sukabumiheadline.com – Masih ingat dengan Ustadz Muhammad Nurdin Kamil, seorang penghafal AlQuran penyandang tunanetra dari Sukabumi, Jawa Barat? Namanya terpilih menjadi imam shalat Tarawih di Masjid Gus Dur, atau Masjid Al-Munawwaroh, beberapa tahun lalu.
Kemudian pada malam ke-22 Ramadhan 1446/2025, Ustadz Nurdin kembali dipilih menjadi imam shalat Tarawih di masjid yang berada di kompleks kediaman KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Jalan Warung Sila, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan tersebut.
Malam itu, ustadz penyandang tunanetra berusia 45 tahun itu membawakan bacaan AlQuran juz 22.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mondok hingga ke Cirebon
Muhammad Nurdin Kamil sendiri adalah lulusan Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Anwar, Desa Goa Kidul, Kecamatan Kaliwedi, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Ia telah menghafal AlQuran 30 juz sejak usia 26 tahun.
Ia mondok di pesantren yang diasuh KH Anwar Maksum, kakak sepupu KH Said Aqil Siroj tersebut sejak 2001 hingga 2006.
“Saat mondok di Cirebon, saya setoran hafalan langsung ke Kiai Anwar, satu maqra’. Saya menghafal AlQuran menggunakan mushaf Braille yang saya dapat dari Jogja,” ungkap Ustadz Nurdin.
“Waktu itu sulit mencari Al-Qur’an Braille,” imbuhnya dikutio dari NU Online.
Pria asal Kampung Bojong Pari, Desa Jaya Bakti, Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi ini mengungkapkan, sejak kecil ia belajar membaca AlQuran Braille di Ponpes Al-Muawanah, Kabupaten Sukabumi.
Setahun kemudian, ia pindah mondok ke Bandung. Ia mengaku awalnya tertarik belajar kitab kuning, tetapi keinginannya itu kandas karena saat itu belum ada kitab kuning dalam tulisan Braille.
“AlQuran saja, satu juz itu besar sekali. Jadi wajar kalau sulit ditemukan kitab kuning dalam tulisan Braille. Pak Kiai akhirnya menyarankan saya untuk menghafal AlQuran saja,” kata Nurdin.
“Saya tidak langsung ke Cirebon, tetapi mondok di Bandung dulu, di Ponpes Al-Syifa’, khusus belajar Ilmu Qiraat dan Tajwid. Cuma, waktu itu suara saya kurang memadai. Akhirnya, kiai menyuruh saya fokus menghafal saja,” lanjutnya.
Nurdin kemudian mengikuti petunjuk kiainya di Bandung untuk melanjutkan hafalan di Cirebon.
“Saat saya setoran, Kiai Anwar biasa saja, seperti santri lainnya. Apalagi saya sudah memiliki bekal tajwid yang bagus, jadi langsung menghafal,” ujarnya bersyukur.
Menurutnya, jika ada anak tunanetra yang ingin menghafal AlQur’an, ia menyarankan agar mereka belajar Braille terlebih dahulu di Sekolah Luar Biasa (SLB).
“Memang ada metode dengan dituntun sampai bisa membaca, tetapi kiai juga sibuk, dan teman-teman tidak selalu punya waktu luang,” tuturnya.
Di tengah keterbatasannya, Nurdin tetap bersyukur karena Allah memberinya kemampuan menghafal AlQuran. Ia berharap, anak-anak penyandang tunanetra terus berlomba dalam kebaikan dan tidak kalah dengan yang lain.
“Jangan sampai tertinggal dari anak-anak normal. Sekarang sudah ada sekolahnya. Banyak tunanetra yang pintar, bahkan ada yang menjadi dosen. Tapi tantangannya ada pada orang tua. Setelah anak dilepas, banyak yang takut ini dan itu. Harus benar-benar tega demi kemajuan anak,” ungkapnya.
Ustadz Nurdin berpesan kepada para jamaah, khususnya di Masjid Gus Dur, agar rajin bertadarus dan murajaah AlQuran, apalagi bulan Ramadhan tinggal beberapa hari lagi.
“Mari terus mencintai AlQuran dan membacanya sebanyak mungkin,” pesannya.