sukabumiheadline.com – DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sukabumi Raya menegaskan sikap menolak dualisme kepemimpinan DPP GMNI dan mendesak dilaksanakannya Kongres Persatuan.
Sekretaris DPC GMNI Sukabumi Raya, Rifky Zulhadzilillah, menegaskan bahwa persatuan adalah nilai fundamental dalam GMNI yang harus terus dijaga.
Dalam pernyataan sikapnya, GMNI Sukabumi Raya menolak segala bentuk dualisme dalam tubuh organisasi dan menegaskan bahwa mereka tidak akan melegitimasi DPP manapun hingga Kongres Persatuan dilaksanakan. Mereka juga menegaskan tidak akan ikut serta dalam kongres yang hanya diselenggarakan oleh salah satu pihak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“DPC GMNI Sukabumi Raya saat ini tengah dihadapkan pada situasi yang tidak ideal, yaitu fragmentasi yang tengah terjadi dalam tubuh GMNI secara Naisonal,” kata Rifky Zulhadzilillah, dalam pernyataan tertulisnya diterima sukabumiheadline.com, Kamis (31/7/2025).
Ditambahkan Rifky, situasi ini ditandai dengan perpecahan internal, munculnya faksi-faksi kepentingan, hingga inkonsistensi yang dapat merusak semangat kolektif serta menggerus nilai-nilai utama yang menjadi fondasi GMNI sejak pertama dilahirkan, yaitu asas perjuangan Marhaenisme.
“Karenanya, saya sebagai Sekretaris DPC GMNI Sukabumi Raya memandang bahwa fragmentasi ini tidak hanya melemahkan kekuatan struktural organisasi, akan tetapi juga mengancam ruh asas perjuangan Marhaenisme yang seharusnya menjadi pemersatu seluruh
kader GMNI di Indonesia,” tegasnya.
Rifky juga menegaskan, sebagai organisasi kader dan organisasi perjuangan, GMNI tidak boleh kehilangan arah akibat pertarungan ego dan ambisi individu atau kelompok tertentu.
“GMNI bukan ruang transaksi kekuasaan, melainkan ruang pengabdian dan pendidikan ideologis untuk membentuk kader bangsa yang berpihak kepada Rakyat Marhaen,” paparnya Rifky.
Karenanya, lanjut dia, semangat kolektif untuk bersatu harus lebih besar daripada ego faksi.
“Saya pribadi menginginkan seluruh kader Kembali kepada garis ideologis, menjunjung tinggi prinsip persatuan, dan menempatkan kepentingan rakyat Marhaen sebagai orientasi perjuangan utama,” katanya.
“Saya percaya bahwa GMNI masih memiliki cadangan moral, intelektual, dan ideologis yang kuat untuk Kembali menyatu dan menjadi pelopor perubahan sosial. Fragmentasi hanya akan membawa kita mundur dan mengkhianati amanat sejarah perjuangan kaum Marhaenis,” beber Rifky.
Dualisme kepemimpinan GMNI
Untuk informasi, dualisme kepemimpinan dalam organisasi yang didirikan pada 23 Maret 1954 di Surabaya tersebut sudah lebih dari lima tahun berlalu, tepatnya sejak dualisme di DPP GMNI pertama kali mencuat usai Kongres XXI di Ambon pada 2019.
Kongres ini diwarnai aksi intimidasi, kericuhan, dan pengambilan keputusan yang dianggap tidak adil oleh sebagian pihak. Dalam perjalanannya, ketidakpuasan hasil kongres tersebut menciptakan perpecahan tajam yang hingga kini belum terselesaikan.
Ketegangan memuncak ketika sebagian peserta memutuskan untuk mengadakan kongres tandingan di lokasi lain. Akibatnya, lahirlah dua kubu kepemimpinan yang masing-masing mengklaim legitimasi. Hal ini diperburuk oleh minimnya mekanisme internal penyelesaian sengketa, yang membuat konflik berlarut-larut hingga ke tingkat cabang.
Seiring berjalannya waktu, pengakuan legal dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) terhadap salah satu kubu tidak berhasil menyelesaikan konflik secara keseluruhan.
Dualisme dalam praktik tetap terjadi di lapangan, dengan masing-masing kubu menjalankan agenda mereka sendiri. Keadaan ini menggambarkan betapa dalamnya fragmentasi yang dialami GMNI, sehingga sulit menemukan titik temu antar pihak yang berseteru.
Dualisme ini telah memberikan dampak signifikan terhadap eksistensi GMNI sebagai organisasi mahasiswa nasionalis. Pertama, konflik internal menguras energi organisasi yang seharusnya digunakan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat Marhaen.
Namun, dualisme kepemimpinan berlanjut hingga Kongres GMNI ke-22 di Bandung pada 16-30 Juni 2025 yang melanggengkan dualisme kepemimpinan nasional.
Alhasil, Kongres Bandung yang sejatinya menjadi agenda persatuan, malah melanggengkan dualisme kembali.
“Kami, GMNI Sukabumi Raya hadir di Kongres Bandung. Dualisme ini mengundang keprihatinan dari berbagai pihak, baik internal organisasi maupun masyarakat luas yang mengenal GMNI sebagai salah satu motor penggerak gerakan mahasiswa nasionalis,” pungkas Rifky.