sukabumiheadline.com – Gen Z adalah generasi yang lahir setelah Milenial (Gen Y), biasanya didefinisikan sebagai kelompok yang lahir antara 1997 hingga 2012. Mereka dikenal sebagai “digital native” karena tumbuh besar dengan internet dan teknologi digital seperti smartphone dan media sosial sejak kecil, sehingga mereka cepat beradaptasi dengan teknologi, multitasking, dan kreatif.
Karakteristik utama Gen Z
Digital native: Sangat akrab dengan teknologi digital dan internet sebagai bagian dari cara hidup mereka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Multitasking dan kreatif: Mampu melakukan banyak hal sekaligus dan kreatif dalam memanfaatkan teknologi.
Realistis dan pragmatis: Memiliki pandangan yang lebih realistis dalam menghadapi masalah sosial dan politik, serta mencari solusi yang praktis.
Aktif dalam isu sosial: Terlibat aktif dalam berbagai pergerakan sosial dan politik, seperti perubahan iklim dan kesetaraan sosial.
Ekspresif: Menggunakan platform digital untuk mengekspresikan diri, minat, dan identitas mereka.
Julukan: Kadang disebut sebagai “Generasi Strawberry” karena dianggap terlihat menarik dari luar namun mudah “memar” (terluka) saat menghadapi tekanan.
Gempuran perubahan di berbagai bidang serta tsunami informasi yang dicerna Gen Z sejak lahir, ternyata memengaruhi sikap dan pandangan mereka tentang kehidupan beragama.
Baca Juga: Tren baju Gen Z 2026: Personalisasi DIY dan genderless uniforms si paling sadar lingkungan
Memahami kompleksitas beragama Gen Z

Dari sejumlah catatan dihimpun sukabumiheadline.com, antara lain Jurnal Peran Gen Z dalam Membawa Islam Moderat ke Kehidupan Bermasyarakat karya Alfina Rohmanina Arifah, Arsan Shanie, Nisa Nur Aprilia, Muhammad Reyhan Fadiyasa, Firyal Raniah Rizka Az Zahro, Robiatul Adawiyah dari Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, menyebut kecenderungan beragama Gen Z jauh lebih kompleks dibandingkan generasi sebelumnya.
Variasi kecenderungan tersebut mencakup peningkatan ketidakafiliasian agama (terutama di dunia Barat), sikap moderat dan inklusif, namun juga rentan terhadap radikalisme digital, serta perbedaan pandangan berdasarkan gender.
Banyak dari mereka mencari makna spiritual secara mandiri melalui media sosial sambil tetap menunjukkan sikap toleransi, namun beberapa juga rentan terhadap narasi ekstremis yang disebarkan secara daring.
Karakteristik kecenderungan beragama Gen Z
Dari sejumlah catatan dihimpun sukabumiheadline.com, karakteristik kecenderungan beragama Gen Z dibagi ke dalam 4 kelompok sebagai berikut:
1. Penurunan afiliasi agama: Lebih banyak Gen Z di Barat yang tidak mengidentifikasi diri dengan agama tertentu, ateis, atau agnostik dibandingkan generasi sebelumnya.
2. Sikap moderat dan inklusif: Cenderung menunjukkan sikap toleransi dan inklusivitas terhadap orang dari latar belakang agama lain, memahami pentingnya keberagaman. Namun, secara internal, beberapa bisa memiliki pandangan intoleran atau radikal karena pengaruh lingkungan atau digital.
3. Pengaruh media sosial: Gen Z mengekspresikan dan mengeksplorasi keyakinan mereka secara daring, yang dapat menciptakan ruang untuk diskusi agama yang sengit dan penyebaran ideologi.
4. Skepticism dan pencarian makna: Cenderung skeptis terhadap dogma agama, tetapi tetap membutuhkan dan tertarik pada studi keagamaan, terutama jika disajikan secara relevan dan menarik. Mereka membutuhkan ruang untuk menemukan posisi keagamaan mereka sendiri, terkadang dengan perpaduan antara sumber tradisional dan modern.
Perbedaan kecenderungan beragama Gen Z berdasarkan gender

Dalam beragama, kecenderungan sikap dan pandangan Gen Z juga sangat bias gender. Perspektif gender tersebut dipengaruhi banyaknya informasi tentang agama melalui media sosial.
Secara umum, kecenderungan Gen Z dalam beragama dapat disimpulkan sebagai berikut:
Perempuan: Gen Z perempuan cenderung lebih tidak berafiliasi dengan agama dibandingkan laki-laki. Mereka mungkin lebih tertarik pada konsep “roh atau kekuatan hidup” dan seringkali keluar dari agama terorganisasi karena isu kesetaraan gender dan perlakuan terhadap komunitas LGBTQ+.
Laki-laki: Sedangkan Gen Z laki-laki enderung lebih sering mengidentifikasi diri sebagai memiliki “Tuhan yang personal” atau “tidak tahu harus berpikir apa” dibandingkan perempuan.
Tantangan dan potensi
Dari catatan di atas dapat disimpulkan bahwa kompleksitas beragama Gen Z memiliki sejumlah tantangan dan potensi, antara lain:
1. Potensi moderasi: Sikap moderat dan inklusif yang dimiliki Gen Z berpotensi memperkuat nilai-nilai moderasi beragama di masyarakat.
2. Risiko radikalisme: Kemudahan penyebaran informasi di media sosial juga membuat Gen Z rentan terhadap pengaruh ideologi yang berpotensi memecah belah. Hal ini terlihat dari peningkatan debat agama yang sengit di dunia maya, meskipun aksi intoleransinya tidak sekuat opini mereka.
3. Perlu pendampingan: Ada kebutuhan untuk mendampingi Gen Z agar mampu beragama dan berinteraksi di dunia digital dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi, sesuai dengan pandangan.









