sukabumiheadline.com – Candi Tugurejo Semarang ini terletak di Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu. Berada di Jalan Walisongo, sekitar 2 km dari UIN Walisongo, arah Kota Semarang – Jakarta, atau tepatnya di sisi kanan jalan, atau beberapa ratus meter saja dari RSUD Tugurejo.
Mengutip dari laman resmi Pemerintah Kecamatan Tugu, Di tempat ini adalah candi perbatasan antara Kerajaan Majapahit dan Pajajaran.
Berita Terkait: Pesona Pakuan Pajajaran, Melihat Keindahan Suasana di Ibu Kota Kerajaan Sunda
Lama tak terurus, pada era penjajahan Belanda, atau sekira 1938 (atas masukan Sejarawan J Knebel) diadakan pemugaran terhadap situs ini, lalu dibawah situs tersebut dan diletakan prasasti dengan tulisan Belanda dan Jawa di bawahnya.
Kemudian pada tahun 80-an, candi ini kembali direnovasi oleh Pemkot Semarang, dan ditujukan sebagai destinasi wisata budaya.
Baca Juga:
Candi Tugurejo memiliki dua gapura atau dua pintu masuk. Dan di samping kanan kiri terdapat relief yang menyimbolkan sosok perempuan dan sosok Brahmana. Di sekitar candi yang paling bawah terdapat ruang yang nampaknya dapat digunakan untuk semedi.
Menurut penuturan warga, banyak pengunjung dari luar Tugurejo yang melakukan ritual ibadah di candi tersebut.
Baca Juga:Â
Untuk dapat menuju lokasi Candi Tugurejo dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi. Dan masuk wilayah ini tidak dipungut biaya sepeser pun.
Kalau sekedar ingin melepas penat dan foto bersama di sekitar candi boleh-boleh saja yang penting tidak diperkenankan corat-coret atau melakukan perusakan terhadap bangunan.
Penjelasan juru kunci Candi TugurejoÂ
Sementara, menurut Juru kunci Candi Tugu, Sumarto, memang ada keterkaitan lokasi tersebut dengan perbatasan Kerajaan Majapahit-Pajajaran. Selain itu dari keterangan yang diperolehnya turun-temurun, tugu di lokasi itu pernah roboh sebelum dibangun kembali tahun 1938.
Konon tugu itu juga pernah jadi bekas tambatan kapal. Bahkan disebut ada makam di dekat tugu, yaitu makam yang dikenal sebagai Kiai Tugu.
“Sebelum 1938 pernah roboh. Kan ada tulisan pemugaran tahun 1938. Dulu sekitar situ kan pantai, ada yang mengatakan Islam masuk Semarang dari pantai di Tugu. Kalau candi Ini kan bentuknya candi Hindu. Ini seperti Gedung Songo. Itu pelengkap saja,” katanya.
Sumarto juga menunjukkan sebuah buku yang berisi cerita sejarah monumen atau tugu itu yang memang sudah turun-temurun. Isi buku tersebut menceritakan asal muasal kenapa dipercaya sebagai perbatasan Kerajaan Majapahit dan Pajajaran.
Konon hal itu terjadi karena anak kandung beda ibu dari Raja Pajajaran, Munding Wangi, berseteru. Munding Wangi memiliki putra penerus bernama Raden Tanduran. Namun ia juga memiliki putra dari seorang selir yang kemudian dihanyutkan di Sungai Krawang dan diasuh oleh pencari ikan.
Disebutkan dalam buku tersebut, anak raja dari selir itu dikenal dengan nama Banyak Wedi setelah dikirim ke Kerajaan Pajajaran untuk belajar. Ia semakin mahir dalam hal membuat barang dari besi dan baja. Banyak Wedi kemudian dekat dengan sang raja yang tidak lain adalah ayahnya.
Dia kemudian membuat kurungan besi besar. Ketika raja mencoba, dia menutup dan membakarnya. Namun disebutkan pula ada yang mengisahkan kurungan itu dibuang ke laut selatan. Banyak Wedi juga mengungkapkan jati diri yang sebenarnya. Banyak Wedi kemudian mengambil alih kerajaan dan mendapat nama Ciung Wanara.
Masih dari buku itu, Raden Tanduran dan tiga pengikutnya melarikan diri ke Gunung Cermai. Di sana ia kemudian tiba di distrik Wirasaba. Dikisahkan ia melihat pohon buah Maja yang rasanya pahit. Kemudian mendirikan Majapahit. Dalam cerita tersebut cukup unik karena selama ini dari sejarah yang diketahui, Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya.
Orang-orang dari Pajajaran disebutkan menuju ke wilayah Majapahit yang dipimpin Raden Tanduran itu. Mereka membawa 80 pandai besi dan Ciung Wanara meminta Raden Tanduran menyerahkan para pandai Besi. Namun hal itu ditolak dan terjadilah peperangan.
“Pasukan Majapahit ada di daerah Ungaran dan Pajajaran ada di Kaliwungu. Kemudian disepakati dibuat batas utara dan selatan,” ujar Sumarto.
Dalam buku yang dipegang Sumarto, disebutkan cerita-cerita itu bersumber dari beberapa buku antara lain History of Java jilid II karya Thomas Stamford Raffles, buku Java-Geographish, Ethnologisch, Historisch karya Prof P. J. Veth.
Sedangkan menurut sejarawan Semarang, Rukardi, saat ini arkeolog masih hanya bisa menduga terkait kabar wilayah atau tugu tersebut sebagai pembatas Kerajaan Majapahit dan Pajajaran. Ia menegaskan, soal keberadaan Tugu sendiri hanya disebut sedikit dalam buku History of Java.
“Kalau sumber sejarah sangat minim. Sependek pengetahuan saya, hanya Raffles yang memuat objek purbakala ini di bukunya History of Java. Itu pun hanya berupa gambar ilustrasi dan caption sangat singkat,” jelas Rukardi dikutip dari detik.com.
“Para arkeolog sampai sekarang hanya bisa menduga-duga fungsinya pada masa lalu. Info tentang tugu batas kerajaan Majapahit-Pajajaran itu hanya dugaan belaka,” imbuhnya.