22.2 C
Sukabumi
Rabu, April 17, 2024

5 Fakta Tjetjep Herijana, Urang Sunda Jawara Grand Prix Macau Kerja Serabutan Tinggal di Panti

Gaya hidup5 Fakta Tjetjep Herijana, Urang Sunda Jawara Grand Prix Macau Kerja Serabutan Tinggal di Panti

sukabumiheadline.com l Tjetjep Herijana adalah warga Cimahi, Jawa Barat. Ketika masih muda, ia dikenal sebagai pembalap andal karena berhasil menjadi juara dunia dalam ajang Macau Grand Prix 1970.

Namun malang, saat ini Tjetjep harus hidup dengan bantuan kursi roda di sisa umurnya. Sebagai mantan pembalap, hanya jutaan kenangan tersisa dalam hidupnya.

Pria yang kini berusia 83 tahun itu mulai membalap di kancah internasional dengan menunggangi Yamaha TR2. Setelah berganti-ganti lintasan dalam kurun 1950-1970, namanya kian gemilang setelah berhasil naik podium di Motorcycle Grand Prix Macaj 1970.

Hingar bingar gelaran MotoGP 2022 di Sirkuit Mandalika sampai di telinganya. Sehingga, ia kerap menyampaikan kepada banyak orang, harapannya bisa menyaksikan gelaran tingkat dunia yang diadakan di negaranya itu.

“Saya ingin sekali hadir di MotoGP Mandalika, ingin mendengar lagi suara motor-motor digeber mesinnya oleh pembalap-pembalap dunia,” ujar dia ditirukan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dikutip sukabumiheadline.com, Jumat (18/3/2022).

Merespons keinginan Tjetjep, Ridwan Kamil terpanggil untuk memenuhi keinginan Tjetjep. “Memenuhi keinginannya sebagai penghormatan atas prestasinya. Tiket MotoGP, tiket pesawat dan akomodasi ditanggung kami,” kata RK.

Bagi Tjetjep kesempatan nonton MotoGP tersebut merupakan kado ulang tahun ke-84 yang jatuh pada 26 Maret. Ia dikabarkan duduk di Royal Box VIP.

Dengan kondisi fisik yang lumpuh, ia mendapatkan tempat khusus disabilitas. Selain itu, biaya penginapan dan ongkos.

Bagaimana cerita lengkap perjalanan Tjejep hingga bisa menjadi juara dunia, berikut sosok pria dengan empat anak itu dirangkum sukabumiheadlines.com dari berbagai sumber:

1. Ikut Balapan Sejak Remaja

Tjetjep Herijana lahir di Bandung pada 1939. Sejak remaja ia sudah terjun ke dunia balapan dan membuatnya ketagihan. Debutnya dalam lomba balapan sepeda motor dimulai dengan mengikuti ajang road race di Surabaya tahun 1954.

Dari muda mah sudah suka kebut-kebutan di kota. Bapak saya bilang, ‘kalau berani, balapan di lapangan (sirkuit balap) saja.’ Ya saya mulai balapan tahun 1954 di Surabaya, pakai motor (merk) Jawa 350cc buatan Cekoslovakia. Lawannya waktu itu masih banyak orang-orang Belanda. Saya kalah di balapan pertama itu,” tuturnya dengan logat Sunda.

Sebagai atlet profesional, ia pun rajin mengikuti berbagai perlombaan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Bermodal niat, tekad dan motor Jawa 350 cc tak jarang dia membungkam lawan sesama negaranya.

Sejumlah ajang balap terus dia ikuti kemudian. Sayangnya, dia tak ingat lagi menang atau kalahnya. Yang pasti, Tjetjep pernah memenangi Grand Prix (GP) Curug pada 1958 di Lapangan Terbang API (Kini STPI/Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia) Curug.

“Tjetjep meraih (juara) pemenang pertama untuk klas senior 500cc yang diadakan di lapangan terbang API yang diselenggarakan oleh Posidja bersama Persatuan Penggemar Sepeda Motor BSA Djakarta,” tulis suratkabar Bintang Timur, 25 Juli 1958.

2. Juara Tjililitan Race 1957

Mengutip buku koleksi V.N. Boekhandel, Tjetjep pernah mengikuti ajang balapan Tjililitan Race 1957 yang dihelat pada 12 hingga 13 Oktober 1957, digelar di bandara Halim Perdana Kusuma.
Tjililitan Race 1957 yang diadakan dalam rangka memperingati Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, diselenggarakan oleh Motor Club Djakarta.

Balap motor kali ini merupakan perhelatan kedua setelah masa perang. Terdapat atmosfer kegembiraan luar biasa dari perhelatan ini, banyak kupon undian serta taruhan yang dijual dan mendapatkan peminat luar biasa banyak dari masyarakat umum. Jika pada acara balap sebelumnya para peserta didominasi oleh pembalap yang telah berpengalaman, saat ini terdapat pembalap baru yang turun dan adu kecepatan bersama dengan para pembalap profesional.

Adapun, beberapa grup dengan beberapa kelas tanding, seperti:

Grup A: Kelas III, 250 cc didominasi oleh motor BMW. Kelas IV, 350 cc, didominasi oleh motor Jawa. Kelas V, 500 cc, didominasi oleh motor Jawa dan Norton
Kelas VI, diatas 500 cc, didominasi oleh motor Jawa dan Norton

Grup B: Kelas I, 125cc, didominasi oleh motor Ducati. Kelas II, 175cc, didominasi oleh motor Ducati dan Puch. Kelas III, 250cc, didominasi oleh motor Puch dan NSU Sport Max. Kelas IV, 350cc, didominasi oleh motor BSA. Kelas V, 500cc, didominasi oleh motor BSA dan Puch
Kelas VI, diatas 500cc, didominasi oleh motor BSA dan Triumph.

