21.9 C
Sukabumi
Jumat, April 26, 2024

PDIP memohon ke Prabowo bantu selamatkan PPP agar lolos ke Senayan

sukabumiheadline.com - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)...

Sport Bike Honda Dax 125 MY 2024 Memikat Pecinta Motor Retro, Harga?

sukabumiheadline.com l Motor sport berdimensi ringkas, Honda...

Kisah perjalanan spiritual Philippe Troussier, eks pelatih Timnas Vietnam Mualaf

sukabumiheadline.com - Philippe Troussier, mantan pelatih Tim...

amina wadud, Wanita Pertama Menjadi Imam Shalat Jumat di AS dan Inggris, Kini Tinggal di Indonesia

Internasionalamina wadud, Wanita Pertama Menjadi Imam Shalat Jumat di AS dan Inggris, Kini Tinggal di Indonesia

SUKABUMIHEADLINE.com l amina wadud adalah seorang warga Amerika Serikat (AS) keturunan Afrika. Ia sengaja menulis namanya dengan huruf kecil, amina wadud, sesuai huruf Arab yang tidak mengenal huruf kapital.

“Saya adalah Muslim eklektik,” kata amina yang memilih namanya ditulis dalam huruf kecil semua, karena kata dia, bahasa Arab pun tidak mengenal huruf kapital.

Sosok amina populer sebagai wanita pertama yang memimpin Shalat Jumat di Amerika dan Inggris pada 2005 dan 2008. Karenanya, amina dikenal dikenal publik sebagai ‘Lady Imam’.

amina juga pernah menulis buku ‘Quran and Woman‘ pada 1992 silam. Di dalam buku itu, amina menafsirkan AlQuran dari perspektif perempuan dalam berbagai topik, seperti signifikansi perempuan dalam AlQuran, serta peran dan hak perempuan dalam Islam.

Ia memulai riset untuk bukunya, Quran and Woman, sebagai bagian dari disertasinya sejak 1980-an.

Sejak diterbitkan 30 tahun lalu, Quran and Woman telah diterjemahkan ke dalam setidaknya tujuh bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Di dalamnya amina menulis,”Yang paling membuat saya khawatir akan tafsir ‘tradisional’ adalah tafsir tersebut secara eksklusif ditulis oleh para pria. Itu berarti pria dan pengalaman pria dilibatkan (di dalam tafsir), dan wanita serta pengalaman wanita bisa jadi tidak diikutsertakan, atau diintrepertasikan lewat visi, perspektif, dan kehendak pria”.

“Banyak pemikiran telah dicurahkan pada ilmu tafsir. Saya tidak mengatakan semuanya salah, dan saya lah satu-satunya yang mengartikan Quran dengan baik, tidak. Maksud saya, saya tidak bisa melihat, di dalam literatur itu, kenyataan hidup saya sebagai wanita Amerika keturunan Afrika diartikulasikan dengan kedalaman yang sama dengan seorang pria,” kata amina lagi.

“Saya tidak melakukannya untuk menjadi yang pertama dalam hal apa pun, atau menjadi pemimpin bagi siapa pun. Saya hanya sangat peduli akan hubungan saya dengan Quran dan perbedaannya dengan kenyataan yang saya alami, misalnya di dalam komunitas Muslim,” tambah dia.

Diberitakan bbcindonesia.com, amina menceritakan perjalanan spiritualnya memeluk Islam, dan upayanya mencapai keadilan gender. Tidak hanya bagi perempuan dan laki-laki tapi juga non-biner dalam konteks Islam.

“Saya akan merayakan ulang tahun ke-70 tahun ini, sekaligus 50 tahun memeluk agama Islam,” ungkap amina.

“Saya merasa sangat beruntung, saya menemukan sesuatu yang membuat saya jatuh cinta, dan 50 tahun kemudian rasa cinta dan pesonanya tidak pernah pudar”.

Lahir dari Keluarga Pendeta

amina lahir dalam sebuah keluarga pendeta Kristen Methodist di negara bagian Maryland, AS. Sebelum menjadi mualaf, amina memeluk dan mempraktikan agama Buddha.

