30.2 C
Sukabumi
Selasa, April 30, 2024

Ternyata Ini Penyebab Ledakan Tabung CNG di Cibadak Sukabumi, Kepsek SD Korban Tewas

sukabumiheadline.com l Peristiwa pilu meledaknya tabung gas...

Perjalanan spiritual Profesor Harvard Henry Klassen mualaf, langsung ikut puasa Ramadhan

sukabumiheadline.com - Henry Klassen, seorang profesor ternama...

Warga Sukabumi, Ini Alasan Jawa Barat Tak Miliki Candi Seperti di Jawa Tengah dan Timur

KhazanahWarga Sukabumi, Ini Alasan Jawa Barat Tak Miliki Candi Seperti di Jawa Tengah dan Timur

sukabumiheadline.com l Bagi warga Sukabumi, Jawa Barat yang hobi membaca cerita sejarah, mungkin pernah bertanya dalam hati, mengapa di Tatar Pasundan nyaris tidak ditemukan bangunan candi seperti halnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Meskipun demikian, tidak pula tepat jika di Tatar Sunda disebut sama sekali tidak memiliki bangunan berupa candi. Hal itu terbukti dengan keberadaan Candi Cangkuang di Kabupaten Garut.

Padahal, sejumlah catatan sejarah menyebut jika peradaban Sunda sudah jauh lebih maju dibandingkan wilayah lainnya di Nusantara.

Keberadaan Situs Calobak di Kampung Calobak, Desa Tamansari, Kabupaten Bogor terdapat tiga situs, yakni Situs Eyang Esih, Eyang Tolok dan Eyang Raksabumi menunjukkan bahwa peradaban Sunda sudah ada sejak zaman megalitikum.

Ketiga situs tersebut diketahui sudah lebih dulu ada sebelum era Hindu, Budha dan Islam masuk ke tatar Sunda.

Adapun, terdapat kemiripan dari ketiga situs tersebut, yakni bentuknya yang relatif sederhana, di mana hanya berupa undakan dengan batu-batu yang disusun. Pun demikian dengan situs megalitikum Gunung Padang di Kabupaten Cianjur.

Lantas, mengapa di daerah Jawa Barat bangunan candi tidak begitu populer?

Sejarawan sekaligus Budayawan Sunda, Saleh Danasasmita menyebut hal itu dipengaruhi oleh kebudayaan dan cara bercocok tanam masyarakat Sunda yang berbeda dengan masyarakat Jawa.

Menurut Saleh, masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur yang menanam padi di sawah. Sedangkan, masyarakat Sunda menggunakan sistem huma atau masyarakat berladang.

“Masyarakatnya berbeda sama sekali. Yang satu masyarakat ladang, yang satu masyarakat sawah,” tulis Saleh dalam buku Melacak Sejarah Pakuan Pajajaran dan Prabu Siliwangi.

Dalam buku diterbitkan Kiblat tersebut, Saleh memaparkan bahwa di Jateng dan Jatim masyarakat terkonsentrasi di suatu desa karena kebutuhan menggarap sawah. Sementara dalam sistem huma, masyarakat tinggal terpencar di ladang-ladang mereka yang letaknya agak berjauhan.

Selain itu, masyarakat Sunda juga menggunakan sistem ladang berpindah yang tidak membutuhkan bangunan besar dan megah.

Hal itu berbeda dengan masyarakat dengan budaya sawah, di mana petani bekerja sampai siang hari. Sementara di masyarakat huma, petani bekerja seharian dan baru pulang menjelang senja.

Karenanya, dalam masyarakat sawah, di mana warganya terkonsentrasi di suatu wilayah, memungkinkan para raja mengerahkan tenaga manusia untuk membangun candi-candi besar. Sebaliknya di tengah masyarakat huma yang tersebar, pengerahan manusia sulit dilakukan.

Orang Sunda Tidak Mengenal Pemujaan Makam Tapi Memiliki Banyak Kabuyutan

Masih dalam buku yang sama, Saleh menyebut bahwa masyarakat Sunda tidak mengenal pemujaan makam. Itu pula yang menyebabkan keberadaan makam-makam raja Pakuan Pajajaran pun tidak dibuat tanda-tanda khusus. Bahkan, sebagian besar tidak diketahui lokasi pastinya.

Terkait hal itu, Saleh mengambil contoh kebiasaan masyarakat Sunda Baduy yang mayoritas berada di Provinsi Banten.

Dalam budaya masyarakat Baduy, makam yang baru hanya ditandai dengan pohon hanjuang selama 40 hari. Setelah lewat masa itu, tanah tempat pemakaman sudah dianggap tanah biasa.

Namun menariknya, di Tatar Sunda berdiri banyak kabuyutan yang lebih tua dari pada bangunan candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Untuk informasi, istilah kabuyutan berasal dari kata ‘tabu’ atau terlarang. Artinya adalah tempat sakral yang hanya boleh dikunjungi oleh kepala kampung, resi, raja, atau orang-orang tertentu karena berkaitan dengan kegiatan religi pada masanya.

Menurut Profesor Jakob Sumardjo dalam buku Struktur Filosofis Artefak Sunda, kabuyutan dapat dikatakan bangunan megalitikum karena memang tersusun dari batu-batu besar.

Menurut Jakob, kabuyutan sudah ada semenjak pra-Hindu dan Budha atau lebih tua dari Kerajaan Tarumanagara atau Pakuan Pajajaran.

Karenanya, sangat mungkin ketiadaan bangunan candi di wilayah Jawa Barat karena budaya masyarakatnya sejak dulu lebih suka meniru kebiasaan para leluhurnya, yakni menyusun batu-batu seperti halnya di lokasi-lokasi kabuyutan ketimbang membangun candi.

Konten Lainnya

Content TAGS

Konten Populer