sukabumiheadline.com – Meskipun memiliki tanah yang subur, wilayah Jawa Barat terbilang langganan diterjang bencana alam. Tentunya sangat beralasan ketika Gubernur Dedi Mulyadi menyebut daerah yang dipimpinnya sebagai market atau pasarnya bencana alam di Tanah Air.
Dedi Mulyadi berkesimpulan bahwa alih fungsi lahan menjadi salah satu penyebab bencana, seperti banjir dan longsor. Hal itu diungkapkannya kepada media ketika diminta pendapatnya soal bencana banjir bandang yang melanda wilayah Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, beberapa waktu lalu. Baca selengkapnya: 4 masalah lingkungan di Sukabumi yang tidak pernah selesai
Di sisi lain, posisi geografis yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia juga menjadikan Sukabumi rawan dilanda gempa hingga tsunami. Baca selengkapnya: Sukabumi, Pangandaran, Tasikmalaya, Garut dan Cianjur berpotensi terdampak megathrust
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lantas, bagaimana dengan bencana alam tanah bergerak yang juga terjadi di sejumlah kecamatan di Kabupaten Sukabumi?
Bencana tanah bergerak di Sukabumi
Bencana tanah bergerak di Sukabumi antara lain pernah melanda Kecamatan Nyalindung, Cisolok, Palabuhanratu, Purabaya, dan Bantargadung hingga Cibadak, dan sejumlah kecamatan lainnya.
Pada Senin (9/12/2024) lalu, bencana serupa juga terjadi di Kampung Cihonje, Desa Sukamaju, Kecamatan Cikembar. Mengutip data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sukabumi, ekitar 30 unit rumah dan satu masjid yang rusak akibat bencana pergerakan tanah di Cikembar, dan sebanyak 42 kepala keluarga atau sekitar 120 jiwa warga mengungsi meninggalkan rumahnya.
Menurut data Badan Geologi pada Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), terjadi gerakan tanah di Kampung Cimapag, Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok. Gerakan tanah terjadi pada Senin (31/12/2018) setelah hujan yang mengguyur selama beberapa jam.
Akibat Gerakan tanah tersebut 34 rumah tertimbun material longsor, dari 107 orang warga saat ini telah diketahui 2 orang meninggal dan 33 orang selamat, sisanya masih belum diketahui.
Mengingat saat ini merupakan musim penghujan, tentunya tidak mustahil bencana serupa kembali terjadi.
Dikutip sukabumiheadline.com, Jumat (5/12/2025), Badan Geologi menyebut jenis gerakan tanah di Cisolok diperkirakan berupa longsoran bahan rombakan.
Menurut penelitian badan tersebut, kondisi daerah bencana diketahui yaitu:
- Morfologi daerah bencana perbukitan dengan kemiringan lereng terjal – sangat terjal.
- Lokasi bencana berada pada ketinggian lebih dari 650 – 800 meter di atas permukaan laut. Disebelahnya terdapat alur sungai kecil.
Sementara itu, berdasarkan catatan Peta Geologi Lembar Sukabumi, Jawa (Sudjatmiko, 1992), daerah bencana disusun oleh Satuan Qvb; Breksi Tapos; Breksi Gunungapi dan Aglomerate.
Sedangkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menyimpulkan, Gerakan Tanah di Cisolok pada Desember 2018 lalu, karena daerah bencana sebagian besar masuk ke dalam Zona Kerentanan Gerakan Tanah Menengah – Tinggi.
Artinya, daerah tersebut dapat terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng mengalami gangguan dan gerakan tanah lama dapat aktif kembali.
Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah diperkirakan:
- Hujan dengan intensitas tinggi yang turun sebelum kejadian gerakan tanah,
- Kemiringan lereng yang terjal, lebih dari 30 derajat,
- Material penyusun lereng yang bersifat poros dan mudah menyerap air.
Baca Juga: 4 tren isu utama 2026 warga Sukabumi harus aware: Ekbis, teknologi, sospol, ekonomi hijau
Peneliti ITS Tanggapi Tanah Bergerak dan Kebencanaan di Sukabumi

Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Dr Ir Amien Widodo MSi menjelaskan bahwa fenomena tanah bergerak di Sukabumi ini disebabkan oleh berbagai faktor.
Salah satunya adalah perubahan penggunaan lahan di kawasan pegunungan. Perubahan tersebut tidak terjadi secara mendadak, melainkan melalui proses panjang yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. Baca selengkapnya: 4 masalah lingkungan di Sukabumi yang tidak pernah selesai
Salah satu bentuk perubahan yang paling mencolok terjadi adalah pada lahan di sisi kiri dan kanan jalan yang memotong lereng gunung. Awalnya, pemotongan lereng dilakukan untuk pembangunan jalan, yang secara langsung mengganggu stabilitas lereng akibat peningkatan sudut kemiringan.
