sukabumiheadline.com – Serikat Para Pekerja Pariwisata Jabar (SP3JB) akan mengajukan pemakzulan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi melalui legislatif atau DPRD Jabar. Usulan pemakzulan itu merupakan bentuk protes kebijakan terkait larangan studi tur.
Dalam pernyataannya, SP3JB berencana melakukan aksi unjuk rasa untuk memprotes kebijakan Dedi Mulyadi yang tertuang dalam Surat Edaran (SE) Gubernur Jabar Nomor 45/PK.03.03/KESRA, pada Senin (25/8/2025). Namun, diketahui rencana aksi tersebut kemudian dibatalkan.
Perwakilan SP3JB Herdi Sudarjda, dikutip sukabumiheadline.com pada Selasa (26/8/2025), tidak menampik jika pihaknya sudah bertemu langsung dengan Dedi Mulyadi. Namun, Dedi tetap melarang adanya kegiatan study tour.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terkait pembatalan aksi di Gedung Sate, Herdi mengaku jika aksi ini hanya ditunda untuk mencoba melakukan diplomasi dan dialogis bersama legislatif baik DPR RI ataupun DPRD Jabar.
“Ya, kalau tidak ada sama sekali baru kita akan turun aksi. Kita meminta kepala daerah, gubernur untuk mengkaji ulang dan juga meminta untuk betul-betul mencermati revisi yang diajukan atau rekomendasi revisi yang diajukan oleh SP3JB,” kata Herdi.
“Sesuai dengan peraturan pemerintah tentang pemerintahan daerah. Di situ ada klausul atau pasal yang bunyinya adalah jika kepala daerah mengeluarkan kebijakan yang berdampak kepada ekonomi lah ya bisa diajukan pemakzulan,” ungkapnya.
Punya bukti makzulkan Dedi Mulyadi
Menurut Herdi, usulan pemakzulan terhadap Dedi Mulyadi memiliki proses yang panjang. Namun, ia memiliki keyakinan karena punya bukti kuat agar pemakzulan dapat dilakukan DPRD.
“Kita punya bukti, punya fakta bahwa memang kebijakan Gubernur Jabar itu adalah kebijakan internal ya. Internal dia untuk sekolah, bukan untuk pariwisata memang. Tapi kebijakan internal untuk sekolah tersebut berdampak kepada usaha dan para pelaku usaha yang ada di Jawa Barat,” papar Herdi.
Adapun Surat Edaran (SE) Gubernur Jabar pada SE Nomor 45/PK.03.03/KESRA dianggap telah melanggar Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yaitu Paragraf 4 Larangan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 76 huruf b, membuat kebijakan yang merugikan kepentingan umum dan meresahkan sekelompok masyarakat atau mendiskriminasikan warga negara dan/atau golongan masyarakat lain yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-udangan.
“Pekan ini kita akan segera lakukan bertemu dengan DPR RI. Kita akan sampaikan dulu ke Jakarta, ke komisi terkait. Dan juga nanti akan kita sampaikan juga hasil dari Jakarta ke DPRD Provinsi. Yang memiliki kewenangan adalah DPRD Provinsi,” sambung dia.