sukabumiheadline.com – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengungkap sedikitnya 3.337 orang ditangkap polisi, 1.042 mengalami luka-luka, dan 10 orang meninggal dunia akibat tindakan represif aparat gabungan TNI-Polri yang terjadi sejak 25 hingga 31 Agustus 2025.
Seperti diketahui, dalam tragedi pada 28 Agustus 2025 itu tak hanya menyisakan kericuhan, tetapi juga duka mendalam. Dua driver ojol menjadi korban, satu berhasil selamat, sementara satu lainnya meninggal dunia.
Berita Terkait: Kisah Umar, ojol asal Sukabumi tulang punggung keluarga: Patah tulang dada dan rahang
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adapun, salah satu korban luka parah, adalah Moh. Umar Amiruddin asal Kampung Sukamukti RT 001/001, Desa/Kecamatan Cikidang, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sementara itu, untuk korban meninggal dunia bernama Affan Kurniawan berasal dari Jakarta.
Umar sendiri saat ini telah kembali ke rumahnya di Sukabumi. Baca selengkapnya: Kondisi terkini Umar, ojol asal Sukabumi dilindas Barakuda Brimob
Lebih jauh, YLBHI menilai tindakan negara di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah melampaui batas dan menjurus pada penebaran teror terhadap warganya sendiri.
“Penggunaan kekerasan, tuduhan kriminal seperti makar dan terorisme, penangkapan sewenang-wenang, penembakan gas air mata di dalam kampus, hingga pengerahan militer dalam patroli menunjukkan bahwa aparat tidak lagi sekadar mengamankan aksi, melainkan melakukan represi sistematis,” tegas pernyataan resmi tersebut dikutip sukabumiheadline.com, Sabtu (5/9/2025).
YLBHI menyebut bahwa skala kekerasan meningkat drastis sejak pidato Presiden Prabowo pada 31 Agustus 2025 yang memerintahkan TNI-Polri melakukan penindakan tegas terhadap massa.
Tak lama kemudian, Kapolri Listyo Sigit Prabowo memerintahkan aparat untuk menembak massa aksi yang memasuki kantor polisi, sementara Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menginstruksikan kerja sama aktif TNI dan Polri dalam pengamanan.
“Represi masyarakat juga dilakukan dengan pembatasan akses informasi. Ini dilakukan dengan cipta kondisi melarang media massa meliput aksi, dan juga matinya konten live Tiktok pasca perusahaan tersebut dipanggil oleh Komdigi. Dampaknya, akses informasi dan hak ekonomi masyarakat terganggu,” jelasnya.
Lebih memprihatinkan, hingga 1 September 2025 tercatat 10 orang meninggal dunia dalam rangkaian aksi dan bentrokan tersebut. YLBHI menilai bahwa tindakan represif aparat telah melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia.
YLBHI juga mengingatkan kepada Presiden Prabowo, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, dan juga Panglima TNI Agus Subiyanto untuk tunduk pada Undang-Undang Dasar 1945 yang memandatkan TNI.
“TNI untuk bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara serta juga amanat Reformasi 1998 yang memandatkan militer untuk tidak ikut campur urusan sipil,” tegasnya.
Atas dasar tersebut, LBH-YLBHI menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mengutuk keras praktik kekerasan dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian terhadap masyarakat yang mengakibatkan banyak korban luka-luka hingga meninggal dunia.
- Mengecam praktik penangkapan sewenang-wenang serta upaya kriminalisasi terhadap warga yang tidak bersalah.
- Mendesak Presiden Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, dan Panglima TNI Agus Subiyanto untuk segera menarik keterlibatan militer dari operasi pengamanan bersama kepolisian dalam penanganan ketertiban masyarakat sipil.
- Meminta Presiden dan Menteri Pertahanan untuk tidak melakukan langkah-langkah yang mengarah pada pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang yang tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengundurkan diri, serta menuntut kepolisian membuka akses bantuan hukum, membebaskan masyarakat yang ditangkap tanpa syarat, memulihkan seluruh korban tindak kekerasan aparat, dan memberikan rehabilitasi serta restitusi secara maksimal.
- Mengecam tindakan pemerintah dalam pemblokiran tidak sah terhadap hak masyarakat atas informasi dan pembatasan akses pada platform media sosial, yang telah berdampak serius terhadap aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat.
- Mendesak lembaga-lembaga negara pengawas seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, dan KPAI untuk menjalankan pengawasan secara aktif dan melakukan penyelidikan independen terhadap berbagai peristiwa kekerasan yang mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia berat.
- Meminta pemerintah agar tidak mengabaikan berbagai tuntutan rakyat, terutama yang berkaitan dengan penolakan terhadap kebijakan-kebijakan publik yang dinilai merugikan, serta menyoroti kegagalan DPR RI dalam menjalankan fungsi pengawasan dan representasi rakyat.