30.3 C
Sukabumi
Rabu, Mei 1, 2024

Thrust Defender 125, Motor Matic Maxi Bikin Yamaha XMAX Ketar-ketir, Cek Harganya

sukabumiheadline.com l Thrust Defender 125, diprediksi bakal...

Sport Bike Honda Dax 125 MY 2024 Memikat Pecinta Motor Retro, Harga?

sukabumiheadline.com l Motor sport berdimensi ringkas, Honda...

Sepenggal Kisah Masa Perjuangan Komikus dan Pelukis Siauw Tik Kwie di Cicurug Sukabumi

LIPSUSSepenggal Kisah Masa Perjuangan Komikus dan Pelukis Siauw Tik Kwie di Cicurug Sukabumi

sukabumiheadline.com l Nama Siauw Tik Kwie tidak terlalu dikenal warga Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Padahal, sosok pelukis dan komikus kesayangan Presiden RI ke-1, Ir. Soekarno itu pernah menetap di Kecamatan Cicurug.

Meskipun kerap berpindah tempat tinggal, namun Siauw Tik Kwie tentunya memiliki kesan tersendiri saat tinggal di Sukabumi. Pasalnya, saat menetap di Cicurug itulah ia sempat mengubah namanya menjadi nama yang berbau Sunda.

Dihimpun sukabumiheadline.com dari dari berbagai sumber, berikut adalah perjalan hidup Siauw Tik Kwie dan sepenggal kisah hidupnya saat menetap di Cicurug.

Pelukis Realis Terkemuka Indonesia 

Siauw Tik Kwie lahir di Surakarta atau Solo, Jawa Tengah pada 21 Juni 1913 dan wafat 16 April 1988 atau dalam usia 74 tahun.

Tik Kwie yang mempunyai tiga saudara kandung, dua perempuan dan satu laki-laki. Ia lahir dari pasangan Siauw Gwan Lie, dan ibunya Poa Tjin Nio.

Tik Kwie dikenal sebagai pelukis realis ternama pada masanya. Selain itu, ayah dua anak dari pasangannya, Tan Poen Nio itu dikenal sebagai komikus dengan genre cerita silat.

Pada masa kecilnya, Tik Kwie belajar di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan. Selain pelajaran yang biasa diberikan di sekolah-sekolah lainnya, Tik Kwie memperoleh pelajaran melukis dari guru-guru yang handal.

Di sekolah ini pula Tik Kwie berkenalan dengan filsafat Kong Hu Cu, membaca berbagai legenda dan mitologi Tionghoa, seperti Hong Sin, Sam Kok, Si Jin Kui, Si Teng San, Si Kiong, Gak Hui, Se Yu Ki (Riwayat Sun Go Kong), Pak Yu Ki (Riwayat Hian Thian Siang Te), Tong Yu Ki (Riwayat Pat Sian/8 Dewa), dll.

Ia juga senang mengumpulkan gambar-gambar tokoh-tokoh cerita tersebut yang biasanya terdapat pada bungkus rokok pada masa itu. Ia sering memperbesar gambar-gambar tokoh mitologi Tionghoa, dan kemudian membagi-bagikannya kepada teman-teman sebayanya.

Tik Kwie banyak dipengaruhi oleh ibunya yang gemar membaca buku-buku legenda yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Ibunya sering menyampaikan cerita-cerita klasik Jawa dalam bentuk tembang.

Selain cerita-cerita klasik Jawa, ibunya juga sering mengajak Tik Kwie menyaksikan pertunjukan opera Tionghoa, yaitu sandiwara yang dimainkan oleh artis-artis peranakan, yang menyajikan cerita-cerita klasik Tionghoa seperti Si Jin Kui.

Dalam pertunjukan ini, para pemerannya mengenakan kostum Tiongkok, sementara bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu pasar.

Tik Kwie selalu terkesan oleh pertunjukan ini hingga ia dapat mengingat kostum yang dikenakan oleh para pemerannya. Semuanya merupakan dasar kecakapan yang kelak menjadi bekal hidupnya kelak.

Berita Terkait: Deretan Karya Siauw Tik Kwie, Komikus dan Pelukis Realis Masa Perjuangan Pernah Menetap di Cicurug Sukabumi

Pada usia 12 tahun, ia diajak oleh seorang pelukis kenamaan, Liem Too Hien dan seorang siswa kung fu, Kwik Hway Hien, pergi menemui Tan Tek Siu Sian di Rejoagung dekat Tulung Agung.

