sukabumiheadline.com – Matua Harahap, seorang penulis sekaligus dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia (UI), mengungkap fakta bahwa Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada masa lampau merupakan penanda navigasi penting.
Sejarah Cicurug, jelas Matua Harahap, ibarat sejarah Cigombong di Bogor. Letak geografi Cigombong yang jauh dari Kota Bogor sering dipersepsikan masuk wilayah Sukabumi. Sebaliknya, letak geografi Cicurug yang jauh dari Kota Sukabumi adakalanya dipersepsikan masuk wilayah Bogor.
“Itulah nasib kota-kota di perbatasan, perilaku mengikuti persepsi,” sindir Matua Harahap, Jumat (13/6/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Matua memberi contoh kasus lain, ia menceritakan seorang temannya di Bogor, di mana temannya itu seumur-umur belum pernah mengunjungi Bandung (ibukota Provinsi Jawa Barat). Namun, di sisi lain, ia setiap hari pulang pergi ke Jakarta.
“Ada juga orang Tapanuli yang seumur-umur tidak pernah ke Medan, tetapi setiap tahun pulang kampung ke Tapanuli dari Jakarta,” kata dia.
Lantas, adakah warga Cicurug yang tidak pernah ke Kota Sukabimi, tetapi tiap hari commuter line (kereta rel listrik atau KRL) ke Bogor?
“Jika itu ada, maka warga tersebut lebih Bogor dari pada Sukabumi. Dalam persepsi yang lebih luas, warga Bogor merasa lebih merasa Jabodetabek ketimbang warga Jawa Barat. Sekali lagi, itulah nasib warga yang tinggal di perbatasan, tanpa terkecuali warga Cicurug,” papar Matua Harahap.
Berita Terkait: Dulu Jadi Project Sample Belanda, Sejarah Singkat Kecamatan Cicurug Sukabumi
Sejarah asal-usul Cicurug

Menurut Matua Harahap, Cicurug memiliki sejarahnya sendiri. Sejarahnya yang sangat jauh di masa lampau. Untuk menambah pengetahuan, dan membumikan Cicurug, ia mengajak untuk terlebih dahulu menelusuri sumber-sumber tempo dulu.
“Sumber utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber primer seperti surat kabar sezaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer,” jelasnya.
Satu yang khas tentang wilayah Cicurug, menurut Matua, adalah sebagai perbatasan geografis. Di wilayah ini air mengalir ke dua arah, yakni ke utara semua anak sungai menyatu ke sungai Cisadane dan bermuara di Tangerang.
Kemudian, juga mengalir ke arah selatan, di mana semua anak sungai menyatu ke sungai Cimandiri, lalu bermuara di Pelabuhanratu.
“Dengan demikian, Cicurug menjadi penanda navigasi yang penting sejak masa lampau,” yakin Matua Harahap.
“Ketika itu, penduduk dari pantai selatan mendaki ke Pagadungan (Cicurug), kemudian menuruni ke arah pantai utara, terutama ke Pelabuhan Sunda Kalapa. Wilayah ini sangat mudah dilalui sebagai interchange antara pantai selatan dan pantai utara,” papar dia.
Berita Terkait: 5 Fakta Kecamatan Cicurug, Pagadungan Distrik Pertama di Sukabumi yang Didirikan VOC

Kemudian, ketika awal ekspedisi Erope-Belanda yang dipimpin Sergeant Scipio pada 1867, tidak ada indikasi wilayah ini hingga Muara Ratu (kini Pelabuhanratu) telah dihuni penduduk.
“Tidak deketahui sejak kapan muncul nama tempat Cicurug, namun yang jelas ketika Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck (1709-1713) melakukan ekspedisi ke hulu sungai Cisadane dan pantai selatan dibangun satu rumah persinggahan (pesanggrahan) di daerah perbatasan geografis ini. Di area rumah persinggahan inilah kemudian (kelak) muncul nama Kampong Cicurug,” ungkap Matua Harahap.

