sukabumiheadline.com – Memelihara kucing dalam Islam hukumnya mubah (boleh), bahkan bisa menjadi amal kebaikan jika dilakukan dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab, karena Nabi Muhammad SAW sangat menyayangi kucing dan menganjurkan berbuat baik pada semua makhluk hidup.
Namun, pemiliknya wajib memenuhi hak kucing seperti memberi makan, minum, dan tidak menelantarkan, sebab menyiksa hewan dapat mendatangkan dosa dan hukuman Allah SWT.
Meskipun demikian, ada pandangan bahwa hewan bertaring sebaiknya tidak dipelihara di dalam rumah karena najisnya, tetapi kucing memiliki keistimewaan tersendiri karena kesuciannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hukum dan keutamaan
- Mubah: Memelihara kucing diperbolehkan dan tidak diharamkan, bisa menjadi pahala jika dengan niat baik dan perawatan yang benar.
- Amal Saleh: Menyayangi kucing termasuk perbuatan baik yang mendatangkan ridha dan ampunan Allah SWT.
- Syafaat Nabi: Ada harapan mendapatkan syafaat Nabi Muhammad SAW bagi yang menyayangi kucing, karena beliau adalah rahmatan lil ‘alamin.
- Adab dan Tanggung Jawab
Tidak Menzalimi: Dilarang menyakiti, menelantarkan, atau mengurung kucing tanpa memberi makan dan minum, sebagaimana kisah wanita yang disiksa karena hal ini. - Penuhi Kebutuhan: Wajib memberi makan, minum, tempat tinggal layak, dan menjaga kebersihannya.
- Kebersihan: Kucing dianggap suci (tidak najis seperti hewan bertaring lainnya) dan air liurnya bersih, menjadikannya istimewa.
- Perlakuan Layaknya Keluarga: Dianjurkan menyayangi kucing seperti keluarga sendiri.
Apakah kucing najis?

Sementara itu, dalil utama menyatakan kucing tidak najis karena sering berkeliaran di sekitar manusia, terutama terkait air liurnya yang suci meskipun terkena air untuk wudhu (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dll.).
Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ
“Kucing itu tidaklah najis. Sesungguhnya kucing merupakan hewan yang sering kita jumpai dan berada di sekeliling kita. ” (HR. Abu Daud no. 75, Tirmidzi no. 92, An Nasai no. 68, dan Ibnu Majah no. 367. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan, “Kucing tidaklah najis. Namun apakah berlaku secara umum? Jawabnya, tidak. Yang tidak najis adalah air liur, sesuatu yang keluar dari hidungnya, keringat, jilatan atau bekas makan dan minumnya.
Adapun untuk kencing dan kotoran kucing tetaplah najis. Begitu pula darah kucing juga najis. Karena setiap hewan yang haram dimakan, maka kencing dan kotorannya dihukumi najis.
Kaedahnya, segala sesuatu yang keluar dari dalam tubuh hewan yang haram dimakan dihukumi haram. Contohnya adalah kencing, kotoran, dan muntahan.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 1: 110).
Kotoran dan kencing kucing tetap najis menurut mayoritas ulama, berdasarkan analogi dengan hewan lain yang haram dimakan dagingnya, jadi tetap harus dibersihkan jika terkena pakaian atau badan untuk salat, meskipun bulunya yang rontok sedikit di-ma’fu (ditoleransi).
Terkait kucing haram dimakan, hal ini berdasarkan hadits dari Abi Tsa’labah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim no. 1932). Yang dimaksud “dzi naabin minas sibaa’ ” adalah setiap hewan yang memiliki taring dan taringnya digunakan untuk menerkam mangsanya. Kucing termasuk di dalamnya. Jadi, kucing itu keluar dari kaedah para ulama
Dalil kesucian kucing (air liur/tubuh):
Hadis Abu Qatadah: Rasulullah bersabda, “Sungguh ia (kucing) tidaklah najis, karena ia termasuk yang berkeliaran di tengah kalian.” (HR. Tirmidzi).
Konteks hadits, Nabi mengizinkan kucing minum dari air bekas wudhu, menunjukkan air liurnya suci.
Dalil najisnya kotoran/kencing:
Analogi (Qiyas): Kucing tidak halal dimakan, maka kotoran dan kencingnya dihukumi najis, sama seperti hewan lain yang tidak halal dimakan dagingnya (kecuali ada dalil khusus).
