21.6 C
Sukabumi
Selasa, Juli 2, 2024

Yamaha Zuma 125 meluncur, intip harga dan penampakan detail motor matic trail

sukabumiheadline.com - Yamaha resmi memperkenalkan Zuma 125...

Desain Ala Skuter Retro, Intip Spesifikasi dan Harga Suzuki Saluto 125

sukabumiheadline.com l Di belahan dunia lain, Suzuki...

Suzuki SUI 125 Meluncur, Spesifikasi Vespa Banget Harga Terjangkau

sukabumiheadline.com l Skutik modern Suzuki Vespa SUI...

Mini Biografi Ucu Agustin, Wanita Sukabumi dari Ponpes ke Festival Film Internasional Berlin

LIPSUSMini Biografi Ucu Agustin, Wanita Sukabumi dari Ponpes ke Festival Film Internasional Berlin

sukabumiheadline.com l Banyak wanita asal Sukabumi, Jawa Barat aktif di berbagai bidang. Bahkan, banyak di antaranya berhasil meraih sukses di bidang yang digelutinya. Dari mulai menjadi artis, pengusaha, atlet hingga politisi.

Geliat mereka di berbagai bidang menjadi bukti bahwa kaum perempuan di Sukabumi kian bernyali menunjukkan eksistensinya, sehingga mampu bersaing dengan kaum laki-laki.

Di dunia hiburan dan seni peran misalnya. Warga Sukabumi tentunya sudah tidak asing dengan nama-nama beken seperti Happy Salma, Desy Ratnasari, Poppy Sovia hingga Syahrini, dan masih banyak lagi.

Namun, ada satu nama yang tidak begitu populer tapi memiliki prestasi membanggakan di bidang film. Wanita ini bernama Ucu Agustin, seorang perempuan yang lebih dikenal sebagai jurnalis serta penulis sekaligus produser film.

Wanita Sukabumi dari Pesantren Kemudian Penulis Film

Ucu Agustin lahir di Sukabumi pada 19 Agustus 1976 di tengah keluarga Muslim taat. Tak heran ketika kecil, ia belajar di Pondok Pesantren (Ponpes) Darunnajah di Jakarta selama enam tahun.

Selama mondok di ponpes, Ucu terbilang tidak berhubungan dengan dunia luar. Hingga pada suatu waktu, saat ia dalam perjalanan pulang ke rumah untuk pertamakalinya dari ponpes, Ucu mendapati kenyataan bahwa ada banyak perempuan asal Sukabumi yang menjadi istri simpanan dan pelacur.

Kenyataan tersebut membuat Ucu yang waktu itu masih duduk di kelas 3 madrasah tsanawiyah (MTs) menjadi lebih kritis pada dunia sekitar.

Usai menamatkan kuliahnya di IAIN (sekarang Universitas Islam Negeri atau UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ucu kemudian memilih berkarier di bidang jurnalistik.

Memulai Karier Sebagai Jurnalis 

Kecintaan Ucu terhadap dunia kepenulisan mulai dikenal sejak masih duduk di semester 6 di kampusnya. Kemudian, setelah lulus, Ucu menjadi kontributor pada Majalah Berita Pantau.

Selanjutnya, ia bergabung dengan Kantor Berita Radio 68H dan menjadi penulis untuk INGO yang bergerak di bidang transformasi konflik sambil tetap menulis artikel dan cerita pendek di koran-koran.

Karena merasa memiliki keterbatasan dalam pembuatan pelaporan liputan di media cetak, yakni terkait keterbatasan halaman pada media cetak serta sempitnya durasi pelaporan radio (yang sifatnya memang sekali dengar) membuatnya tak leluasa bergerak dan tak memungkinkan untuk mengeksplore lebih dalam sebuah isu, terlebih yang bersifat human interest.

Ucu pun kemudian pindah ke pembuatan film dokumenter. Sembari berkarya menulis beberapa buku anak-anak dan cerpen.

Ia sangat aktif dalam menulis. Hal itu bisa ditelusuri pada tahun 2003, saat ia menerbitkan lima buku anak-anak bertema Islam, dan minta agar mendapatkan royalti daripada biaya flat.

Sedangkan, beberapa judul cerpennya, adalah Lelaki yang Menetas di Tubuhku, yang dimasukkan dalam antoligi cerpen Un Soir du Paris (Suatu Sore di Paris).

Menjadi Penulis Film Dokumenter 

Di dunia film, Ucu dikenal sebagai salah satu penulis dan pembuat film dokumenter ternama di Indonesia. Dengan audio visual dan media dokumenter, Ucu selalu bertekad membawa audiens untuk langsung berada di lapangan dan melihat sendiri apa yang terjadi.

Film dokumenter pertamanya yang diproduksi tahun 2005, Death in Jakarta, dibuat dengan bantuan dana dari Jakarta International Film Festival.