Sebelum ekspedisi ke pantai selatan ini dilakukan, Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck sebelumnya telah melakukan ekspedisi ke Cianjur melalui hulu sungai Ciiliwung.
“Dalam ekspedisi ini kemudian dibangun pos militer dan pesanggrahan di Cisarua dan Cipanas (saat itu jalan mengitari pegunungan Megamendung di arah timur, di mana Puncak Pas belum menjadi rute perjalanan lalu lintas kendaraan seperti saat ini,” bebernya.
“Namun, saat itu sudah mulai dirintis perlintasan militer antara Cisarua dan Cipanas. Sebelum ada pos militer ini sudah terlebih dahulu eksis beberapa benteng antara lain, Kampung Baru (Bogor), Tanjung Pura (Karawang), Ciampea dan Gunung Guruh (Sukabumi),” ungkap pria yang hobi berkebun itu.
Pesanggrahan dan pos militer di Kampung Cicurug ini pun kembali dikunjungi pejabat tinggi seperti Gubenur Jenderal Jacob Mossel pada 18 Juli 1757, menginap di pesanggrahan ini dalam rangka ekspedisi ke laut selatan.
“Pada saat Mossel itu, Mossel pernah menanam pohon beringin di pesanggrahan ini,” lanjutnya.
Adapun, yang pertama kali mencatat nama Kampung Cicurug, adalah Radermacher pada 1777. Saat itu, Radermacher melakukan ekspedisi dari Batavia menyusuri sungai Ciliwung hingga ke Cianjur, dan rute yang ditempuh telah melalui Puncak Megamendung, atau kini Puncak Pas.
“Setelah dari Cianjur, Radermacher kembali ke Bogor melalui Kampung Sukaradlja, Cipelang, dan Cicurug,” kata Matua Harahap lebih jauh.
“Radermacher mencatat melakukan persinggahan dan menginap di pesanggrahan Cisarua, Cipanas dan Cianjur,” imbuhnya.
Radermacher menyebut, jelas Matua Harahap, pesanggrahan di Cianjur dibangun ketika Abraham van Riebeeck melakukan ekspedisi ke daerah tersebut.
“Saat Radermacher di Sukaraja, ia menginap di pesanggrahan yang dibangun ketika Gubernuer Jenderan Jeremias van Riemsdiejk (1775-1777) melakukan eskpedisi,” jelas Matua Harahap.
“Di Kampung Sukaraja ini terdapat pos militer yang didiami oleh penduduk sekira 20 rumah. Setelah bermalam di Sukaraja, Radermacher bermalam di Cipelang yang juga berpenduduk 20 rumah,” papar dosen penyuka olah raga sepak bola itu.
“Kemudian keesokan harinya ia melanjutkan ke Bogor,” tambah Matua.
Dalam catatan Radermacher, ia mengaku ingin bermalam di pesanggrahan Cicurug, namun karena kondisi bangunan tidak memadai lagi, sehingga diputuskan untuk langsung ke Bogor saat menjelang malam,” jelas pria yang menetap di Depok itu.
Dijelaskan Matua Harahap, meskipun Kampung Cicurug dekat dengan Bogor, namun menurut Radermacher termasuk wilayah (bupati) Cianjur. Dalam catatan Radermacher diketahui bahwa Cicurug berada di Distrik Pagadungan yang memiliki wilayah yang luas.
“Wilayah Bupati Cianjur, menurut catatan Radermacher, terdiri dari lanskap sisi timur Gunung Megamendung, Cianjur sendiri, dan ke arah barat meliputi distrik-distrik Gekbrong, Gunung Parang (Cikole), Cimahi, Pagadungan, Jampang, Cikalong dan Cibelegong,” paparnya.
Baca Juga: Foto-foto sejarah pembangunan jalur Kereta Api Bogor-Sukabumi-Cianjur 1873
Dari catatan Radermacher, diketahui dari Cianjur ke pantai selatan harus ditempuh dengan tiga hari perjalanan yakni satu hari ke Ciipajong, lalu satu hari ke Citarik (Pagadungan) dan satu hari ke Cimaja di pesisir selatan,” lanjut Matua.
Adapun untuk pedati-pedati yang mengangkut kopi dari gudang Gunung Parang ke pelabuhan di muara sungai Cimandiri, dibutuhkan delapan hari.
“Dalam catatan Radermacher, disebutkan bahwa terdapat jurang dalam yang terletak di antara Cimahi dan Pagadungan (Cicurug). Besar dugaan jurang ini berada di Cibadak yang sekarang dikenal sebagai Sungai Cicatih, yang sekaligus menjadi batas wilayah Cimahi dan Pagadungan,” pungkas Matua Harahap.