sukabumiheadline.com – Umat Kristiani di berbagai negara merayakan Natal 2025, tidak terkecuali pemeluk Kristen di Gaza, Palestina. Di tengah pengungsian dan pelanggaran gencatan senjata oleh Israel dan suasana penuh keprihatinan, mereka tetap merayakan Natal dengan khidmat.
Sebuah gereja di bawah Gereja Katolik Roma bahkan masih menampung ratusan pengungsi. Diberitakan BBC, salah-satu gereja yang menampung hampir 400 orang pengungsi di Gaza, adalah Gereja Keluarga Kudus.
Untuk informasi, Patriarkat Latin Yerusalem, yang berada di bawah Gereja Katolik Roma, adalah pihak yang mengelola gereja tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada hari-hari pertama perang antara Israel dan Hamas, gereja tersebut menjadi tempat perlindungan bagi masyarakat Gaza—utamanya pemeluk Katolik.
Selain Gereja Keluarga Kudus, umat Kristiani juga berlindung di Gereja Santo Porphyrius. Gereja yang disebut terakhir berafiliasi dengan komunitas Ortodoks Yunani.
Di Gaza, ada sekitar 1.100 orang yang tergabung dalam komunitas Ortodoks Yunani dan komunitas Katolik. Jumlah ini kurang dari 0,05% dari total populasi di Gaza. Mayoritas umat Kristiani ini adalah anggota Ortodoks Yunani.
Sebagian dari 135 umat Katolik di Gaza, pada pekan ini mengikuti Misa Natal di Gereja Keluarga Kudus, pada Ahad (21/12/2025). Misa dipimpin langsung oleh Kardinal Pierbattista Pizzaballa. Ini adalah kunjungan pertama Pizzabala sejak gencatan senjata sejak Oktober 2025 lalu.
Usai memimpin ibadah Misa, Pizzabala berujar kepada wartawan bahwa Gaza dalam “situasi yang sangat buruk”. Dia menyesalkan situasi seperti itu, namun menurutnya, pada saat yang sama ada keinginan warganya untuk “pulih”.
“Bagi umat Kristiani, keinginan untuk pulih itu digambarkan melalui perayaan Natal,” ujarnya.
Secara khusus, Pizzabala prihatin dengan nasib anak-anak di Gaza yang terbengkalai pendidikannya.
“Jumlah anak-anak di jalanan membuat saya terkejut,” lanjutnya, seraya menambahkan bahwa “mereka seharusnya bersekolah.”
Inilah yang kemudian menguatkan tekadnya, yaitu memprioritaskan agar kegiatan pendidikan di gereja Keluarga Kudus dapat dimulai lagi. Kehadiran anak-anak yang “penuh sukacita dan daya hidup”, disebutnya “akan menyelamatkan komunitas kita”.
“Saya percaya itu,” katanya.
Pizzabala juga menyampaikan amatannya atas situasi terkini di Gaza, Pizzabala tak memungkiri masih banyak persoalan yang belum tertangani.
Dia mempertanyakan kapan rekonstruksi dapat dimulai di wilayah itu. Situasi konflik juga masih dia rasakan, walaupun perang telah berakhir di Gaza.
Selain itu, masalah ada di mana-mana, katanya, merujuk situasi di Tepi Barat dan ketegangan antara desa-desa Palestina dan pemukiman Israel.
‘Umat Kristiani lelah karena perang’. Dalam situasi seperti itulah, menurutnya, agaknya sulit untuk berbicara tentang harapan.
“Tetapi, adalah tugas kita untuk melakukannya selama Natal ini.”
Kapan umat Kristiani tiba di Gaza?
Menurut seorang umat Kristiani di Gaza, sebagian dari umat Kristiani tiba di Gaza setelah peristiwa “Nakba” pada 1948. Ia kemudian merujuk situasi “kelelahan mendalam” umat Kristiani “akibat karena perang.”
Nakba adalah terminologi dalam bahasa Arab yang berarti bencana. Peristiwa “Nakba” memaksa setidaknya 700 ribu warga Palestina mengungsi dari rumah mereka selama perang Arab-Israel.
Selain Nakba, ada pula yang menelusuri akarnya komunitas Kristiani di Gaza hingga ribuan tahun lalu.
“Ada komunitas umat Kristiani yang telah tinggal di tanah ini sejak tahun 402, setelah mereka berpindah agama dari paganisme ke Kristen,” ujarnya.
Elias Jarada, anggota Dewan Gereja Ortodoks Arab, berkata bahwa keberadaan umat Kristiani di Gaza dapat ditelusuri sebelum 400 Masehi.
Sebagian besar dari mereka, kata dia, adalah keturunan dari komunitas mula-mula tersebut.