Tan Tek Siu Sian adalah pertapa sakti yang pantang berbicara. Gua pertapaannya dihiasi dengan lukisan-lukisan legenda Tionghoa. Tak heran jika hingga kini tempat pertapaan tersebut masih kerap dikunjungi keluarga dan para pengikutnya.

Untuk informasi, terdapat dua tempat pertapaan Tan Tek Siu Sian, satu di Rejoagung dan satu lagi di Sendang, lereng Gunung Willis. Di tempat itulah Tik Kwie diperlihatkan oleh Liem Too Hien bagaimana cara membuat lukisan legenda itu.

Ketika berumur 14 tahun, Tik Kwie memutuskan untuk berhenti sekolah dan memilih bekerja dengan membantu pamannya berjual-beli hasil bumi di Desa Salam, Surakarta.

Setahun kemudian ia pindah ke Wonogiri dan bekerja di perusahaan seorang pamannya yang lain, yaitu Jamu Jago.

Di kota ini ia mulai terlibat dalam membuat ilustrasi untuk Majalah Moestika Romans, yang dipimpin oleh Kwee Tek Hoay, seorang tokoh Tridharma. Tik Kwie melahap buku-buku karangan Kwee Tek Hoay dan merasa tertarik akan karangan-karangannya yang sarat dengan ajaran-ajaran Tridharma.

Sekitar tahun 1930 Tik Kwie berjumpa untuk pertama kalinya dengan Kwee Tek Hoay dalam sebuah konferensi Tridharma di Surakarta.

Konferensi itu bertujuan untuk menyebarkan ajaran-ajaran agama itu, tetapi gagal merumuskan program-program yang konkret. Karena itu Kwee Tek Hoay kemudian memutuskan untuk menerbitkan majalah Moestika Dharma sebagai sarana penyebaran ajaran Tridharma.

Merantau ke Jakarta 

Setahun kemudian, Siauw Tik Kwie diundang oleh Kwee Tek Hoay untuk datang ke Jakarta untuk membantunya secara sukarela dalam penerbitan majalahnya. Ia menerima undangan itu, dengan harapan akan dapat belajar banyak dalam seni lukis dan kerohanian. Selama tiga tahun ia tinggal di rumah Kwee dan terlibat dalam penerbitan buku-buku Tridharma.

Siauw Tik Kwie juga mendapatkan pembinaan lebih lanjut dalam seni lukis dari Pastor Sterneberg, H.V. Velthuisen, Mark Paul Van Hove dan Jan Frank. Ia juga bertemu dan bersahabat dengan Kho Wan Gie, pencipta Put On, Tan Lip Poen, Lee Man Fong, dll.

Mereka kemudian mendirikan sebuah organisasi seniman Tionghoa yang bernama Mei Shu Yen Tsiu Hui.

Siauw Tik Kwie pun mulai melukis komik untuk koran-koran Siang Po (Jakarta), Sin Tit Po (Surabaya), dan Majalah Liberty (Malang) dan Star Magazine (Jakarta).

Menetap di Cicurug, Sukabumi

Pada 1936, Kwee Tek Hoay pindah ke Cicurug, Kabupaten Sukabumi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama menetap di Cicurug, Siauw bekerja di biro iklan seperti Exelcior, Gestetner, A.A. de Lamar, de Unie, Preciosa, dan Kolff.

Sementara itu, Kwee Tek Hoay bersama dengan sejumlah temannya mendirikan Bataviasche Buddhist Association dan Sam Kauw Hwee (yang kelak berganti nama menjadi Perkumpulan Tridharma). Siauw yang memang tertarik dengan masalah-masalah keagamaan, mendukung penuh inisiatif Kwee tersebut.

Pada 1938, Siauw menikah dengan Tan Poen Nio, yang masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Pasangan ini kemudian dikaruniai dua anak perempuan.

Selain menikah dan memiliki dua anak, selama di Cicurug Siauw Tik Kwie juga mengganti namanya menjadi Otto Suastika.

Salah satu lukisan realis karya Siauw Tik Kwie. l Istimewa
Salah satu lukisan realis karya Siauw Tik Kwie. l Istimewa

Kembali ke Surakarta 

Tahun 1942, ketika Perang Pasifik meletus, Tik Kwie membawa keluarganya pindah ke Surakarta, dan aktif di Kay Kio Sokai di bagian kesenian, dan dengan organisasi keagamaan Khong Kauw Hwee (Perhimpunan agama Kong Hu Cu).

Untuk menghidupi keluarganya, Siauw memberikan kursus melukis, sementara istrinya memberikan kursus menjahit. Ia tetap berhubungan dengan Kwee Tek Hoay dan membantu peredaran buku-bukunya di Surakarta.