Film ini menceritakan apa yang dialami fakir miskin ketika ada keluarga yang meninggal, diinspirasi oleh pengamatan Ucu pada keadaan di sebuah taman pemakaman di Utan Kayu, Jakarta Timur.

Film tersebut diproduksi setelah menjadi salah satu dari empat pemenang pada Lomba Penulisan Skenario Jakarta International Film Festival.

Dengan uang hadiah sebanyak Rp25 juta, Ucu membuat film Death in Jakarta dengan kamera yang dipinjamkan pihak lomba; itu merupakan pertama kali dia menggunakan kamera profesional.

Ucu Agustin saat syuting film dokumenter. l Istimewa
Ucu Agustin saat syuting film dokumenter. l Istimewa

Dokumenternya yang lain adalah Bab Akhir Pramoedya, Konspirasi Hening dan Ragat’e Anak. Film disebut terakhir bahkan pernah ditayangkan di Festival Film Internasional Berlin pada tahun 2009.

Ragat’e Anak menceritakan kehidupan dua pekerja seks paruh-waktu di taman pemakaman Gunung Bolo di Tulungagung, Jawa Timur.

Ragat’e Anak adalah satu dari empat film dokumenter pendek yang ada dalam antologi Pertaruhan atau AT STAKE, yang diproduseri Yayasan Kalyana Shira.

Sebuah film yang “berhasil” membuat citra buruk Kabupaten Tulungagung, salah satu daerah di Jawa Timur. Sehingga kemudian Pemerintah Kabupaten Tulungagung langsung menutup lokalisasi pelacuran.

Dalam menanggapi tindakan pemerintah daerah tersebut, Ucu menyatakan bahwa dia menyesali keputusan penutupan sepihak yang dilakukan oleh pemerintah setempat tersebut.

Film dokumenter berikutnya, Konspirasi Hening atau Cosnpiracy of Silence yang diproduseri Nia Dinata dan mengambil judulnya dari pernyataan Kartono Mohamad, mantan ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bahwa sebuah “konspirasi hening” telah membuat semua peraturan di Indonesia tentang pelayanan kesehatan menjadi tidak dapat ditegaskan.

Film ini mendalami isu tentang pelayanan kesehatan di Indonesia dengan mengikuti kehidupan tiga orang, dua yang mengalami malapraktik dan satu orang miskin yang tidak bisa mendapatkan akses pada layanan kesehatan.

Film tersebut menarik kesimpulan bahwa otoritas kesehatan dan pemerintah harus bertanggung atas pelayanan kesehatan.

Kemudian, pada 2011 Ucu bekerja sama dengan Nia lagi dalam Batik: Our Love Story. Sebuah film dokumenter tentang batik. Film ini disutradarai Nia Dinata, dan Ucu menjadi penulis skenarionya.

Prestasi Ucu Agustin 

Ucu Agustin salah satu pemenang Lomba Menulis Skenario yang diselenggarakan Jakarta International Film Festival pada tahun 2005, yang menjadi alasan mengapa dia bisa membuat Death in Jakarta.

Pertaruhan, yang memuat Ragat’e Anak, diputar di seksi Panorama di Festival Film Internasional Berlin pada 2009 lalu bersama Laskar Pelangi (yang juga dipertontonkan tahun itu).

Filmnya ini merupakan film Indonesia pertama yang diputar di Panorama, dan Ucu menghadiri penaayangnya di Berlin bersama Nia Dinata.

Pujian untuk Wanita Sukabumi, Ucu Agustin

Ucu yang telah dikenal sebagai salah satu pembuat film dokumenter Indonesia yang terbaik, mendapat sanjungan dari Ika Krismantari. Ika menyampaikan pujiannya itu dalam sebuah tulisan di koran berbahasa Inggris, The Jakarta Post,

Di mata Ika, di dalam film dokumenternya Ucu sering memuat tema yang “menantang”, seperti keadilan sosial, jaminan kesehatan, dan ketidaksetaraan gender.

Ucu sendiri pernah menyatakan bahwa orang yang “inspiratif” adalah topik yang bagus untuk film dokumenter, sebab penonton mungkin dapat dipengaruhi oleh kesulitan hidup yang pernah dilalui subjek.

Krismantari menjelaskan Ucu sebagai “wanita kecil yang sangat kuat”, yang menunjukkan pada tubuh Ucu yang kecil dan otaknya yang kuat.

She has also cited the intense amount of editing that her works went through as a reason for the change, noting that there “always seemed to be a wide space between the reality that happened and the ‘reality’ that was reported (Dia juga mengutip banyaknya pengeditan yang dilakukan karyanya sebagai alasan untuk perubahan tersebut, mencatat bahwa “sepertinya selalu ada jarak yang lebar antara kenyataan yang terjadi dan ‘kenyataan’ yang dilaporkan-red),” puji Ika menggambarkan pribadi perfeksionis seorang wanita Sukabumi bernama Ucu Agustin.

Konten Lainnya

Content TAGS

Konten Populer