sukabumiheadline.com – Bagi warga Sukabumi, Jawa Barat, yang termasuk generasi Baby Boomers dan gen X, tentu sudah tidak asing dengan majalah legendaris berbahasa Sunda, Manglé.
Majalah Manglé adalah majalah berbahasa Sunda yang didirikan di Bogor pada 1957 silam. Kata Manglé dalam bahasa Sunda adalah sinonim dari ranggeuyan kembang atau berarti untaian bunga.
Rekomendasi Redaksi: Tinggal di Sumatera Utara, Warga Satu Kampung Ini Malah Fasih Ngobrol Bahasa Sunda
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada awalnya majalah ini terbit satu bulan sekali, namun pada 1965 terbit satu minggu sekali. Saking populernya, pada 1960-an, oplah majalah ini sempat menembus angka 90.000 eksemplar.
Manglé menjadi wadah bagi para pengarang dan penulis Sunda terkenal, seperti Rahmat M Sas Karana, Tatang Sukanda, Us Tiarsa, dan lainnya.
Manglé menjadi media untuk melestarikan budaya Sunda, baik bagi budayawan Sunda maupun masyarakat Jawa Barat. Majalah ini juga menjadi bukti nyata bahwa keberadaan pers berbahasa daerah masih memiliki tempat yang penting dalam menjaga dan mengembangkan kekayaan budaya bangsa.
Baca Juga:
- Sukabumi 1980, Panggung Seni Tradisi Bersama Happy Salma, Dewi Gita, Donna Agnesia hingga Ariel Tatum
- Profil Happy Salma, Wanita Sukabumi Bintang film Before Now and Then Tampil di Berlin
Dipuji artis wanita asal Sukabumi
Salah seorang warga Sukabumi yang mengaku rutin membaca Manglé adalah aktris asal Kecamatan Cibadak, Happy Salma. Di akun Instagram pribadinya, Happy mengaku dikenalkan dengan majalah berbahasa Sunda tersebut oleh orang tuanya.
“Sejak kecil, sebagai orang Sunda, saya akrab dengan radio yang isinya berbahasa Sunda, pun majalah berbahasa Sunda, Manglé,” tulis Happy dikutip sukabumiheadline.com, Selasa (4/3/2025).
“Berkat media massa berbahasa daerah itu, serta karena orang tua saya mewajibkan, saya bisa menulis dan berbahasa Sunda dengan lincah,” lanjut wanita kelahiran 4 Januari 1980 itu.
Happy juga mengaku bangga bahwa hingga saat ini Manglé masih bertahan di tengah gempuran madia online.
“Saya terharu mengetahui bahwa majalah tersebut masih bertahan hingga kini. Hormat saya untuk mereka yang terus memperjuangkannya,” kata alumni SMA Negeri Cibadak tersebut.
Berita terkait:
- Kabar Terbaru Artis Cantik Sukabumi, Happy Salma
- Laura Basuki Kesulitan Dialog Bahasa Sunda di Film yang Dibintangi Aktris Asal Sukabumi
- Dibintangi Aktris asal Sukabumi, Film Berbahasa Sunda Tampil di Berlin

Sejarah Majalah Manglé: Menghidupkan kembali warisan pers Bahasa Sunda
Majalah Manglé tidak hanya merupakan sebuah publikasi, tetapi juga menjadi bagian dari warisan budaya yang berharga dalam perkembangan pers di Indonesia.
Manglé, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya literasi masyarakat Sunda sejak pertama kali terbit pada tanggal 21 November 1957 di Kota Bogor. Kemudian, perjalanan Manglé dilanjutkan dari Kota Bandung.
Para tokoh penting di balik terbitnya Majalah Manglé antara lain Oetoen Moechtar, E Rohamina Sudarmika, Wahyu Wibisana, Sukanda Kartasasmita, Saleh Danasasmita, Utay Moechtar, dan Alibasah Kartapranata. Hingga saat ini, Mangle tetap menjadi satu-satunya majalah berbahasa Sunda yang masih aktif terbit dan beredar.
Sebagai salah satu media cetak berbahasa Sunda tertua yang masih bertahan, Manglé memegang peran penting dalam sejarah pers Sunda.
Menurut redaktur Majalah Manglé, Abdullah Mustappa, sejumlah media cetak berbahasa Sunda pernah menghiasi dunia pers sebelumnya, seperti Sunda Almanak (1894), Panemu Guru (1906), dan lain sebagainya. Namun, selama masa penjajahan Jepang, media cetak berbahasa Sunda mengalami kemerosotan, bahkan tidak ada yang terbit selama pemerintahan Jepang berkuasa.
