25.9 C
Sukabumi
Kamis, Mei 2, 2024

Yamaha Zuma 125 meluncur, intip harga dan penampakan detail motor matic trail

sukabumiheadline.com - Yamaha resmi memperkenalkan Zuma 125...

Kisah perjalanan spiritual Philippe Troussier, eks pelatih Timnas Vietnam Mualaf

sukabumiheadline.com - Philippe Troussier, mantan pelatih Tim...

Kisah Ulama Kharismatik Sukabumi, KH Muhammad Kholilullah Berjuang dengan Pena dan Golok

KhazanahKisah Ulama Kharismatik Sukabumi, KH Muhammad Kholilullah Berjuang dengan Pena dan Golok

sukabumiheadline.com l Sosok KH Muhammad Kholilullah nyaris terlupakan dari benak warga Sukabumi, Jawa Barat. Padahal selain dikenal sebagai ulama, ia juga sosok pejuang kemerdekaan yang disegani pemerintah Hindia Belanda.

Sebagai ulama, pejuang yang akrab dipanggil Apa Lili, ini tak pernah absen berjuang bersama pasukan Hizbullah ketika perang Bojongkokosan pada 2 dan 9 Desember 1945 meletus.

Selama berjuang, Apa Lili memiliki golok pamungkas kesayangan yang digunakan untuk memukul mundur pasukan Belanda. Golok inilah saksi bisu jiwa patriotisme dan nasionalisme Apa Lili.

Eta bedog aya nu hideungan urut geutih walanda nu dikadeuk keur perang Bojongkokosan”. Dalam terjemahan bebasnya artinya “golok itu ada karatan bekas darah orang Belanda yang dibacok.”

Pasukan Sekutu saat baku tembak dengan pejuang Indonesia di Bojongkokosan, Sukabumi. l Istimewa
Pasukan Sekutu saat baku tembak dengan pejuang Indonesia di Bojongkokosan, Sukabumi. l Istimewa

Berita Terkait: Deretan Foto Ketika Pasukan Sekutu Kepayahan dalam Pertempuran Bojongkokosan Sukabumi

Profil Apa Lili

KH Muhammad Kholilullah, selain ulama pejuang juga dikenal sebagai ulama pemikir. Karenanya, selain berjuang dengan golok bertaruh nyawa di Medan perang, ia juga berjuang lewat dakwah dan pena.

KH Muhammad Kholilullah lahir di Kampung Cikaroya, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Tempat di mana kemudian berdiri Pondok Pesantren (Ponpes) Sirojul Athfal yang didirikannya pada 1913.

Apa Lili adalah putra dari H Turmudzi bin Enom dan Siti Saudah binti Kamsol atau KH Muhammad Asro. Baca lengkap: Profil KH. Masthuro dan Catatan Perjalanan Satu Abad Lebih Ponpes Al-Masthuriyah Sukabumi

KH. Muhammad Masthuro dan Hj. Hafsoh. l Istimewa
KH. Muhammad Masthuro dan Hj. Hafsoh. l Istimewa

Untuk diketahui, KH Muhammad Asro sendiri merupakan ayah dari KH Muhammad Masthuro, sosok ulama pendiri Pondok Pesantren Al Masthuriyah. Ia memiliki garis keturunan ke Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, dari nenek jalur ayahnya.

Baca Juga: Memahami 6 Wasiat KH. Masthuro Sukabumi, Relevan dengan Kondisi Indonesia Saat Ini

Pada usia 6 tahun, sekitar 1919, Apa Lili belajar ilmu agama dari sang ibu, Siti Saudah yang juga klakak dari KH Masthuro.

Selain belajar membaca dan mengkaji AlQuran, Apa Lili juga masuk di Sekolah Rakyat (SR), pada 7 tahun. Di sekolah milik pemerintah itu, Apa Lili menempuhnya selama 4 tahun.

Lulus dari SR pada usia 11 tahun, Apa Lili melanjutkan pendidikan dengan menjadi santri di Sekolah Ahmadiyah (bukan aliran dalam agama Islam yang dinilai menyimpang-red). Belakangan, sekolah ini berubah nama menjadi Al Masthuriyah yang berada di Kampung Tipar, Desa Cibolang Kaler, Kecamatan Cisaat.