Selanjutnya, permukiman mulai bermunculan di sekitar jalan, baik di sisi kiri, kanan, atas, maupun bawah jalan. Penduduk sering kali membersihkan lahan dengan menebang pohon, sehingga daya kohesi tanah menurun.
Kondisi ini diperburuk oleh pemotongan lereng untuk pembangunan rumah, yang semakin meningkatkan sudut kemiringan lereng dan membuat stabilitasnya menjadi semakin kritis.
Amien juga menjelaskan bahwa semakin banyak dan beratnya bangunan di sekitar lereng berkontribusi pada bertambahnya massa tanah yang memperburuk kondisi. Akan muncul retakan yang semakin lebar, banyak, dan tanah yang semakin turun.
“Inilah yang biasa orang awam sebut sebagai tanah ambles,” kata Amien dikutip sukabumiheadline.com dari laman resmi ITS.
Pakar geologi ITS ini juga menyoroti fenomena cuaca ekstrem akibat pemanasan global yang akhirnya memperparah kondisi. Pemanasan global meningkatkan intensitas hujan, angin, hingga gelombang laut. Dampak ini terlihat pada fenomena La Niña yang menyebabkan curah hujan meningkat hingga 20 persen lebih tinggi dari biasanya.
“Curah hujan yang tinggi seperti ini menjadi pemicu utama terjadinya tanah bergerak,” papar Amien.
Lebih lanjut, terang Amien, perubahan paling signifikan terlihat dari topografi Sukabumi yang kini mengalami perubahan akibat aktivitas manusia. Kawasan yang sebelumnya menjadi area resapan air kini berubah fungsi.
Akibatnya, air hujan tidak dapat meresap secara optimal ke dalam tanah, melainkan mengalir sebagai air permukaan yang memicu erosi, banjir, dan tanah longsor.
“Proses ini mempercepat ketidakstabilan tanah, terutama di wilayah dengan banyak pemotongan bukit,” jelas dosen Departemen Teknik Geofisika ITS tersebut.
Untuk mengatasi masalah ini, Amien menyarankan pengembalian fungsi hutan di puncak bukit. Menurutnya, kawasan tersebut seharusnya dikonservasi dan tidak digunakan untuk aktivitas manusia.
Langkah ini akan membantu menjaga keseimbangan ekologis dan mengurangi risiko bencana di masa depan. “Kita perlu menghitung kembali kapasitas resapan dan aliran air di kawasan tersebut,” ujarnya mengingatkan.
Terkait mitigasi bencana, Amien menilai bahwa upaya pemerintah sebenarnya sudah cukup baik, terutama dalam penyusunan peta kawasan rawan bencana.
Namun, ia menekankan perlunya tindakan lebih lanjut untuk mengedukasi masyarakat dan memberikan solusi konkret di daerah rawan, seperti segera mengungsikan warga di sekitar daerah retakan tanah hingga langkah perbaikan dilakukan.
Tak hanya itu, pakar mitigasi kebencanaan ini juga menyoroti perlunya regulasi tata ruang yang lebih tegas. Amien menyarankan adanya kolaborasi lintas kementerian untuk menyusun kebijakan yang dapat mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut.
“Ini saatnya berbagai pihak duduk bersama untuk mengatasi masalah ini secara terintegrasi,” tegasnya.
Amien juga mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada terhadap tanda-tanda awal pergerakan tanah. Retakan tanah, rumah yang mulai miring atau retak, serta tiang listrik yang bergeser adalah beberapa indikator yang perlu diperhatikan.
“Jika tanda-tanda ini terlihat, warga diharapkan segera mengungsi ke lokasi aman,” tuturnya.
Amin juga mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada terhadap tanda-tanda awal pergerakan tanah. Retakan tanah, rumah yang mulai miring atau retak, serta tiang listrik yang bergeser adalah beberapa indikator yang perlu diperhatikan.
“Jika melihat tanda-tanda tersebut, segera laporkan kepada pihak yang berwenang seperti BPBD setempat agar segera dilakukan kajian dan mengungsi jika diperlukan,” tandas Amien menyarankan.
Meski Sukabumi menjadi sorotan utama wilayah yang terdampak, Amien mengingatkan bahwa bencana serupa juga dapat terjadi di wilayah lain di Indonesia.
Dengan kondisi iklim tropis, sebagian besar wilayah di Indonesia rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan banjir bandang.
“Melalui regulasi yang tepat dan edukasi masyarakat yang baik, dampak bencana seperti ini dapat diminimalkan,” pungkasnya.