Pada saat penjajahan Jepang, media cetak berbahasa Sunda ikut terpuruk, media cetak Sunda tidak ada yang terbit ketika Jepang berkuasa. Pemerintahan militer Jepang melarang penggunaan Bahasa Belanda juga penggunaan Bahasa Sunda. Setelah Indonesia merdeka pada 1945, media cetak Bahasa Sunda terbit kembali dan mengalami masa kejayaan pada era 1950-1970-an.
Ada puluhan media cetak berbahasa Sunda yang terbit dan beredar di antaranya yaitu Pajajaran (1949), Panghegar (1952), Warga (1954), Candra (1954), Kiwari (1957), Manglé (1957) Sari (1963) Sangkuriang (1964) Campaka (1965), Kutawaringin (1966), Baranangsiang (1966), dan Pelet (1966).
Setelah kemerdekaan Indonesia, media cetak berbahasa Sunda kembali bersemi dan mengalami masa keemasan pada era tahun 1950-1970-an. Berbagai majalah dan surat kabar berbahasa Sunda bermunculan.
Pada saat ini media cetak yang masih terbit yaitu Manglé dan Galura. Sebelumnya ada Cupumanik, Seni Budaya, Ujung Galuh, Sunda Midang, Bina Da’wah, Iber, Balebat, Hanjuang Bodas, Logay, Panggugah dan Sampurasun.
Majalah Manglé bukan hanya sekadar media cetak, tetapi juga menjadi wadah bagi para pengarang dan penulis Sunda terkenal. Di bawah redaksi MH Rustandi Kartakusumah dan Gondewa, Manglé melahirkan sejumlah tokoh sastra Sunda seperti Rahmat M Sas Karana, Tatang Sukanda, Us Tiarsa, dan lainnya. Bahkan, jumlah penjualan tertinggi Manglé mencapai 150 ribu eksemplar setiap bulannya pada tahun 70-an, menunjukkan popularitasnya di kalangan pembaca Sunda.
Majalah Manglé menjadi bukti nyata bahwa keberadaan pers berbahasa daerah masih memiliki tempat yang penting dalam menjaga dan mengembangkan kekayaan budaya bangsa.
Baca Juga:
- Bukan cuma Desy dan Happy, 5 selebriti ini juga mudik ke Sukabumi
- Dibintangi aktris asal Sukabumi, simak jadwal tayang dan sinopsis Tebusan Dosa
- Artis asal Cibadak Sukabumi Ini Ngaku Kesulitan Dialog Sunda dalam Before, Now & Then
Manglé
Manglé atawa Majalah Manglé nyaéta salah sahiji majalah basa Sunda nu ngadeg di Bogor, 21 Nopémber 1957. Nu ngadegkeunana di antarana Oeton Moechtar, Rochamina Sudarmika, Wahyu Wibisana, Sukanda Kartasasmita, Saléh Danasasmita, Utay Muchtar, jeung Alibasah Kartapranata. Nu mimiti nepikeun kecap manglé téh Wahyu Wibisana, hartina téh ranggeuyan kembang.
Jilid Manglé pedalan 1-7 Mei 2008
Mimitina mah medalna bulanan, tapi ti taun 1965 medal saminggu sakali. Dina sajarah média basa Sunda, Manglé kaasup nu makalangan. Dina dekadeu taun 1960-an, oplah ieu majalah kungsi nepi ka 90.000 éksemplar.
Nepi ka kiwari Manglé masih kénéh medal, malah jadi majalah nu pangkahotna lantaran umurna geus satengah abad. Nu ngurusna gé geus ganti generasi, ngan ari nu mingpinna mah masih kénéh putrana Oeton Moechtar, Oedjang Daradjatoen.
Sawatara pangarang Sunda mimiti ngasah kamampuh nulisna téh di Majalah Manglé. Ti mimimiti generasi Ki Umbara Ahmad Bakri Aam Amalia Godi Suwarna tug nepi ka generasi kiwari. Najan ayeuna pamorna geus ngurungan, tapi Manglé jadi salah sahiji rujukan upama urang nyaritakeun kalawarta Sunda.
Kiwari eusi Manglé ngawengku di antarana carita pondok, sajak, munara cahya Islam, tanya jawab agama Islam, aweuhan Pasundan, carita pondok lucu, pangalaman paramitra, tarucing cakra, carita nyambung, opini, sarta nu séjén-séjénna.
Langgananna lolobana nyaéta guru sarta pagawé nagri sipil. Kiwari, Manglé geus didistribusikan di Jawa Kulon, Surabaya, sarta kungsi mibanda langganan di Acéh. Kiwari Manglé masih nempatkeun diri salaku majalah dina basa Sunda anu méré aspirasi lokal pikeun pangwangunan Jawa Kulon.