sukabumiheadline.com – PBNU meminta kepada Barisan Serbaguna alias Banser Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) dan Pagar Nusa untuk kembali ke rumah masing-masing seusai kehadirannya mendapat penolakan dari pada Raja di Bali.
Banser adalah organisasi paramiliter yang terafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Mereka rencananya akan menggelar apel Akbar yang secara kebetulan bertepatan dengan Muktamar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Bali.
PromosiUsaha Klaster Jeruk Ini Makin Berkembang Berkat Pemberdayaan BRI
“Sahabat-sahabat Ansor, Banser, dan Pagar Nusa yang saya cintai atas nama PBNU.. sesudah ini hendaknya sahabat-sahabat sekalian kembali ke kediaman masing-masing dengan tertib,” ujar Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya dalam keterangan di YouTube NU, Jumat (23/8/2024).
Baca Juga:
Gus Yahya mengucapkan terima kasih kepada para Banser yang sudah menjalankan disiplin organisasi. Namun demikian, ia juga meminta Banser untuk tetap bersiap untuk menjalankan perintah selanjutnya.
“Kepada masyarakat Bali yang kami cintai kami ucapkan terima kasih, atas keramahtamahan pengertian dan keterbukaan hati, untuk menerima Ansor, Banser dan Pagar Nusa kader-kader kami,” jelasnya.
Baca Juga:
Ditolak Raja Bali
Sebelumnya, para penglingsir atau tokoh puri di Bali menolak kegiatan apel akbar Barisan Serbaguna (Banser) GP Ansor yang dilaksanakan.
Alasannya karena kegiatan ini dinilai meresahkan masyarakat Bali dan mengganggu pariwisata. Dalam pernyataan resmi yang ditandatangani oleh lima penglingsir puri atau kerajaan di Bali, apel kebangsaan Banser akan berdampak negatif terhadap pariwisata Bali yang baru mulai pulih pasca pandemi covid-19.
Penglingsir Puri Anyar Tabanan, Ida Anak Agung Ngurah Agung Juli Artawan menjelaskan kedatangan ribuan anggota ormas dengan atribut seperti tentara akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi wisatawan.
“Kami sangat menolak kegiatan yang dihadiri oleh ribuan anggota Banser GP Ansor NU dari luar Bali karena bisa memberikan dampak negatif bagi industri pariwisata dan ekonomi kreatif di Bali. Keberadaan ormas yang menggunakan atribut dan seragam seperti tentara akan menimbulkan ketidaknyamanan wisatawan. Keberadaan mereka juga berpotensi terjadinya gesekan dengan masyarakat lokal Bali,” jelas Gung Artawan kepada media, Jumat (23/8/2024).
Gung Artawan melanjutkan, kekhawatiran adanya provokator yang menimbulkan kericuhan di Bali bisa berdampak terhadap pariwisata Bali, apalagi Denpasar dan Badung yang merupakan kawasan internasional.
Menurutnya kegiatan ormas seperti Banser tidak cocok di Bali, dan sebaiknya dilaksanakan di luar Bali.
Sementara itu, Penglingsir Puri Agung Pemecutan Ida Anak Agung Ngurah Putra Darmanuraga menjelaskan sikap penglingsir ini sebagai bentuk tanggung jawab dalam menjaga keamanan Bali, karena Bali merupakan daerah pariwisata.
Menurut Putra Darmanuraga, kegiatan-kegiatan yang berpotensi menimbulkan kericuhan sebaiknya tidak diizinkan oleh Polri.
“Kami ingin menghimbau kepada siapapun agar menjaga keamanan Bali, karena Bali ini sering dijadikan tempat kegiatan internasional, nasional hingga politik, khususnya Kabupaten Badung. Oleh sebab itu siapapun yang masuk ke Bali, bekerja di Bali agar menjaga keamanan dan budaya Bali,” jelas Ngurah Putra.
Disinggung penolakan mereka terkait dengan Muktamar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang digelar di Nusa Dua, para penglingsir menyebut tidak ada kaitannya dengan kegiatan tersebut.
Penglingsir Pemecutan menyebut sikap mereka murni untuk menjaga keamanan Bali dan menolak kegiatan ormas yang dinilai berpotensi menimbulkan gesekan.
“Kami tidak ada kaitan (Muktamar PKB), ini untuk keamanan Bali,” jelas dia.
Baca Juga:
Pecalang
Di Bali, beberapa hari sebelum Hari Raya Nyepi, masyarakat Bali melaksanakan ritual Melasti. Di antara banyaknya peserta yang datang, terlihat beberapa orang menenteng keris kas Bali, sambil sesekali mengatur jalannya upacara.
Mereka adalah polisi adat Bali, atau dikenal dengan sebutan Pecalang.
Mengutip penjelasan dari Persatuan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Karangasem, kata pecalang berasal dari kata ‘calang’, yang diambil dari kata ‘celang’, yang berarti waspada.
Pecalang memiliki tugas untuk mengamankan dan menertibkan desa, baik dalam keseharian maupun dalam hubungannya dengan penyelenggaraan upacara adat atau keagamaan.
Ibaratnya sebagai petugas keamanan desa adat. Pecalang telah terbukti ampuh mengamankan jalannya upacara-upacara yang berlangsung di desa adat. Bahkan secara luas mampu mengamankan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan khalayak ramai.
Ciri kas Pencalang di Bali, adalah memakai kain kotak-kotak dengan keris terhunus dipinggangnya. Memakai pakaian adat Bali lengkap, udeng dikepala (tanjak), kemeja putih, dan sering memakai rompi bertuliskan PECALANG DESA ADAT.
Pecalang sering juga disebut polisi tradisional Bali. Tugasnya mengamankan suatu kegiatan yang berkaitan dengan adat, dan agama, seperti: upacara keagamaan, prosesi ngaben, prosesi pernikahan, dll yang berkaitan dengan upacara adat di Bali.
Dengan bergesernya jaman, Pecalang dimasa kini hampir tidak lagi identik dengan badan yang kekar ataupun berwajah seram.
Dari segi pakaian yang dikenakannya pun sudah mulai mengikuti perkembangan jaman. Atasan kemeja berwarna gelap, dilengkapi dengan jaket hijau metalik yang biasanya digunakan Polisi Lalu Lintas, dan keris yang dahulunya kerap disandang, berganti dengan pentungan yang dapat dinyalakan sebagai tanda bagi para pengendara di jalan raya.