22.3 C
Sukabumi
Senin, Juni 24, 2024

Warga Sukabumi lulusan SMA/SMK? Pos Indonesia buka banyak lowongan kerja

sukabumiheadline.com - Kabar menarik buat warga Sukabumi,...

Bobotoh, ini jadwal Persib Bandung di AFC Champions League Two

sukabumiheadline.com - Meski suporter Liga 1 masih...

Intip harga dan spesifikasi Redmi Note 15 Pro, smartphone idola Gen Z

sukabumiheadline.com - Smartphone telah menjadi bagian tak...

Biografi KH Ahmad Badruzzaman, melawan lupa perjuangan ulama asal Sukabumi

KhazanahBiografi KH Ahmad Badruzzaman, melawan lupa perjuangan ulama asal Sukabumi

sukabumiheadline.com – Membaca biografi seorang tokoh masyarakat yang kini masih terasa getar perjuangannya, mengajak pembaca untuk menelaah  semangat akan nilai yang diperjuangkan dalam setiap jengkal kehidupan.

Siapa pun yang pernah mengenal KH Ahmad Badruzzaman tentang perjuangan mendirikan lembaga pendidikan bernama Sinar Islam di Sukabumi, Jawa Barat, akan sulit melawan lupa. Terutama bagi anak biologis sekaligus ideologis Kyai Badru, Veri Muhlis Arifuzzaman.

Kang Veri, begitu biasa ia dipanggil, menuangkannya dalam sebuah biografi yang ditulisnya berjudul KH Ahmad Badruzzaman, Seakan Tetap Ada, Sekilas Kehidupan & Ajarannya.

Untuk informasi, Sinar Islam merupakan lembaga pendidikan yang mengelola pondok pesantren salafiyah dan lembaga pendidikan formal dari jenjang RA, MI, MD, SMP hingga SMA dan SMK.

Lembaga pendidikan ini berlokasi di Jl. Gandasoli – Cireunghas, KM 4, Desa Cipurut, Kecamatan Cireunghas, Kabupaten Sukabumi.

Sinar Islam sejatinya didirikan oleh KH Shiddiq pada 1930 silam. Kemudian dilanjutkan oleh KH. Zainuddin Shiddiq, dan KH Ahmad Badruzzaman.

Baca Juga:

Suasana di lingkungan sekolah Sinar Islam, Sukabumi - Sinar Islam
Suasana di lingkungan sekolah Sinar Islam, Sukabumi – Sinar Islam

Perjuangan Kyai Badru

Veri menuliskan setiap jengkal perjuangan Kyai Badru, merasa sangat emosional, sehingga berpengaruh pada gaya tutur sekaligus materi tulisan.

Menulis sesuatu tentang bapak sudah barang tentu akan terasa berat. Bukan saja katena terlalu banyak kenangan yang hadir dan tak mungkin dituangkan dalam kalimat, tetapi betapa bayangan bapak hadir dj hadapan saya…” (h, 23).

Bahkan, Veri seperti nyaris terhempas dalam ruang gelap hingga tidak mampu melihat secara utuh sosok yang dituliskannya. Ini menjadi sangat manusiawi untuk ukuran menulis sebuah perjalanan hidup seseorang yang punya hubungan emosional kuat.

Namun, kendala ini mampu diantisipasi oleh Cecep Romli, penulis kedua dengan latar seorang editor sekaligus dosen. Cecep menyempurnakan dialektika emosional Veri dengan narasi apik setiap jengkal perjalan hidup Sang Kyai.

Fragmen pertama buku tentang wafatnya Kyai Badru bisa terbaca secara sempurna dengan sentuhan nilai keagamaan. Bukan hanya sebuah nestapa kehilangan sang panutan, tapi refleksi nilai perjuangan Kyai Badru (h,39-52).

Bahasan Kyai Badru yang dianggapnya seorang ibu sekaligus itu dimulai penulis dengan Bab 1 Minggu 27/Rajab/1428-9/September 2007. Sang kyai menghembuskan nafas terakhir setelah berusaha keras antri salam lada kedua mempelai dari Gubernur Jawa Barat Denny Setiawan di Bandung.

Veri gunakan emosinya untuk melawan lupa akan senyuman, sapaan dan candaan khasnya ketika mendidik di tengah kesibukan sebagai ulama dengan ribuan jamaahnya dan politisi Golkar Jawa Barat dengan setumpuk tugas mengurus umat.

