sukabumiheadline.com – Setelah hukum memandang kemaluan sendiri diulas, lantas bagaimana dengan hukum memandang kemaluan lawan jenis dalam Islam? Benarkah bisa menyebabkan kebutaan? Baca selengkapnya: Gen Y dan Z Sukabumi wajib tahu, begini hukum memandang kemaluan sendiri dalam Islam
Hukum melihat kemaluan lawan jenis yang bukan mahram adalah haram, karena termasuk dalam aurat yang wajib ditutupi. Namun, bagi pasangan suami istri, hukumnya boleh melihat kemaluan pasangannya, meskipun sebagian ulama menganggapnya makruh karena alasan adab.
Situasi yang diperbolehkan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Suami istri: Dibolehkan melihat kemaluan pasangannya. Keharusan menutupi aurat berlaku bagi semua orang kecuali untuk pasangan yang halal, sebagaimana hadits:
“Tutuplah auratmu kecuali dari istrimu atau budak perempuanmu.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan Abu Dawud).
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqoha bahwa tidak ada batasan aurat antara suami istri. Semua bagian tubuhnya halal untuk dilihat satu dan lainnya, sampai pun pada kemaluan. Karena menyetubuhinya saja suatu hal yang mubah (boleh). Oleh karena itu melihat bagian tubuh satu dan lainnya –terserah dengan syahwat atau tidak-, tentu saja dibolehkan.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa dimakruhkan untuk memandang kemaluan satu dan lainnya. Namun hadits yang digunakan adalah hadits dho’if yang berbunyi:
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرُّدَ الْعَيْرَيْنِ
“Jika salah seorang dari kalian mendatangi isterinya hendaklah dengan penutup, dan jangan telanjang bulat.”
وَيَحْرُمُ عَلَيْهِمَا كَشْفُ السَّوْأَتَيْنِ فِي الْخَلْوَةِ لِغَيْرِ حَاجَةٍ إِلاَّ لِحَلِيْلٍ.
“Dan Haram Atas keduanya (laki-laki dan perempuan) menyingkap dua aurat (qubul dan dubur) dalam keadaan bersendirian tanpa hajat, kecuali untuk yang halal (suami istri)”.
Kebutuhan medis: Seorang dokter diperbolehkan melihat kemaluan pasien untuk keperluan medis, dengan syarat ada pengobatan yang membutuhkan dan dilakukan di hadapan mahram atau suami, sebagaimana dijelaskan oleh NU Online Jawa Timur.
Kebutuhan hukum: Saat memberi kesaksian dalam suatu perkara, seorang pria diperbolehkan melihat kemaluan wanita yang dibutuhkan untuk keperluan pembuktian.
Situasi yang diharamkan
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita boleh melihat selain pusar hingga lutut dengan syarat selama aman dari fitnah (artinya tidak sampai membuat wanita tersebut tergoda).
Pendapat ulama Malikiyah, dibolehkan bagi wanita melihat pria sebagaimana pria dibolehkan melihat mahramnya, yaitu selama yang dilihat adalah wajah dan athrofnya (badannya), ini juga dengan syarat selama aman dari fitnah (godaan).
Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wanita tidak boleh melihat aurat lelaki dan juga bagian lainnya tanpa ada sebab. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (QS. an-Nuur (24): 31)
Memandang kemaluan sesama jenis: Dari Abu Sa’id al-Khudriy I, dari Rasulullah ﷺ, bahwasannya beliau bersabda,
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ …
Artinya: Janganlah seorang laki-laki melihat kepada aurat laki-laki, tidak juga seorang wanita (melihat) kepada aurat seorang wanita.
Memandang kemaluan lawan jenis bukan mahram: Ini adalah haram karena kemaluan termasuk bagian aurat yang wajib ditutupi dari pandangan orang lain yang bukan mahram.
Memandang dengan syahwat: Memandang kemaluan lawan jenis bukan mahram dengan disertai syahwat hukumnya haram dan dapat termasuk dalam “zina mata”.
Sebabkan kebutaan?
Adapun hadits yang mengatakan bahwa “melihat kelamin wanita bisa menyebabkan kebutaan” dianggap lemah oleh sebagian ulama, tetapi beberapa ulama lain menganggapnya memiliki makna metaforis tentang “kebutaan hati”.
Pandangan yang tidak disertai syahwat atau fitnah, seperti memandang wajah lawan jenis untuk keperluan umum seperti jual beli, hukumnya diperbolehkan, kecuali pada bagian kemaluan yang tetap haram.
Adapun hadits yang dinilai lemah tersebut berbunyi:
Diriwayatkan dari Rasulullah ىلص هللا هيلع ملسو bahwa beliau bersabda: “Jika salah seorang darimu (suami) mengumpuli istri atau budaknya, maka janganlah dia melihat kemaluannya, karena hal itu akan menyebabkan kebutaan.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Hibban هللا رمحه dalam al-Majruhin 1/202, Ibnu Adi dalam al-Kamil fi adh-Dhu’afa
11/75 dan Ibnul Jauzi هللا رمحه dalam al-Maudhu’at 11/271 dari jalur Hisyam bin Khalid, dari Baqiyyah bin al-Walid, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha’ dari ‘Abdullah bin Abbas.
Hadits di atas dihukumi oleh para ulama Ahli hadits sebagai hadits palsu, karena dalam sanadnya ada perawi yang
bernama Baqiyyah bin al-Walid, dia banyak men-tadlis (menyamarkan) riwayat dari perawi-perawi yang lemah, dan hadits ini termasuk di antaranya.









