sukabumiheadline.com – Wanita Sukabumi, Jawa Barat, secara spesifik selalu menarik diperbincangkan warga Jakarta. Selain secara geografis relatif dekat, juga banyak kasus viral di media sosial yang menarik perhatian warga Jakarta.
Namun jauh sebelum era internet, wanita Sukabumi sudah tercatat sejak ratusan tahun silam sebagai bunga-bunga yang selalu menyita perhatian. Dari mulai era Nyi Pudak Arum, pra-Kemerdekaan yang penuh kegelapan. Baca selengkapnya: Mengenang era kegelapan wanita Sukabumi, jadi objek seksisme di era kolonial Belanda
Kemudian era Nyai Djuaesih, hingga segudang artis pada era digital saat ini. Baca selengkapnya: Kisah herois romantis Nyi Pudak Arum dan Wangsa Suta di balik berdirinya Kota Sukabumi masa silam
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT

Berita Terkait: Mengenal Nyai Djuaesih, Pendakwah dan Wanita Pejuang dari Sukabumi
Karenanya, pandangan atau stereotip warga Jakarta mengenai wanita Sukabumi cenderung beragam, atau tidak selalu seragam. Namun, beberapa persepsi umum yang mungkin muncul di kalangan warga Jakarta antara lain:
1. Paras menarik/cantik: Seperti halnya pandangan umum terhadap wanita Sunda pada umumnya, wanita Sukabumi juga sering dianggap memiliki paras yang menarik atau cantik. Baca selengkapnya: Kisah pria Eropa jatuh cinta kepada penari asal Sukabumi saat Menara Eiffel di Paris diresmikan

2. Logat bicara yang khas: Adanya logat bicara bahasa Sunda yang khas (lembut atau medok, tergantung persepsi) sering menjadi salah satu hal yang diperhatikan.
3. Religius/kental budaya Sunda: Sukabumi sering dijuluki “Kota Santri”, sehingga ada anggapan bahwa wanitanya cenderung religius atau memegang teguh adat dan budaya Sunda. Baca selengkapnya: Sukabumi nomor 10, ini daftar daerah yang di juluki Kota Santri di Pulau Jawa
Berita Terkait: Kesan Wanita Sukabumi diskusi kebudayaan dengan istri Presiden Perancis, Brigitte Macron
4. Perantau/pekerja di Jakarta: Banyak warga Jakarta mungkin memiliki pengalaman bertemu wanita Sukabumi yang merantau ke ibu kota untuk bekerja, baik sebagai pekerja kantoran, pekerja di sektor informal, atau asisten rumah tangga. Baca selengkapnya: Mutia Ayu hadiri nikahan Rizky Febian dan Mahalini, penyanyi asal Sukabumi ini ramai kena sindir
Beberapa cerita tentang perjuangan mereka bekerja di Jakarta juga sempat viral di media sosial. Baca selengkapnya: Hijaber cantik asal Sukabumi ini rela PP ke Jakarta demi Rupiah, pulang jam 23.00
Adapun persepsi terkait isu sosial warga Jakarta mungkin mengaitkan wanita Sukabumi dengan isu-isu yang pernah mencuat di media, seperti kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atau pernikahan paksa, yang terkadang menimpa gadis-gadis yang dijanjikan pekerjaan di kota besar atau luar negeri. Baca selengkapnya: Pengakuan Wanita Sukabumi ke KDM, ternyata harus bayar ganti rugi Rp50 juta
Hal ini bisa membentuk pandangan tertentu, meskipun itu adalah kasus spesifik, bukan representasi umum. Sehingga, pandangan-pandangan tersebut bersifat umum dan stereotip, dan tidak mencerminkan karakter atau kepribadian setiap individu wanita asal Sukabumi.
Seperti halnya perempuan dari daerah lain, karakter seseorang sangat bergantung pada latar belakang keluarga, pendidikan, dan lingkungan tempat tinggalnya. Baca selengkapnya: Dekat dengan Ruben Onsu, tas seharga Honda HR-V milik artis asal Sukabumi ini disorot
Berita Terkait:
- Syahrini jadi artis terkaya ke-4 di Indonesia, intip sumber duit dan masa kecil wanita Sukabumi ini
- Masa kecil, kontroversi hingga gelar akademik Syahrini: Dari Sukabumi ke Festival Film Cannes 2025
Generalisasi yang berlebihan

Sementara itu, tiga mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI) dalam penelitiannya yang diunggah di Go Academica, Rina Endah Sulistyowati, Ike Rachmawati, dan Dine Meigawati, menilai stereotip warga Jakarta terhadap Wanita Sukabumi lebih merupakan generalisasi yang berlebihan.
Dalam tulisan berjudul Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial di Kota Sukabumi: Studi Kasus Pemberdayaan Wanita Rawan Sosial Ekonomi, Rina, Ike, dan Dine menyebut pandangan negatif tertentu tentang wanita Sukabumi di kalangan warga Jakarta tidak didasarkan pada data faktual atau studi sosiologis yang luas.
“Melainkan lebih cenderung muncul dari pengalaman individu, rumor, atau representasi media yang terisolasi,” kata mereka, dikutip sukabumiheadline.com, Selasa (25/11/2025).
“Stereotip sering kali terbentuk dari generalisasi yang berlebihan dan tidak mencerminkan realitas seluruh populasi,” tegas ketiganya.
Berita Terkait: Hidup tak selalu indah, tapi Wanita Sukabumi ini tetap happy meski batal nikah H-1
Beberapa faktor yang mungkin secara tidak langsung memengaruhi persepsi tersebut, menurut Rina, Ike, dan Dine, meliputi:
1. Kasus individual di media: Laporan media tentang kasus-kasus tertentu yang melibatkan perempuan asal Sukabumi (misalnya, sebagai korban perdagangan orang atau kasus kriminal lainnya) dapat menciptakan persepsi negatif yang tidak adil jika digeneralisasi ke seluruh populasi.
2. Urbanisasi dan migrasi: Seperti halnya migran dari daerah lain, pendatang dari Sukabumi ke Jakarta mungkin menghadapi tantangan ekonomi. Segelintir individu yang terlibat dalam pekerjaan informal atau rentan secara sosial ekonomi (Wanita Rawan Sosial Ekonomi/WRSE) kadang-kadang dapat memicu pandangan negatif dari masyarakat sekitarnya, meskipun ini tidak mewakili mayoritas.
Berita Terkait: Hati-hati info loker di medsos, Reni gadis asal Sukabumi dipaksa menikah lalu disekap di China
3. Perbedaan nudaya dan asumsi: Terkadang, perbedaan dialek, adat istiadat, atau cara berinteraksi dapat menimbulkan prasangka atau kesalahpahaman antarkelompok masyarakat yang berbeda latar belakang.
4. Rumor dan cerita dari mulut ke mulut: Stereotip sering kali menyebar melalui cerita yang belum diverifikasi, bukan berdasarkan interaksi nyata dengan banyak individu dari Sukabumi.
Penting untuk diingat, jelas mereka, bahwa stereotip adalah penyederhanaan yang tidak akurat dan dapat menyebabkan diskriminasi.
“Setiap individu, dari Sukabumi atau daerah lainnya, harus dinilai berdasarkan karakter dan perilakunya sendiri, bukan berdasarkan asumsi kolektif,” tegasnya.









