23.5 C
Sukabumi
Rabu, Mei 1, 2024

Tebing Palagan Bojongkokosan Sukabumi longsor timpa jalan

sukabumiheadline.com - Musibah longsor terjadi di kawasan...

Ternyata Ini Penyebab Ledakan Tabung CNG di Cibadak Sukabumi, Kepsek SD Korban Tewas

sukabumiheadline.com l Peristiwa pilu meledaknya tabung gas...

Kisah Letjen TNI Djadja Suparman, Pedagang es lilin asal Sukabumi jadi Pangkostrad

LIPSUSKisah Letjen TNI Djadja Suparman, Pedagang es lilin asal Sukabumi jadi Pangkostrad

sukabumiheadline.com – Seorang Perwira Tinggi (Pati) TNI AD Jenderal Bintang Tiga yang dihormati dan disegani menceritakan bagaimana doa seorang ibu mampu menembus langit ketujuh hingga kepadaNya.

Doa tulus seorang ibu untuk anaknya agar menjadi jenderal pun terwujud. Siapa sangka sekelumit doa yang selalu dipanjatkan mengantarkan sang anak menduduki jabatan tertinggi di kesatuannya, Pasukan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).

Sang anak itu adalah Letjen TNI Djadja Suparman, eks Panglima Kostrad (Pangkostrad) yang merupakan putra dari pasangan Momo bin H. Usman dan Hj Aminah.

Djadja Suparman mengenang perjalanan hidup dan kesuksesan karier militernya berkat doa kedua orangtuanya, khususnya ibunda tercinta.

Anak polisi jadi TNI 

Djadja Suparman lahir di Sukabumi, Jawa Barat pada 11 Desember 1949. Diketahui, saat kecil ia diberi nama Tatang oleh ayahnya. Namun orang tuanya saat menimang di pangkuan selalu menyebut “anak raja” dengan harapan putranya itu menjadi orang besar.

Panggilan itulah yang lambat laun membuatnya dipanggil Djadja.

Selain itu, impiannya menjadi pembela wong cilik dan kesukaannya terhadap tokoh Superman yang digambarkan sebagai sosok pembela rakyat, penegak keadilan yang berjuang untuk bangsa dan negaranya, membuat sang ayah berpikir mengganti nama Tatang menjadi Djadja.

Hing pada suatu hari, usai Djadja menamatkan pendidikannya di bangku SMA, namanya kemudian diubah menjadi Djadja Suparman.

Berita Terkait: Akhir Karier Djadja Suparman, Warga Sukabumi Pertama yang Jadi Pangkostrad

Jagoan sejak kecil

Dibesarkan dari keluarga sederhana, di mana ayahnya bekerja sebagai polisi dengan pangkat Ajun Inspektur Polisi atau setingkat Kopral, Djadja Suparman mendapatkan pendidikan yang cukup keras dan disiplin tinggi.

Hampir setiap pekan, Djadja menyusuri rel kereta api sejauh 8,6 kilometer bersama ayahnya untuk berkebun. Kebiasaan inilah yang kemudian membentuk karakter dan menjadikan Djadja sosok pemimpin yang bertanggung jawab.

Karenanya, sejak usia muda Djadja sudah bisa memimpin di kelompoknya. Bahkan, untuk urusan menjaga keluarga, Djadja berdiri paling depan. Meski masih belia, ia merasa paling bertanggung jawab terhadap keempat adiknya.

Ia bahkan tak sungkan untuk mencuci baju, setrika, hingga mengajari adik-adiknya, selain membantu ibunya membersihkan rumah dan pekarangan.

Kendati bukan tukang berkelahi, namun Djadja Suparman tidak gentar untuk adu jotos.

Diceritakan dalam biografinya berjudul Jejak Kudeta (1997-2005): Catatan Harian Letnan Jenderal (Purn) Djadja Suparman, ia bahkan pernah melawan lima orang.

Akibatnya, kepalanya harus dijahit dan hingga kini bekas jahitan itu masih kentara.

Berita Terkait: Intip Kemesraan Pengamat Militer Connie Bakrie dengan Pria Sukabumi

Mandiri sejak remaja, jadi penjual es lilin 

Pada era 1960 hingga 1968, kondisi ekonomi Indonesia benar-benar dalam keadaan sulit. Hal itu membuat ayahnya jarang pulang. Praktis, ibunya pun sekaligus menjadi kepala rumah tangga yang merawat dan membesarkan anak-anaknya.