Selain mengeyam pendidikan keislaman, Apa Lili dikenal sebagai tasyabah bi al-salafi al sholihin mina al-mutaqaddimin fi thobaqqaati a-ula di bawah bimbingan langsung sang paman, KH Masthuro.

Di ponpes tersebut, Apa Lili juga mempelajari kitab-kitab tasawwuf seperti Al Hikam karya Ibnu Athaillah dan Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali selama sekita 5 tahun.

Tak hanya itu, Apa Lili juga melahap semua jenis kitab kuning, kitab Shahih Bukhari Muslim dari Syekh bin Salim Al-Athos, setiap bakda Ashar dan Ramadhan.

Sambil tetap menimba ilmu, pada 1930 Apa Lili juga mengajar di Sekolah Ahmadiyah, lalu di Ponpes Sirojul Athfal pada 1941, dan di Sirojul Banat pada 1950.

Di ketiga lembaga yang merupakan cikal bakal Pondok Pesantren Al Masthuriyah tersebut, Apa Lili mengajar selama 30 tahun.

Kemudian pada 1943, Apa Lili mendirikan majelis taklim bernama An Nur yang kelak di kemudian hari menjadi cikal bakal Ponpes Sirojul Athfal, berdiri pada 1 Januari 1958 (atau 11 Jumadil Akhir 1377 H), di Kampung Cibaraja.

Selain ponpes, Sirojul Athfal juga mendirikan madrasah diniyah pada 1959, dan madrasah ibtidaiyah pada 1967.

Pada masanya, ia dikenal sebagai ulama intelektual yang menyiarkan Islam melalui pena. Ia mengajarkan Islam dan nasionalisme melalui kajian Islam bukan seperti ulama kebanyakan yang komprehensif.

Mengutip dari biografi KH Dadun Sanusi yang ditulis Lia Nuraliah pada 2005 lalu, disebutkan bahwa Apa Lili sempat menulis buku berjudul Isyarah Huruf Hijaiyah yang dilahirkan dengan cara mengawinkan antara kajian akademis keislaman dan aspirasi spiritualitas atau ilham.

Hingga kini, buku tersebut masih diajarkan kepada para santri, terutama saat pengajian Ashar yang digelar dari 1985 hingga 1986.

Isyarah Huruf Hijaiyah kemudian disusun ulang sehingga menjadi lebih sistematis oleh putranya, KH Muhammad Djihad Kholilullah, sehingga lebih sistematis dan mudah dipahami generasi muda.

Apa Lili Wafat

Sebelum menghembuskan nafas terakhir, kepada putra keempatnya, KH Muhammad Djihad Kholilullah, Apa Lili menyampaikan permintaan: ”Apa hayang balik, pang neangankeun mobil,” (Apa ingin pulang, carikan mobil-red).

Ia wafat dengan tenang ke rahmatullah tepat hari Jumat pada 1997. Jenazahnya disemayamkan di samping Masjid Jami An Nur.

Apa Lili meninggalkan lima putra putri dari istrinya Hj Nurkholillah binti H Hanafi yang biasa disapa Mak Deudeuh.

Adapun kelima anaknya, yaitu Oop Burhanuddin (wafat di usia 4 tahun), Nasibul Aufar (wafat di usia 5 tahun), Kyai Badrun Munir (wafat di usia 63, pada 2006), Kyai Djihad (wafat di usia 69, pada 2014) dan Kyai Muhammad Saefullah (wafat di usia 35, pada 1985).

Meski Apa Lili telah tiada, warisan ilmunya, karomahnya dan semangat perjuangannya tidak pernah absen. Ia selalu hadir bagi para santrinya, umatnya dan bangsa Indonesia.

Hingga kini, wafatnya Apa Lili masih dikenang cucu dan cicit serta para santrinya yang rutin menggelar haul.

Hanya dengan berdoa bersama dan merawat serta mengamalkan ilmu yang diajarkannya lah kita semua bisa terus mengenang dan meneladani sosok KH Muhammad Kholilullah.

Seperti syair dari Habib Abdullah bin Alawy Al Haddad, ”Dalam mengingat mereka kutemukan kesejukan, yang mengobati kegersangan qalbu.”

Konten Lainnya

Content TAGS

Konten Populer