Pada saat itulah ia mulai berkenalan dengan ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram dan kelak menerjemahkan dan menerbitkan ajaran-ajaran tersebut. Ia juga mulai mempelajari ajaran-ajaran J. Krishnamurti tentang pengenalan diri sendiri, yang dirasakannya sangat membantunya dalam memahami kitab-kitab suci Tridharma.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1975, Tik Kwie turut berjuang bersama Tony Wen dan teman-temannya yang lain dengan membentuk Serikat Rakyat dan Buruh Tionghoa yang membantu pihak Republik baik secara moril maupun materi.

Karena keterlibatannya dalam perjuangan, pada 1946 Tik Kwie diangkat menjadi anggota DPRD Surakarta oleh masyarakat Tionghoa yang pro-Republik. Tik Kwie juga diangkat sebagai anggota Presidium Panitia Penolong Korban Perang yang membantu menangani para pengungsi sebagai wakil masyarakat Tionghoa.

Kembali ke Jakarta 

Pada 1949 Tik Kwie bersama keluarganya kembali ke Jakarta dan mengembangkan kreativitas seninya serta mengerjakan gambar-gambar reklame dan membantu mingguan Star Weekly.

Pada tahun 1952, redaktur Star Weekly, Tan Hian Lay dan Auwyong Peng Koen memintanya membuat cerita bergambar Si Jin Kui.

Tik Kwie sempat ragu-ragu, tetapi permintaan itu kemudian dipenuhinya juga. Ia juga dikenal sangat kreatif, dia pernah juga melukis dua perahu, satu perahu besar dan satu perahu kecil diatas karton gambar. Uniknya, tiang tiang perahu tersebut di gambar tidak memakai cat tetapi dengan memakai mungkin silet atau bahan tajam lainnya sehingga terlihat sepeti tiang tiang yang sangat bagus.

Dalam memberikan tanda tangan Tik Kwie terkadang memakai nama Siauw Tik Kwie, Otto Suastika atau terkadang di singkat SWK saja.

Pengalamannya pada masa kecil dan kecakapannya melukis sangat membantunya dalam mengerjakan tugas itu. Cerita bergambar Si Jin Kui (ejaan lama, Sie Djin Koei) kisah kepahlawanan seorang jenderal Tiongkok dari Dinasti Tang itu baru selesai dimuat setelah tujuh tahun penuh.

Tiap Ahad dia menyelesaikan satu halaman tanpa pernah beristirahat selama tujuh tahun. Cerita ini kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh Percetakan Keng Po.

Ia mendapatkan bayaran Rp7,50 (tujuh rupiah lima puluh sen) sebagai honorarium untuk setiap karyanya yang terdiri dari lima kotak gambar dalam satu halaman. Honor tersebut terbilang memadai ketika itu karena kebutuhannya sebulan saat itu cukup dipenuhi dengan Rp30 saja.

Total ada 1.900 adegan pernah digambar oleh Tik Kwie untuk kisah Si Jin Kui. Namun, kebahagiaannya hancur seketika pada 1966 ketika Auwyong Peng Koen memerintahkan untuk membakar semua karya Tik Kwie atas perintah pemerintah Orde Baru saat itu yang gencar menyuarakan politik anti-China.

Komik strip Si Jin Kui karya Siauw Tik Kwie. l Istimewa
Komik strip karya Siauw Tik Kwie. l Istimewa

Hati Tik Kwie hancur seketika melihat karya-karyanya ludes dilalap api. Namun, pada tahun 1979 cerita Si Jin Kui hasil karyanya dimuat kembali dalam Harian Lensa Generasi, dan kemudian diterbitkan dalam buku cerita bergambar dengan penyesuaian tata bahasa dan ejaannya.

Otto Suastika juga menyerahkan hak ciptanya kepada Aggi Tjeje, Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Gabungan Tridharma Indonesia.

Sebagai pelukis, Siauw Tik Kwie pernah empat kali mengadakan pameran tunggal di Balai Budaya, Jakarta. Pamerannya yang terakhir diadakan pada 1980, dan diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, Dr. Daoed Joesoef, dan disponsori oleh Jusuf Wanandi, SH (Liem Bian Kie, SH).

Siauw juga aktif menerjemahkan pikiran-pikiran Ki Ageng Suryomentaram yang kemudian diterbitkan oleh Yayasan Idayu, Jakarta.

Konten Lainnya

Content TAGS

Konten Populer