Pada balap motor itu juga muncul bintang balap dari Indonesia, yaitu E.W. Yong Kwan Tek alias Tjetjep Euwjong Herijana yang beradu dengan legenda motor Indo-Belanda, Jan Alex Jacobus Grashuis. pada Grup A Kelas 350cc, J.A.J Grashuis menjadi pemenang pertama dalam lomba ini, sedangkan untuk Cecep, harus puas pada peringkat ke-3. Keadaan tersebut kemudian dibalik pada Kelas IV diatas 500cc, Grashuis takluk tepat di bawah Tjetjep yang memenangkan lomba ini pada peringkat 1.

Meskipun Tjetjep dan Grashuis merupakan musuh bebuyutan dalam arena balap, tapi merupakan sahabat baik diluar lintasan. Bahkan Tommy Manoch “Ulah Adigung” pernah meminjam sepeda balap kepada Grashuis.

3. Jawara Macau Grand Prix 1970

Tjetjep Euwjong Herijana saat muda. l Istimewa

Pada 1960-an, Tjetjep merambah Asia. “Sebelum zaman Pak Harto (Soeharto, presiden kedua) itu sulit bikin visa untuk balapan di luar negeri. Baru setelah 1966, zamannya Pak Harto, itu dipermudah buat pembalap tampil di luar negeri. Makanya ya kira-kira tahun 1966-lah baru pertama ikut GP di luar Indonesia,” kenang Tjetjep, diberitakan historia.co.id.

Dalam beberapa kali mencicipi Grand Prix di Singapura, Malaysia, hingga Macau. Prestasi terbaiknya baru dicapainya di GP Macau 1970. Saat itu, Tjetjep bergabung dengan tim Yamaha dan meraih podium ketiga dengan menunggangi motor Yamaha TR2. Rekan setimnya, Benny Hidayat, memijak podium pertama alias juara dengan motor Yamaha YSI.

4. Kecelakaan dan Gantung Helm

Sayangnya, ia terpaksa gantung helm lebih cepat setelah kondisi tubuhnya melemah terlebih usai mengalami kecelakaan parah di Kuala Lumpur Malaysia pada tahun 1974. Buntut dari insiden di GP Batu Tiga, Kuala Lumpur, Malaysia, memastikan Tjetjep tak lagi bisa melanjutkan karier balap.

Sebulan lamanya Tjetjep menjalani perawatan patah tangan dan kaki di sebuah rumah sakit di Malaysia sebelum akhirnya pulang ke Tanah Air.

“Di awal-awal sih enggak terlihat dia kenapa-kenapa. Tapi kemudian di pertengahan balapan, dia jatuh. Jatuhnya tidak ada insiden dengan pembalap lain, ya jatuh sendiri saja, begitu. Mungkin fisiknya masih kelelahan karena kan dia pas saat itu belum sepenuhnya sembuh dari cedera bahu sehabis jatuh sebelumnya,” ungkap Benny Hidayat.

Mirisnya, pada masa tuanya, Tjetjep harus dihimpit segala keterbatasan dan kesunyian. Tak ada kata kemewahan dalam hidupnya kini.

5. Menghabiskan Masa Tua di Panti Wreda

Meski memiliki empat anak, pembalap berdarah Tionghoa tersebut kini tinggal sebatang kara di panti jompo. Baginya, panti merupakan tempat terbaik ketimbang harus berpindah dari rumah anak yang satu ke rumah anak lainnya.

Dengan segala kepahitan hidup dan kenangan tak berbalas indah, Tjetjep masih bisa tersenyum di masa tuanya dengan mengingat segala pretasinya di dunia balap.

Kondisi fisik itu masih membekas di hari tuanya. Untuk berjalan, Tjetjep mesti dibantu sebuah walker. Kehidupannya perlahan memburuk selepas tak lagi balapan. Pekerjaannya hanya serabutan menjadi tukang kayu dan kusen.

Selebihnya, dia menjalani hari-hari dalam keprihatinan tanpa perhatian sedikit pun dari pemerintah hingga harus “ditampung” bergantian di rumah keempat anaknya sebelum menetap di panti.

“Ya yang namanya olahragawan zaman dulu ya. Dari pemerintah ya memang seperti tidak ada perhatian. Tidak seperti atlet-atlet sekarang yang bagus ekonominya,” tutur Tjetjep.

Kini Tjetjep menjalani hari tuanya di panti jompo Panti Wreda Karitas, Jl. Ibu Sangki No.35 Kota Cimahi. Sudah sejak 2016 ia menjadi penghuni tetap di sana.

Dia tak ingat lagi kapan terakhir kali keluarganya datang. Hanya dua sahabatnya yang masih punya pertalian darah dengan mantan pembalap Bun Ki Yit, Leo dan Max Bunardi, yang kerap datang menjenguknya.

Tak nampak satupun foto istri atau anak-anak Tjetjep menempel di dinding kamarnya. “Ya memang tidak ada (foto keluarga). Tinggal itu saja (foto-foto lawas) yang tersisa. Piala-piala zaman dulu sudah pada hilang entah ke mana. Ya karena sebelumnya kan tinggal sama anak-anak pindah-pindah,” kata Tjetjep, menceritakan koleksi foto pajangan dindingnya yang hanya berisi foto masa keemasannya sebagai pembalap (1954-1974).

Konten Lainnya

Content TAGS

Konten Populer