sukabumiheadline.com – Bagi warga Sukabumi, Jawa Barat, generasi era 1990-2000-an, sosok Abah Didi Djajadinata, tentunya sudah tidak asing lagi. Ia merupakan salah seorang ulama yang dikenal memiliki al hikmah tinggi.
Hujahnya selalu menjadi kenyataan bagi para murid, masyarakat dan tamu yang datang ke kediamannya. Tak heran jika muridnya banyak berdatangan dari seantero Nusantara.
Sosok ulama ini kadang dianggap mbeling atau “gila” karena pengajarannya dianggap tidak sesuai dengan norma Islam yang umum berlaku di masyarakat. Padahal, di kalangan terdekatnya, Abah Didi dikenal sosok yang humanis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Abah Didi dikenal jarang mengajarkan kitab-kitab karangan para ulama sufi, tetapi lebih banyak mengajarkan tentang dialektis kehidupan sebagai suluknya. Bahkan, menurut cerita salah seorang muridnya, ada seorang muridnya yang dinikahkan, namun selama satu tahun tidak boleh digauli. Padahal, sepasang pengantin tersebut tidur di tempat tidur yang sama.
Lantas, ada apa dengan ulama yang pernah disambangi Presiden Republik Indonesia ke-5, KH Abdurrahman Wahid itu?
Profil Abah Didi Djajadinata
Abah Didi lahir di Sukabumi, Jawa Barat, pada Selasa, 12 Januari 1943 atau 5 Muharam 1362 H. Ia lahir dari ibu bernama Aty dan ayah Raden Emor Djajadinata.
Raden Emor adalah keturunan menak Sunda dari Garut dan Sumedang yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung yang cukup ternama di era Presiden RI pertama, Ir. Soekarno.
Ulama bergelar Syaikhuna Al Mukarrom Syekh Abdullah Ibnu Mas’ud atau disebut juga Abah Didi, memiliki nama panggilan Raden Yamadipati.
Abah Didi menyelesaikan sekolah di SPMA Bogor pada 1961-1962. Selanjutnya, pada 1963-1964, ia berwiraswata di bidang tembakau di Kota Jombang, Kediri, Jawa Timur.
Abah Didi mondok di Jampes
Pada awalnya Abah Didi menjalani kehidupan seperti halnya para bangsawan (abangan) di Pulau Jawa. Sekularisme dengan menjadi pengusaha tembakau telah menjadi pilihan hidupnya. Sampai suatu ketika ia bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW untuk memperdalam Agama Islam.
Dalam mimpinya, Rasulullah SAW memerintahkan Abah Didi untuk meninggalkan kehidupan yang sedang dijalani dan mulai mengikuti kehidupan yang akan di bimbing oleh Rasulullah SAW sendiri. Dalam mimpinya itu, Rasulullah SAW menunjuk Abah Didi harus pergi ke arah Kediri untuk mulai kehidupan tersebut.
Saat terbangun dari tidurnya, Abah Didi langsung berjalan mengikuti mata hatinya. Dan sampailah beliau di Pondok Pesantren (Ponpes) Jampes, Kediri, Jawa Timur.
Dikisahkan salah seorang santriwati Jampes, Amatullah Halimah Siti, ketika itu Abah Didi sudah ditunggu-tunggu oleh Kyai Baji. Padahal, Kyai Baji selama ini dikenak sebagai sosok yang jarang keluar. Namun sebelum Abah Didi datang, Kyai Baji tampak sering keluar rumah, layaknya orang yang tengah menunggu seseorang tamu.
Selanjutnya di Ponpes Jampes, Abah Didi bertemu dan dididik langsung oleh murid dari Kyai Baji, yakni Kyai Mukhsin. Abah Didi pun langsung berikrar untuk menjadi murid Kyai Mukhsin.
Uniknya, selama kurang lebih 5 tahun Abah Didi mondok di Jampes. Namun, bukan pengajaran kitab-kitab yang diberikan Kyai Mukhsin kepada Abah Didi, melainkan tugas timba air dan mencuci pakaian kyai setiap harinya.
Begitu luar biasa ketaatan dan kepatuhan Abah Didi kepada gurunya, Kyai Mukhsin. Hingga waktu pun tak terasa sudah berjalan 5 tahun.
Namun, sumber lain menyebutkan bahwa Abah Didi hanya belajar selama kurang lebih 6 bulan, Abah Didi diajar oleh dua orang guru, yakni Kyai Baji dan Kyai Mukhsin.
Menurut guru-guru di Ponpes Jampes, taraf belajar Abah Didi setara seperti 5 tahun. Hal itu karena Abah Didi dikenal sudah hafal AlQuran dan memiliki Ilmu Laduni.
Kembali ke Sukabumi
Usai mondok, pada 1966, Abah Didi kemudian kembali ke kota kelahirannya, Sukabumi. Tanpa menghiraukan kemampuannya membaca kitab, Abah Didi tetap berjalan. Yang jelas, ketaatannya kepada Kyai Mukhsin menjadi sebab dia bisa menjadi hujjatul Islam. Dan ajaibnya, Abah Didi bisa hafal semu kitab yang diajarkan di Pesantren Jampes.
Dimulai Perubahan hidup Abah Didi, yang tadinya bercita-cita menjadi pengusaha tembakau, kini berusaha menjadi seorang Kyai Terkenal nantinya.
Pada 1967 hingga 1969, Abah Didi menemukan guru yang diperintahkan oleh Kyai Baji untuk dicari, yakni Syekh Abdul Qodir As Safe’i Al Ashari yang bermukim di Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi.
Kemudian pada 1973, Abah Didi mulai mengajar dan membuka Perguruan Miftahul Huda, di Rindu Alam Jalan Selabintana Km 3, Kecamatan/Kabupaten Sukabumi. Lalu pada 1984 Perguruan Miftahul Huda Abdullah Ibnu Mas’ud (Abah Didi) pindah ke Desa Cijangkar, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi KM 12,5.
Perguruan ini tergolong besar dan dikenal di Tanah Air. Bahkan, pada 1985, Wakil Presiden RI Umar Wirahadikusumah pernah mengunjungi Abah Didi di Cijangkar. Kunjungan wapres tersebut diawali dengan kunjungan para pejabat lokal seperti kepala desa, camat, wali kota, bupati, gubernur, hingg menteri, Wakil Presiden dan Presiden RI.
Hingga pada 1989, Pusat Perguruan Miftahul Huda Abdullah Ibnu Mas’ud (Abah Didi) pindah ke Buniayu dan Lebak Nangka, Desa Kertaangsana, Kecamatan Nyalindung, Kabupaten Sukabumi KM 25.
Pada 2000, Gus Dur (Abdurrahman Wahid) sebagai Presiden RI berkunjung ke Lebak Nangka, tempat tinggal Abah Didi.
Sepanjang hidupnya, Abah Didi menerbitkan buku yang ditulis oleh muridnya, berjudul Tafakur Meditasi Islam Abah Didi. Buku ini berguna untuk diri pribadi, keluarga, sosial masyarakat, bangsa dan negara.