sukabumiheadline.com – Presiden Prabowo Subianto sebelumnya, mengaku mempertimbangkan gagasan Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia agar Pilkada dilakukan oleh DPRD.
Usulan ini muncul merespons tingginya biaya politik Indonesia lantaran menerapkan pemilu langsung. Prabowo lalu menyoroti praktik ‘demokrasi perwakilan’ semacam ini juga diterapkan sejumlah negara.
“Kalau sudah sekali memilih DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi, ya kenapa enggak langsung aja pilih gubernurnya dan bupatinya? Selesai,” ujar Prabowo saat berpidato pada acara puncak HUT ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jumat (5/12/2025) lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Usul Prabowo tersebut ditolak Ketua Serikat Petani Indonesia Sukabumi, Rozak Daud. Kepada sukabumiheadline.com, ia menyebut pemilihan langsung adalah mekanisme demokrasi yang tepat untuk Indonesia.
“Saat ini partainya cenderung korup dan tidak berpihak pada rakyat. Sehingga, apabila dikembalikan pemilihan oleh DPRD maka akan menciptakan otoritariesme baru yaitu ketua partai melalui tangan DPRD,” kata Rozak, Senin (8/12/2025).
“Sekarang Kepala Daerah dipilih langsung saja Partai politik khususnya anggota legislatif banyak yang tidak berpihak pada aspirasi rakyat, apalagi kepala daerah dipilih sama mereka,” imbuhnya.
Rozak menilai mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD akan menyuburkan praktik korupsi, dan mereka tinggal bicara di belakang layar segala perencanaan pembangunan yang baik tapi lebih banyak jahatnya serta menghambat regenerasi kepemimpinan nasional.
“Kalau alasannya Pilkada langsung itu mahal, itu karena gagalnya partai politik dalam mempersiapkan kader yang baik untuk dicalonkan. Sehingga pemimpin tidak perlu gagasan tetapi berapa banyak uang yang disetor ke partai untuk mendapatkan kendaraan politik,” tegasnya.
“Kalau kaderisasi politiknya baik maka Pilkada tidak akan mahal, publik diajarkan untuk melihat kualitas dan kapasitas bukan banyaknya modal,” pungkas Rozak.
Akan dibahas Komisi II
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin menyebut bakal membahas usulan pemilihan kepala daerah (Pilkada) lewat DPRD dalam revisi UU Pemilu yang akan dimulai pada 2026 mendatang.
“Komisi II siap membicarakan hal tersebut dalam penyusunan perubahan UU Pemilu,” kata, Ahad (7/12/2025).
RUU Pemilu telah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2026 dan akan dibahas secara kodifikasi dengan sejumlah RUU politik lain. Hingga saat ini, ada dua RUU yang masuk di dalamnya, yakni RUU Pilkada dan RUU Partai Politik.
Zul, sapaan akrabnya, menyebut bahwa setiap usulan terkait pemilu perlu dikaji. Upaya itu dilakukan untuk mencari formula pemilu agar semakin lebih baik dan efektif.
“Gagasan apa pun terkait sistem pemilu patut kita apresiasi dan perlu dikaji lebih dalam untuk mendapatkan pilihan yang lebih tepat demi meningkatkan kualitas pemilu kita,” katanya.
Sementara, Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Demokrat Dede Yusuf mengatakan bahwa RUU Pemilu prioritas dibahas pada 2026 karena tahapan pemilu akan dimulai pada 2027.
“Prolegnas kita tahun depan adalah RUU pemilu. Karena tahapan pemilu sudah masuk di 2027, jadi harus dimulai,” katanya.
Meski begitu, RUU Pilkada berpotensi tak akan dibahas dalam waktu dekat. Pasalnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 135 telah memerintahkan agar pilkada digelar terpisah dengan pemilu nasional.
Karenanya, kata Dede, Komisi II belum memastikan apakah RUU Pilkada akan masuk dalam kodifikasi RUU Pemilu yang akan dibahas 2026.
“Belum. Tapi bisa saja masuk paket pemilu. Kita belum mulai,” kata dia.
Sementara itu, akademisi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Ahmad Sabiq menilai wacana pengembalian Pilkada kepada DPRD tidak menjamin terhentinya praktik politik uang dan justru berpotensi mengurangi kualitas demokrasi serta kedaulatan rakyat.
“Wacana pilkada melalui DPRD sebenarnya bukan hal baru,” katanya, Senin.
Ia mengatakan gagasan itu pernah mencuat pada penghujung masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang mengatur mekanisme tersebut.
Menurut dia, diskursus serupa kini kembali muncul seiring pernyataan Presiden Prabowo Subianto dan respons sejumlah partai politik.
“Kalau pilkada dikembalikan ke DPRD, itu langkah mundur karena menyentuh prinsip fundamental demokrasi, seperti kedaulatan rakyat dan akuntabilitas publik,” katanya.
Ia menilai wacana tersebut lebih banyak mencerminkan kepentingan elite politik ketimbang aspirasi masyarakat.
Menurut dia, hal itu karena diskusi tentang perubahan mekanisme pilkada jarang sekali muncul dari publik, melainkan didorong oleh pernyataan elite partai atau tokoh pemerintah.
Ia mengatakan alasan-alasan yang dikemukakan untuk mendukung pilkada melalui DPRD, seperti biaya politik yang tinggi, potensi politik uang, dan repotnya penyelenggaraan pilkada langsung, tidak serta-merta dapat diselesaikan dengan perubahan mekanisme pemilihan.
“Tidak ada jaminan politik uang tidak terjadi di DPRD. Praktik transaksional tetap mungkin terjadi, bahkan dulu sudah pernah terjadi, sehingga tidak otomatis masalahnya selesai hanya dengan memindahkan kewenangan memilih kepada DPRD,” ujarnya.