“Bapak saya membesarkan saya dengan kasih sayang. Jadi saya tidak pernah memiliki pengalaman buruk yang membuat saya merasa perlu mencari alternatif (agama) lain. Tapi saya memang memiliki ketertarikan kuat terhadap keragaman agama,” ungkap dia.

Pada 1972, saat berusia 19 tahun, di tahun kedua perkuliahan, amina mantap menjadi mualaf dengan mengucap dua kalimat syahadat di sebuah masjid di Washington, DC.

Saat itu, pergerakan hak warga sipil keturunan Afrika di Amerika kental mewarnai latar belakang kehidupan amina.

“Di dalam komunitas warga Amerika keturunan Afrika, terdapat pemahaman Islam sebagai alternatif dari model agama Kristen, yang ada saat itu yang instrumental dalam perbudakan warga keturunan Afrika,” kata amina.

Menurut amina, komunitas Amerika keturunan Afrika melihat Islam sebagai agama keadilan di tengah ketidakadilan berdasarkan warna kulit yang mereka alami saat itu.

Namun amina juga tidak menampik bahwa diskriminasi dan rasisme tidak berhenti begitu saja setelah ia memeluk Islam.

“Kita, dalam berbagai hal, naif terhadap kenyataan bahwa meski tidak ada justifikasi dalam Islam untuk rasisme, tapi tetap saja ada rasisme di dalam komunitas Muslim,” lanjut amina.

Data PEW Reserch Center tahun 2019 menunjukan bahwa warga keturunan Afrika jumlahnya seperlima dari total umat Muslim di Amerika. Sekitar separuhnya adalah mualaf.

“Saat mulai memeluk agama Islam, saya hanya berpikir kenapa tidak dicoba saja. Saya tidak menyadari bahwa keputusan itu menjadi komitmen sepanjang hidup,” kata amina sambil tertawa.

Menjadi Imam Shalat Jumat

amina meraih gelar doktor dari University of Michigan, AS untuk studi Arab dan Islam. Ia juga mengenyam pendidikan bahasa Arab di American University di Kairo, Mesir, serta Studi Quran dan Tafsir di Universitas Al-Azhar, Mesir.

“Saya mempelajari bahasa Arab sebagai kunci bagi pintu pemahaman [Al-Quran], bukan sebagai pintunya,” kata amina.

amina kian dikenal luas pada 2005 setelah ia memimpin ibadah Shalat Jumat untuk jamaah laki-laki dan perempuan di New York, Amerika Serikat. Kala itu, ia mendapati dirinya di tengah pro dan kontra. Namun hal itu tidak menghentikannya untuk melakukan hal yang sama pada 2008 di sebuah masjid di Oxford, Inggris.

“Saya penuh kasih sayang, saya senang disayangi, dan tentunya saya menyayangi Allah tercinta. Jadi, tidak, saya tidak berniat menjadi kontroversial,” kata amina.

“Namun, saya memahami bahwa aspek-aspek tertentu [seperti] kesejahteraan manusia harga diri, keadilan, rasa hormat, saling timbal balik, adalah hal-hal tanpa syarat. Jika Anda memberikan syarat pada wanita atau non-biner untuk mendapatkan keutuhan diri sebagai manusia, saya cenderung teguh pada pendirian saya sebagai oposisi akan hal itu,” jelas ia.

Meski motivasi amina di balik penulisan Quran and Woman sarat akan nilai kesetaraan gender, ia mengaku kala itu tidak memandang dirinya sebagai seorang feminis, bahkan cenderung menolak label tersebut. Begitu pun ketika ia memimpin ibadah shalat Jumat.

“Saya merasa tidak memerlukan hal lain selain Islam dan terus berkembang, belajar, dan memeluk Islam,” kata amina.

amina menyambut istilah feminis pada 2009, dalam sebuah peluncuran pergerakan global Muslim untuk kesetaraan dan keadilan bernama Musawah.

Tinggal di Indonesia dan Menjadi Dosen

amina wadud mendapatkan gelar Professor Emeritus Ilmu Islam dari Virginia Commonwealth University di mana ia mengajar sejak tahun 1992.

Meski telah pensiun 16 tahun lalu, amina kini mengajar sebagai profesor tamu di beberapa universitas di Indonesia, termasuk Universitas Gajah Mada dan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Konten Lainnya

Content TAGS

Konten Populer