Di masa inilah, Djadja Suparman tampil sebagai anak lelaki yang mampu meringankan beban orang tuanya.

Tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya, Djadja Suparman berjualan es lilin keliling. Namun, suatu saat Djadja Suparman didamprat ayahnya karena ada yang menyampaikan kekaguman bahwa sebagai anak, ia sudah bisa membantu orangtuanya dengan berdagang es lilin.

Ketika hal itu ditanyakan langsung, Djadja Suparman tak bisa mengelak. Sontak saja ayahnya merasa gusar setelah tahu yang dilakukan anak kesayangannya itu.

Namun, ayahnya berubah luluh manakala mengetahui bahwa Djadja melakukan hal itu untuk membeli beras. Saat ditanya, Djadja Suparman memberikan jawaban yang menyentuh hati.

“Mencoba belajar mencari uang halal karena banyak anak-anak sebayanya, sudah bisa menghasilkan uang dengan keringat sendiri dan dapat meringankan beban orang tua. Soal beras, daripada bau apek lantaran bagian bawah tidak tersentuh dan jumlahnya banyak, ya dijual dengan harga murah untuk membantu tetangga yang kesulitan membeli beras karena di samping sulit didapat juga mahal,” kenang Djadja Suparman dikutip sukabumiheadline.com dari buku biografinya, Ahad (15/1/2024).

Mendengar jawaban anaknya itu, ayahnya termenung dan luluh. Ada kekaguman dalam hatinya, bagaimana anaknya yang masih berusia belia rela banting tulang demi keluarganya.

Berita Terkait: Deretan Jenderal TNI asal Sukabumi, Jabatannya Tak Main-main

Lulus tes Akmil

Selepas SMA, Djadja Suparman bersama kedua sahabatnya Hasan dan Enjang Subadri, mendaftarkan diri sebagai calon Taruna AKABRI di Kodim Sukabumi, tanpa sepengetahuan sang ayah.

Dengan bermodalkan semangat dan doa ibundanya, tes demi tes dari tingkat daerah sampai pusat dijalani dengan baik. Djadja Suparman dan Enja Subadri pun lulus dan diterima menjadi taruna AKABRI Darat sekarang bernama Akademi Militer (Akmil).

Didikan dan tempaan ayahnya yang selalu mengajaknya berkebun dengan berjalan kaki menyusuri rel kereta api di Sukabumi ke Desa Cilangla setiap pekan pulang pergi tak sia-sia.

Terbukti, Djadja Suparman tidak kesulitan mengikuti tes karena memiliki fisik yang prima, kesehatan yang baik, dan daya tahan yang tinggi. Usaha dan kerja keras Djadja Suparman dan iringan doa Sang Ibu yang tiada henti-hentinya.

Setiap saat sang bunda selalu berdoa agar anaknya menjadi seorang jenderal.

“Ya Allah yang Maha Kuasa, jadikanlah satu anak kami menjadi jenderal,” ucapnya. Keinginan dan harapan Hj. Aminah agar anaknya menjadi seorang jenderal sangat wajar.

Maklum, hampir setiap hari Hj. Aminah selalu melihat kegagahan para taruna yang sedang berlatih dan mengikuti pendidikan.

Doa tulus ibundanya akhirnya dikabulkan Sang Pencipta dan mengantarkan Djadja Suparman diterima masuk kawah Candradimuka prajurit Angkatan Darat.

Meski lulus, Djadja Suparman cemas sebab dia harus meminta tandatangan ayahnya sebagai syarat mengikuti pendidikan.

Namun di luar dugaannya, tanpa banyak tanya, ayahnya langsung membubuhkan tanda tangan. Sebagai orang tua, ayahnya sangat bangga anaknya diterima menjadi salah satu calon pemimpin di ketentaraan.

Dengan mata berkaca-kaca, ayahnya memeluk Djadja Suparman dan berbisik, memintanya agar menjadi tentara profesional dan menjadi jenderal.