Pembahasan menarik lain adalah kiprah politik Kyai Badru di Golkar yang menjabat anggota DPRD Jawa Barat tiga periode. Dengan tanpa memanfaatkan kedudukan dan jabatannya, Kyai Badru istiqamah mengurus umat.

Kyai Badru tetap berharap umat menjadi pemain di kampung sendiri, ikut menentukan arah politik bangsa. Terbuktikan dengan aktif di Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengajar di Kodim, tetap mengobati orang dengan segelas air dan diminta untuk memberi nama anak kampung yang baru dilahirkan.

Dari paduan ulama-politisi tersebut akhirnya terpancarkan pesan-pesan penting, yang sekali lagi terbatas karena aspek emosional Kang Veri itu, menjadi panduan para murid dan keluarga besar Kyai Badru.

Pertama, pada Bagian 2: Mutiara Ajaran (h, 93-105) yang secara tegas mengajak pembaca untuk mengingat pentingnya, “Jamaah yang Istiqamah” dengan Kyai Badru yang tidak mau meninggalkan mengajar meski tengah di luar kota (h,95).

Kedua “Melebihi Bobot Ibadah Biasa” dengan meyakini kegiatan belajar mengajar atau majelis taklim merupakan ibadah yang bobotnya melebihi ibadah sunnah.

Ketiga “Komitmen Kuat untuk Mengajar”, dengan mengutip kitab al-Nubala karya Al-Dzahabi bahwa masyarakat damaskus sangat membutuhkan guru lalu khalifah mengundang 5 ulama besar kota Madinah untuk berangkat ke Damaskus.

Komitmen ulama generasi sahabat nabi ini sangat terbaca dalam kebiasaan Kyai Badru memaksakan pulang larut malam untuk mengajar di pagi harinya.

Pembahasan selanjutnya penambah kesan kuat profil ulama yang politisi dan politisi yang ulama. Kyai Badru di mata mantunya Nafsiyah dipandang sebagai orang yang visioner. Yang sudah memberikan nama anaknya dengan nama yang tidak lokal taste, seperti nama suaminya Veri Muhlis Arifuzzaman; nama yang sudah melampaui zamannya. Kyai Badru juga mengirim anaknya ke berbagai pesantren terkemuka Daar El Qolam (h, 287).

Bahkan Kyai Badru sendiri adalah alumni Asromo di Majalengka hingga menguasai sorogan (sistem belajar kitab dengan satu guru-satu murid) dikuatkan kepindahannya dari SMA ke pesantren berbasis salafiyah di Cigunung lengkap dengan pengalaman organisasinya.

Terdapat pengakuan kolektif bahwa sosok Kyai Badru turun ke anak bungsunya, Kang Veri, yang ketika mengisi khutbah kerap disahut sama keluarga besar; “Ieu mah jiga Aa”- ini seperti Aa (sebutan Kyai Badru dari adek-adeknya).

Dari cara menggerakkan anggota tubuh sampai mengenakan sarung berhadapan dengan sesama; diskusi hangat berbobot dengan canda renyah mencerahkan.

Veri memang Kyai Badru dengan kini menjadi pimpinan Yayasan Sinar Islam yang tengah mempersiapkan menyelenggarakan perguruan tinggi.

Ini sebagai amanah dari Kyai Badru yang berkata; “Bikinlah sekolah bahkan terus sampai perguruan tinggi di sini. Agar anak kampung bisa sekolah di kampung, kuliah di kampung, jadi sarjana di kampung dan berkarya di kampung” (h, 34).

Buku ini sangat terbaca jelas sebagai dedikasi untuk mengenang semua kebaikan dan jasa baik Kyai Badru pada murid dan keluarga besar.

Perjalanan hidup Khai Badru terus dihidupkan oleh giat Yayasan Sinar Islam tempat di mana Kyai Badru merealisasikan tekad menjadikan orang kampung jadi pemain di kampungnya sendiri.

KH Ahmad Badruzzaman, Seakan Tetap Ada, Sekilas Kehidupan & Ajarannya
KH Ahmad Badruzzaman, Seakan Tetap Ada, Sekilas Kehidupan & Ajarannya
  • Judul Buku: KH Ahmad Badruzzaman, Seakan Tetap Ada, Sekilas Kehidupan & Ajarannya
  • Penulis: H Veri Muhlis Arifuzzaman dan R Cecep Romli
  • Penerbit: CV Media Kalam Tangerang Selatan Banten
  • Cetakan: Pertama Maret 2024
  • Volume: 303
  • ISBN: 978-623-93027-2-6

Konten Lainnya

Content TAGS

Konten Populer