diatur,” ungkapnya.
Asal kata “wanita” yang mengakibatkan pengertian pendiskriminasian tersebut kemudian mengundang gejolak dari pihak wanita dan yang mendukungnya.
“Oleh karena itu, mereka menuntut agar terjemahan term yang mengarah pada perempuan tidak diterjemahkan dengan kata “wanita”,” jelas dia.
Makna kata perempuan
Sementara itu, diksi “perempuan” akhirnya dinilai lebih cocok digunakan, karena jika melihat pada asal katanya, kata perempuan berasal dari kata “empu” yang mendapat imbuhan “per” di depan dan “an” di belakang.
“Kata “empu” yang juga berasal dari bahasa Jawa memiliki arti orang yang mulia dan terhormat. Sehingga, jika terjemahan AlQuran Kementerian Agama menggunakan kata “perempuan”, maka terjemahan AlQuran tersebut menunjukkan penghormatan dan pemuliaan pada makhluk lawan jenis dari laki-laki tersebut,” paparnya.
Makna kata yang kontradiktif antara kata “wanita” dan “perempuan” pada akhirnya menjadi polemik. Jika menggunakan kata “wanita”, maka secara tidak langsung terjemahan AlQuran Kementerian Agama tidak menjadi wadah ataupun busur panah dalam pengarusutamaan kesetaraan gender.
“Padahal, terjemahan AlQuran Kementerian Agama posisinya sebagai terjemahan yang terafiliasi dengan pemerintah, sehingga ia harus mendukung keadilan dengan tidak menyudutkan pihak tertentu,” tegas Sa’adah.
Teks AlQuran yang telah final menjadikannya sebagai teks statis sakral yang tak dapat diubah oleh siapa pun. Namun tidak dengan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya.
AlQuran akan senantiasa Äliá li kulli zaman wa makn, yang berarti bahwa nilai yang terkandung dalam AlQuran akan selalu relevan dalam setiap perkembangan zaman dan tidak akan lekang ditelan waktu.
“Dengan sifatnya itulah kemudian, AlQuran akan terus kita adopsi dan kita gali nilai-nilai yang tersimpan di dalamnya untuk diimplementasikan pada setiap sendi kehidupan manusia. Apalagi terjemahan AlQuran Kementerian Agama menjadi terjemahan yang paling banyak dirujuk oleh masyarakat Indonesia,” jelasnya.
Upaya realisasikan kesetaraan gender
Dengan adanya diskusi terjemahan AlQuran menggunakan kata “wanita” dan “perempuan” menunjukkan adanya upaya merealisasikan kesetaraan gender dari aspek kecil berupa terjemahan kata.
“Sejatinya, AlQuran tidak pernah merendahkan perempuan. Pembacaan-pembacaan kelirulah yang menggambarkan seolah AlQuran memandang rendah sosok perempuan. AlQuran tergantung pada siapa yang membaca dan menafsirkannya,” ungkap Sa’adah.
Yang perlu digarisbawahi, lanjut Sa’adah, bahwa AlQuran dengan tafsir dan terjemahnya adalah sesuatu yang berbeda. Kita harus memberikan garis pemisah antara AlQuran dengan tafsirannya ataupun terjemahannya.
“Sampai kapan pun, AlQuran akan tetap dengan kesakralannya,” yakinnya.
Sedangkan tafsir dan terjemahannya hanyalah pembacaan terhadap AlQuran yang bersifat profan, sehingga ia terbuka lebar untuk kita kritisi dan kita perbaiki. [Muhimmah]
_____________
*Muhimmatus Sa’adah: Tulisan dibuat sebagai syarat kelulusan sebagai mahasiswi Prodi IQT IAIN Madura bersamaan dengan terbitnya artikel Sinta-3 di Jurnal Maghza sebagai tugas akhir pengganti skripsi.