Sejak 1969, Djadja Suparman pun mulai mengikuti pendidikan sebagai Taruna Akabri bagian Darat di Magelang. Selama empat tahun mengikuti pendidikan, ia berhasil menorehkan prestasi gemilang karena selalu bisa tampil dan terpilih sebagai pemimpin.

Berita Terkait: Pengamat Militer dan Intelijen Connie Bakrie Menikah dengan Pria Sukabumi dan Punya Tiga Anak

Karier cemerlang Djadja Suparman 

Lulus dari pendidikan Akabri Darat pada 1972, Djadja Suparman melanjutkan ke pendidikan Kursus Dasar Kecabangan Infanteri di Bandung, Jawa Barat.

Selanjutnya, Djadja Suparman ditugaskan menjadi Danton I Kompi A Yonif 521 di Kediri, Jawa Timur.

Djadja Suparman juga terpilih menjadi guru militer dan pelatih pada Sekolah Dasar Kecabangan Infanteri di Pusat Infanteri Bandung sejak 1974 hingga 1981.

Pada 1978, Djadja Suparman mendapat kehormatan untuk mengikuti operasi di Timor Timur (Timtim) sekarang Timor Leste.

Selanjutnya pada 1980, Djadja Suparman mengikuti pendidikan kursus lanjutan Perwira Infanteri selama tujuh bulan. Djadja Suparman terpilih sebagai lulusan terbaik Suslapa Angkatan ke-23.

Usai lulus Suslapa, karier militernya terus meningkat. Djadja Suparman diangkat menjadi Kasiops Batalyon Infanteri Lintas Udara 330 Brigade Linud 17 Kostrad di Dayeuh Kolot, Bandung.

Karier Djadja Suparman pun kian cemerlang, hingga akhirnya pecah bintang saat menjadi Kasdam II/Sriwijaya.

Bintang emas di pundaknya kembali bertambah ketika dia dipercaya menduduki jabatan sebagai Pangdam V/Brawijaya di Jawa Timur.

Keberhasilannya menjaga stabilitas keamanan di Jawa Timur saat gelombang Reformasi 1998 terjadi membuatnya ditarik ke Jakarta.

Djadja Suparman kemudian diangkat menjadi Pangdam Jaya. Bertugas menjaga keamanan Ibu Kota, ia menghadapi situasi keamanan dan politik yang sangat sulit. Demo besar-besaran kerap mewarnai Jakarta.

Selama 19 bulan menjadi Pangdam Jaya, Djadja Suparman akhirnya diangkat menjadi Pangkostrad. Baca lengkap: Akhir Karier Djadja Suparman, Warga Sukabumi Pertama yang Jadi Pangkostrad

Namun, tiga bulan kemudian ia dimutasi menjadi Dansesko TNI menggantikan Letjen TNI Endiartono Sutarto. Setelah menjabat sebagai Dansesko TNI selama tiga tahun sejak 2000-2003, Djadja Suparman dimutasi menjadi Inspektorat Jenderal (Irjen) Mabes TNI hingga 2006, sebelum kemudian memasuki masa purna tugas.

Berita Terkait: Profil dan Karier Achmad Taufiqoerrochman, Jenderal Bintang Tiga asal Sukabumi

Penjara Sukamiskin

Djadja Suparman harus berurusan dengan hukum karena terjerat kasus tukar guling tanah untuk pembebasan lahan tol di Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, yang urutannya sudah berawal sejak 1998.

Ia didakwa menerima Rp17,6 miliar dari PT Citra Marga Nusaphala Persada (CNMP) pada awal 1998.

Uang itu kemudian digunakan untuk membeli tanah 20 hektare di Pasuruan, merenovasi markas batalion di Tuban, dan mendirikan bangunan Kodam Brawijaya di Jakarta.

Letjen TNI (Purn.) Djaja Suparman. l Istimewa
Letjen TNI (Purn.) Djadja Suparman. l Istimewa

Layaknya seorang militer ia menjalani masa hukuman di Penjara Militer Cimahi. Namun, belakangan ia membuat pernyataan bahwa ada yang menginginkan dirinya dioenjara di Lembaga Pemasyarakatan umum. Baca lengkap: Jenderal TNI asal Sukabumi: Ada Drama yang Menginginkan Saya Dipenjara di Lapas Umum

Konten Lainnya

Content TAGS

Konten Populer