Kesimpulan Ulama: Meskipun tubuh dan air liurnya suci, kencing dan kotoran kucing adalah najis dan harus dibersihkan.
Hukum bulu kucing: Bulu kucing yang rontok secara alami hukumnya ma’fu (ditoleransi) jika sedikit, karena sulit dihindari. Namun, jika banyak dan mengganggu, tetap disarankan untuk dibersihkan agar ibadah sah.
Kesimpulan Praktis:
- Air liur dan tubuh kucing: Suci (ma’fu).
- Kencing dan kotoran kucing: Najis (wajib dibersihkan).
- Bulu kucing: Ma’fu jika sedikit, najis jika banyak (tergantung ‘urf).
Namun demikian, Ustadz Khalid Basalamah memberikan pandangan berbeda. Ia mengingatkan bahwa meskipun Abu Hurairah (sahabat Nabi) memelihara kucing, kucing termasuk hewan bertaring yang najis berat.
Dengan demikian, ia berpandangan lebih baik kucing tidak dipelihara di dalam rumah. Namun, melepaskannya di alam bebas tidak masalah karena Allah akan menjaganya.
Hukum membuang kucing dalam Islam
Hukum membuang kucing dalam Islam pada dasarnya adalah dilarang dan berdosa jika tindakan tersebut menyebabkan kucing menderita, kelaparan, atau terancam nyawanya.
Kucing dipandang sebagai hewan kesayangan yang harus diperlakukan dengan kasih sayang.
Berikut adalah rincian dalil dan ketentuannya:
1. Larangan menelantarkan hewan (dosa neraka)
Membuang kucing peliharaan tanpa memastikan ia bisa bertahan hidup (seperti akses ke makanan dan air) termasuk dalam kategori menelantarkan hewan.
Dalil utamanya adalah hadits tentang seorang wanita yang masuk neraka karena kucing, yang berbunyi:
“Seorang perempuan diazab karena seekor kucing yang dikurungnya sampai mati, lalu ia masuk ke dalam neraka. Ia tidak memberinya makan dan minum saat mengurungnya, dan tidak pula melepaskannya agar bisa memakan serangga tanah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ulama berpendapat bahwa hadits ini menjadi dasar dilarang keras mengurung atau membuang hewan di tempat yang membuatnya tidak bisa mencari makan sendiri hingga menderita atau mati.
2. Larangan menyakiti dan keharusan berbuat ihsan
Islam memerintahkan umatnya untuk berbuat ihsan (baik) kepada segala sesuatu, termasuk hewan.
Hadis: “Maka barang siapa yang menyayangi dan memelihara hewan seperti kucing, niscaya Allah SWT akan merahmatinya pada hari kiamat nanti.” (HR. Bukhari).
Menyiksa hewan secara langsung atau tidak langsung (lewat penelantaran) dapat mendatangkan laknat Allah.
3. Pengecualian: Membuang karena mengganggu
Jika kucing tersebut liar atau sangat mengganggu (seperti merusak, mencuri makanan, atau membahayakan kesehatan), para ulama memperbolehkan memindahkannya dengan syarat-syarat ketat, yakni:
- Bukan untuk menyiksa: Tidak boleh dibuang di tempat yang gersang, jauh dari pemukiman yang memiliki sumber makanan, atau tempat berbahaya.
- Tempat Aman: Harus dipindahkan ke tempat yang masih memungkinkannya mendapatkan makanan atau ke lingkungan yang aman bagi kucing tersebut.
- Cara yang Baik: Tidak boleh dilakukan dengan kasar atau menggunakan cara-cara yang menyakitkan (seperti dimasukkan ke karung yang diikat rapat dalam waktu lama).
Sebagai alternatif yang lebih baik dalam Islam, jika sudah tidak sanggup memelihara, Anda disarankan untuk menyerahkannya ke orang lain yang mampu merawat atau ke penampungan hewan daripada membuangnya di jalanan.
Kesimpulan
Memelihara kucing adalah baik jika Anda siap bertanggung jawab penuh untuk merawatnya dengan baik, menjadikannya bagian dari ibadah dan menunjukkan kasih sayang kepada makhluk Allah, bukan sekadar kesenangan sesaat. Wallahu alam bis shawab.









