22.4 C
Sukabumi
Jumat, Mei 3, 2024

Sport Bike Honda Dax 125 MY 2024 Memikat Pecinta Motor Retro, Harga?

sukabumiheadline.com l Motor sport berdimensi ringkas, Honda...

Yamaha Zuma 125 meluncur, intip harga dan penampakan detail motor matic trail

sukabumiheadline.com - Yamaha resmi memperkenalkan Zuma 125...

Thrust Defender 125, Motor Matic Maxi Bikin Yamaha XMAX Ketar-ketir, Cek Harganya

sukabumiheadline.com l Thrust Defender 125, diprediksi bakal...

Ternyata Ini Alasan Warga Tionghoa Tidak Bisa Miliki Tanah di Yogyakarta

NasionalTernyata Ini Alasan Warga Tionghoa Tidak Bisa Miliki Tanah di Yogyakarta

sukkabumiheadline.com l Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu provinsi yang diberikan keistimewaan dalam mengelola daerahnya di Indonesia.

Hal serupa juga dengan Aceh, yang juga memiliki keistimewaan yang berbeda dengan provinsi lainnya di Tanah air, berupa penerapan syariat Islam.

Untuk Yogyakarta, ada keistimewaan yang juga tidak dimiliki daerah lain di Indonesia, bahkan termasuk di Aceh sekalipun, yang juga memiliki keistimewaan.

Kota provinsi yang juga dikenal sebagai kota pendidikan yang menawarkan pesona tradisional dengan istana kerajaan, candi-candi megah di daerah sekitarnya, seperti Borobudur dan Prambanan, itu memiliki regulasi yang melarang warga etnis Tionghoa memiliki tanah.

Larangan tersebut memiliki payung hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Artian tidak boleh memiliki tanah tersebut adalah sebagai hak milik. Dengan demikian, etnis Tionghoa hanya boleh punya Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan (HGB) saja.

Diketahui, adanya larangan warga etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di Jogja sudah ada sejak zaman Sultan Hamengkubuwono (HB) IX.

Melansir dari itb-ad.ac.id, aturan ini memiliki latar belakang sejarah panjang yang erat kaitannya dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Larangan bermula ketika pada Desember 1948, Belanda melakukan Agresi Militer II. Namun sayangnya, warga etnis Tionghoa malah bersikap mendukung Belanda yang menginginkan kembali menjajah Indonesia.

Alhasil, Sri Sultan Hamengkubuwono IX pun mencabut hak kepemilikan tanah terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa.

Selanjutnya pada 1950, Indonesia berhasil mempertahankan kemerdekaan. Para etnis Tionghoa pun akan melakukan eksodus, tetapi Sultan Yogya masih baik dan memberikan kesempatan mereka untuk tetap tinggal.

Tak sampai di situ, larangan kemudian diperkuat oleh Paku Alam VIII pada 1975 yang menerbitkan surat instruksi kepada bupati dan wali kota yang berisi larangan menerbitkan surat hak milik tanah kepada warna ‘non-pribumi’.

Konten Lainnya

Content TAGS

Konten Populer