23.5 C
Sukabumi
Kamis, Mei 2, 2024

Suami Dipenjara Bolehkah Istri Gugat Cerai? 3 Mazhab Melarang, Satu Mengizinkan

KhazanahSuami Dipenjara Bolehkah Istri Gugat Cerai? 3 Mazhab Melarang, Satu Mengizinkan

sukabumiheadline.com l Banyak dari kalangan pria yang berstatus suami, termasuk di Sukabumi, Jawa Barat, terlibat dalam kasus tindak pidana hingga berujung dipenjara dalam kurun waktu yang tidak sebentar.

Lantas,muncul pertanyaan, bolehkah istri menggugat cerai saat suami menjalani hukuman penjara?

Zainuddin Lubis, salah seorang kolomnis Tanah Air berpendapat bahwa dalam Islam, pernikahan dianggap sebagai ikatan yang suci antara seorang suami dan istri.

Namun, ada situasi di mana pernikahan ini dapat menghadapi tantangan serius, seperti saat seorang suami berada di penjara. Bagi istri yang terjebak dalam situasi seperti ini (suami di penjara), tak jarang memilih opsi untuk memilih bercerai dengan suaminya.

Dilansir islam.nu.or.id, Zainuddin berpendapat jika mengambil keputusan menggugat cerai suaminya, hal itu dibolehkan dalam Madzhab Malikiyah.

“Istri boleh mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya yang ditahan untuk waktu yang lama. Hal ini karena penahanan suami dapat menyebabkan istri mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya,” tulis Zainuddin dikutip sukabumiheadline.com, Senin (25/9/2023).

Adapun, tulis dia, syarat-syarat istri boleh mengajukan gugatan cerai terhadap suami yang ditahan adalah sebagai berikut; Pertama, suami telah ditahan selama setahun atau lebih. Kedua, istri mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya. Ketiga, istri tidak dapat menanggung beban kehidupannya sendiri.

“Jika istri memenuhi syarat-syarat tersebut, maka gugatan cerainya akan dikabulkan oleh pengadilan,” lanjut Zainuddin.

Mengutip dari kitab al Fiqh Islami wa Adillatuhu, Jilid 9 halaman 7068, karya Syekh Wahbah Az Zuhaili disebutkan bahwa istri boleh mengajukan gugatan cerai setelah setahun penahanan suami. Hal ini karena penahanan suami dianggap sama dengan ketidakhadiran suami, baik karena uzur atau tidak.

Adapun, dalam kitab al Fiqh Islami wa Adillatuhu, Jilid 9 halaman 7068, karya Syekh Wahbah Az Zuhaili disebutkan sebagai berikut, yang artinya:

“Mayoritas ulama selain mazhab Maliki tidak membolehkan talak karena suami ditahan, ditangkap, atau dipenjara, karena tidak ada dalil syar’i yang mendukungnya. Menurut mazhab Hambali, orang yang dipenjara dan sejenisnya tidak dianggap sebagai orang yang berhalangan. Sedangkan mazhab Maliki membolehkan talak karena suami yang tidak ada kabar selama satu tahun atau lebih, baik dengan alasan maupun tanpa alasan. Jika suami ditahan selama satu tahun atau lebih, maka istrinya boleh meminta talak. Hakim akan memisahkan mereka tanpa perlu mengirim surat ke suami atau memberikan tenggang waktu. Talak tersebut adalah talak ba’in.”

Sementara, dalam kitab al Mausuah al Fiqhiyah, terbitan Kementerian Wakaf, Kuwait, pada jilid 29, halaman 62 menyebutkan bahwa empat mazhab ulama fikih berbeda pendapat terkait hukum istri meminta cerai pada suami yang tengah dipenjara.

Mazhab Syafi’i, Hambali, dan Hanafi mengatakan tidak dibolehkan, sebab hak untuk berhubungan intim itu hak suami, bukan istri.

“Sementara pendapat Mazhab Maliki, menyebutkan diperbolehkan menuntut cerai, sebab demikian itu hak dari istri, terlebih jika istri merasa kesulitan dalam ekonomi pasca suami ditetapkan sebagai terdakwa dan dipenjara,” lanjut Zainuddin dalam kolomnya.

Dalam kitab al Mausuah al Fiqhiyah, terbitan Kementerian Wakaf, Kuwait, pada jilid 29, halaman 62 yang artinya:

“Para ulama berbeda pendapat istri yang suaminya pergi, hilang, atau dipenjara jika mereka meminta cerai. Apakah permintaan istri tersebut akan dikabulkan?

Berikut adalah penjelasan dari berbagai pendapat tersebut:

Sejatinya, para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya cerai karena pergi, yang didasarkan pada perbedaan mereka dalam hukum terus menerusnya hubungan intim, apakah itu hak istri seperti halnya hak suami? Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali dalam pendapat Imam Al-Qadhi berpendapat bahwa terus menerusnya hubungan intim adalah hak suami saja dan bukan hak istri.

Oleh karena itu, jika suami meninggalkan hubungan intim dengan istrinya selama suatu periode, ia tidak dianggap menzaliminya di hadapan hakim, baik ia hadir maupun pergi, lama atau tidak lamanya kepergiannya. Hal ini karena hak istri dalam hubungan intim adalah hak putusan yang berakhir dengan sekali hubungan intim.

Sementara itu, Mazhab Maliki berpendapat bahwa terus menerusnya hubungan intim adalah hak istri secara mutlak.

Oleh karena itu, jika seorang pria pergi dari istrinya selama suatu periode, ia berhak untuk meminta cerai darinya, baik perjalanannya itu karena alasan atau tidak. Hal ini karena haknya dalam hubungan intim adalah kewajiban mutlak menurut mereka.”

Di sisi lain dalam hukum positif Indonesia, lanjut Zainuddin, istri memiliki hak untuk mengajukan cerai kepada suami yang dipenjara. Hak ini tertuang dalam Pasal 19 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan juga dalam Kompilasi Hukum Islam, Pasal 116 huruf c, tentang perceraian.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa perceraian dapat terjadi apabila salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

“Hak ini diberikan kepada istri karena suami yang dipenjara tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami, yaitu menafkahi, melindungi, dan memelihara istri,” tulis Zainuddin.

“Selain itu, suami yang dipenjara juga tidak dapat memenuhi hak-hak istri, seperti hak untuk mendapatkan nafkah lahir dan batin, hak untuk mendapatkan tempat tinggal, dan hak untuk mendapatkan pendidikan,” pungkasnya.

Konten Lainnya

Content TAGS

Konten Populer